Bahasa adalah simbol pengertian. Karena itu, jangan harap si Polan pemuda Thailand Selatan itu akan bereaksi menanggapi cuitan Refly Harun sebab ia memang tidak mengetahui arti tulisan tersebut apalagi mengetahui siapa itu Refly Harun.
Apakah si Polan bisa disebut sebagai orang bodoh? Tentu saja tidak. Pada saat dia membaca cuitan tersebut, dia tidak memiliki pengetahuan dan referensi apapun terhadap simbol dan kata-kata dari Refly Harun.
Karena itu, pengetahuan adalah prasyarat untuk mendorong terjadinya diskursus.
Masalah yang timbul kemudian, cuitan tersebut mencoba menguji pengetahuan kita terhadap bodoh. Dengan kata lain, kita terlebih dahulu perlu mengetahui apa itu pengetahuan dan pengertian.
KBBI daring mengartikan bodoh sebagaiÂ
1. tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya);
2. tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman);
3 cak terserah (kepadamu).Â
Definisi yang dikutip dari KBBI daring pun hanya satu dari sekian cara dalam menemukan makna. Makna kamus adalah makna leksikal. Definisinya berbeda dalam disiplin ilmu yang dikaji dalam studi psikologi, keagamaan dan rumpun ilmu pengetahuan lainnya. Penyelidikan yang berlaku pada disiplin ilmu masing-masing memiliki kerangka, tujuan, metode dan pendekatan berbeda dengan keluaran yang berlainan.
Misalnya, kita mengutip pendapat Notoatmodjo. Ia membagi pengetahuan atas enam tingkatan, antara lain:
1. Tahu (know)
2. Memahami (comprehension)
3. Aplikasi (aplication)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (synthesis)
6. Evaluasi (evaluation)
Pendekatannya berlainan lagi ketika dihadapkan pada studi filsafat fenomenologi, rasio, empiris dan sebagainya. Ini juga masuk dalam kajian bahasa dan analisis wacana. Pada dasarnya, wacana merujuk pada tuturan meski akhirnya digunakan dalam menganalisa teks. Tuturan dan teks adalah bangunan bahasa yang berbeda. Semua ini berakar dari pemikiran Ferdinand de Saussure yang membagi bahasa dalam dua bentuk, langue (bahasa) dan parole (ucapan).
Tetapi sering waktu, bahasa tidak lagi dipandang semata terbatas sebagai ujaran. Teks juga memiliki kekuatan untuk membangun konsep, sistem berpikir dan ide terhadap masyarakat. Muncullah aliran lingustik kritis, salah satu pembawanya adalah Roger Fowler.