Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Karena Berita Gratis, Kita Jadi Begini

11 Februari 2021   06:04 Diperbarui: 11 Februari 2021   21:24 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan sebelumnya di sini, saya menyinggung sedikit berita gratis. Pembahasannya dilengkapi dalam tulisan ini.

Sebagaimana diketahui, berita daring itu gratis sehingga mudah diakses pengguna manapun asalkan memiliki gawai dan perangkat komputer terkoneksi internet.

Kita puas menikmati konten dengan mengorbankan sebagian data internet untuk membuka halaman suatu berita. Selebihnya, tinggal klik saja.

Jumlah berita gratis mendominasi dari jenis berita berbayar atau berlangganan. Hanya ada beberapa media nasional yang menerapkan model paywall berupa biaya berlangganan untuk dapat mengakses berita. 

Kompas.id (Kompas), majalah.tempo.co (Tempo), dan bisnis.com (Bisnis) adalah sebagian contoh kecil.

Saya menukil ungkapan Jepang "Tada yori takai mono wa nai" yang dituliskan Kompasianer Lupin TheThird dalam artikelnya pekan lalu. Arti peribahasa itu, tidak ada yang lebih mahal dari gratis.

Gratis sebenarnya tidak gratis, bahkan harga gratis adalah paling mahal, kata Lupin.

Gratis memberikan sensasi kenikmatan dan kesenangan. Tetapi, dalam konteks dan derajat tertentu, ia bisa melahirkan perkara pelik.

Pengamat pasar Jared Dillian dalam artikel berjudul "Free to Trade" mendekatkan pemahaman gratis dan risikonya. Dalam artikelnya, ia mengulas kembali persoalan aplikasi Robinhood yang memberikan komisi nol persen kepada pelanggannya sebelum akhirnya menjadi kekacauan.

Cara pemasaran Robinhood memikat anak muda sehingga menimbulkan tekanan persaingan broker lainnya agar turut menurunkan komisi mereka.

Menurut Dillian, penurunan komisi bukan masalah besar untuk para pialang. Itu hanya sebagian kecil dari pendapatan mereka. Mereka masih memperoleh pendapatan besar yang umumnya berasal dari margin bunga bersih, pinjaman sekuritas, lesser extent dan pembayaran.

Komisi nol dianggap bagus sebagai alat pemasaran untuk mengajak banyak orang membuka akun, tetapi gagal untuk memikirkan dampak perilaku perdagangan saham bebas.

"Ketika ada sesuatu yang gratis, orang cenderung mengonsumsinya secara berlebihan," kata Dillian.

Kenyamanan adalah kado awal kepada pengguna baru yang awam pengetahuan dan pengalaman investasi.

Namun, pada masa depan yang tidak terduga setelahnya, itu berakhir buruk sebab aset yang diperdagangkan Robinhood termasuk produk paling berisiko, menurut analisis perusahaan riset Alphacution kepada The New York Times, dikutip dari CNBC Indonesia.

Dillian memberi contoh lainnya untuk menilai perilaku manusia akibat perkara gratis ini. Dalam suatu pertandingan bisbol lokal, panitia memberikan pizza gratis kepada para penonton yang mampu mengeluarkan teriakan paling keras (pizza scream).

Semua pun berubah menjadi gemuruh. Dillian mengatakan mereka yang berteriak kencang tersebut pada kenyataannya tidak mendapatkan pizza karena sang maskot memberikannya kepada anak kecil.

Bagi Dillian, daripada berteriak, mereka dapat membeli pizza tersebut dengan harga 1 Dollar AS. Ini akan menghentikan semua jeritan penonton.

Ada tafsiran berbeda atas kondisi tersebut. Di satu sisi, penonton mungkin merasa nyaman karena tidak mendengar kebisingan, namun di sisi lain, justru warna-warni pertandingan menjadi hilang.

Kita menemukan gambaran bahwa sesuatu yang gratis cenderung membuat orang mengonsumsinya secara berlebihan. Untuk perdagangan saham, hasil buruknya telah dipertunjukkan Robinhood.

Apa hubungannya dengan berita gratis?

Saya memikirkan bahwa berita yang diterima pembaca diproduksi melalui jerih payah. Wartawan melakukan pengorbanan tenaga dan waktu untuk memutar otak, menggali informasi mentah, mengolah sampai akhirnya menayangkan berita tersebut.

Mereka memang menerima upah dari kantor yang mempekerjakan, namun ini lain cerita karena jurnalis memiliki tanggung jawab terhadap publik dan menjunjung tinggi kebenaran, meminjam ucapan Bill Kovach.    

Katakanlah judul berita ternyata menjebak atau dikenal sekarang sebagai clickbait. Selama ini, kita tahu bahwa cara tersebut ditujukan untuk menarik minat orang membuka halaman berita. Isinya berlawanan dari judul.

Itulah pengganti biaya akses gratis yang menuju pada periklanan. Semua yang gratis adalah netral, tetapi dampaknya menjadi berlainan.

Yang sering terlihat ialah, dampak berita menimbulkan 'teriakan' di kolom komentar berita, termasuk juga di kolom komentar di Twitter, Facebook dan platform di mana berita tersebut beredar.

Kadang kala, wartawan menerima ancaman dan serangan pribadi atas berita yang dimuatkannya menjebak atau tidak memuaskan pembaca.

Media memiliki kemampuan dan keinginan untuk menuntaskan masalah berita clickbait. Cukup mengganti deretan kalimatnya dengan kata-kata lain sesuai isi berita. 

Tetapi, langkah itu tidak menguntungkan karena ada yang harus ditebus dari produk jurnalistik gratis.

Berdiri di antara tataran ideal, sementara perusahaan harus menunaikan kewajibannya untuk membayar pemakaian listrik, upah wartawan dan sederet pengeluaran operasional lainnya.

Masa lalu dapat dipetik sebagai pelajaran untuk menemukan dampak gratis, bakar duit, apa pun istilahnya mengakibatkan timbulnya iklim tidak sehat sampai menyentuh isu privat berupa keamanan data pribadi sebagaimana ditunjukkan WhatsApp beberapa waktu lalu.

Gratis berarti memberikan kemudahan, kenyamanan dan kebebasan. Dalam jangka panjang bila kondisi ini terus dipertahankan, kelak orang menjadi kaget mengetahui bahwa semua memiliki harga. 

Maka, tidak ada yang benar-benar gratis kecuali itu disubsidikan oleh pembacanya. Jurnalisme bagian dari publik dan harus independen.

Ambil contoh media Inggris The Guardian yang menyediakan dua pilihan kepada pembaca.

Pertama, opsi kontribusi, yaitu donasi pembaca dari 5 Dollar AS per bulan untuk mendukung independensi redaksi dan memberikan jurnalisme berkualitas yang terbuka untuk semua orang di seluruh dunia.

Kedua, opsi berlangganan untuk mengakses konten premium dan bebas iklan.

Opsi paywall terlihat ideal sekaligus memiliki tantangan kepada media mengingat orang-orang mungkin akan beralih ke platform lain yang menyediakan informasi gratis. Ada potensi pembaca media tersebut turun.

Namun, paywall tetap memberikan peluang besar.

The New York Times adalah media yang sudah merasakan keberhasilan paywall. 

Sayangnya, NYT agaknya sulit dikomparasikan terhadap media Indonesia. Salah satu alasannya, faktor pemahaman pembaca dunia terhadap bahasa media. Bahasa Indonesia tidak seperti bahasa Inggris yang dituturkan banyak orang di belahan dunia terutama di negara-negara maju. 

Mari memetik pengalaman dari media Afrika Selatan News24 yang baru memulai paywall pada Agustus 2020. News24 telah mencapai 20.000 pelanggan hanya dalam tiga bulan, mengutip mediaupdate.co.za. Raihan luar biasa.

Pemimpin Redaksi News24 Adriaan Basson mengatakan elemen penting untuk mengubah pembaca berita menjadi berlangganan adalah menghadirkan jurnalisme berkualitas, terpercaya, dan independen. Kualitas jurnalisme perlu dijaga sehingga pembaca merasa pantas membayarkannya.

Pelbagai model pemasaran selain paywell bisa diterapkan seperti mengadakan kegiatan pelatihan ke instansi atau perguruan tinggi melalui kerja sama.

"Membaca konten secara gratis seperti menonton film di bioskop tanpa membayar tiket. Tanpa pendapatan dari penjualan tiket, bioskop tidak akan bisa menyediakan film baru sesuai permintaan," kata Basson.

Bila cara-cara ini dianggap berpeluang kecil maju, maka yang tersisa untuk dilakukan adalah lanjutkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun