Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi saat ini sesungguhnya menggambarkan bagaimana peradaban manusia mengalami kemajuan luar biasa. Kita bisa saling terhubung satu sama lain dengan sangat cepat.
Di lini usaha, kita mendapati otomatisasi dan robotik mampu menggantikan pekerjaan manusia seperti operator dan pustakawan dalam sekali ucap OK Google di gawai.
Pertanyaannya, apakah robot di masa depan akan mengganti mata pencarian manusia?
Pertanyaan sederhana, tetapi jawabannya memicu pencarian luas.
Saya pikir, bila pekerjaan yang dimaksud pekerjaan kasar, mungkin itu akan berdampak terhadap pekerja.Â
Sejarah kehadiran teknologi baru dan pengangguran sudah terjadi lama.
Di industri otomotif, perakitan mobil mulai menggunakan tenaga robot.
Di manufaktur, keberadaan teknologi dapat menciptakan efisiensi sehingga akan menurunkan harga produk, contohnya pakaian.Â
Rendahnya harga pakaian sekaligus mendorong kenaikan permintaan.Â
Dari sini, akan tercipta lapangan kerja baru dalam memenuhi kenaikan permintaan.
Tetapi yang cukup kritis, bagaimana menangani perkembangan AI yang semakin canggih?Â
Bagaimana jadinya bila robot Sophia semakin cerdas dan mampu membuat orang merasa nyaman mengobrol dengannya?Â
Dengan kata lain, disrupsi teknologi baru tidak saja mengena ke manufaktur tetapi meluas sampai ke sektor jasa.Â
Ujung-ujunganya bakal ada efisiensi yang mengorbankan tenaga kerja.
Mari melihat periode revolusi industri akibat penemuan mesin di Inggris dan negara Eropa lainnya. Kehadiran teknologi baru itu menimbulkan masalah serius terhadap masyarakat.
Mesin menggantikan tenaga 'manual' manusia yang secara masif mengubah wajah pertanian, manufaktur, transportasi, dan pertambangan menuju era industrialisasi.
Timbul pergeseran, orang desa menuju kota meninggalkan perkebunan mereka untuk hidup yang lebih baik.
Ada pula gejolak.Â
Pada abad ke-19, sekelompok pekerja tekstil Inggris menolak peningkatan penggunaan alat tenun dan rajut mekanis.Â
Para pekerja terampil cemas karena menganggap penggunaan mesin akan mengambil alih mata pencarian mereka, mengutip History.com.
Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa pada masa itu, kondisi ekonomi Inggris mengalami tekanan akibat perang Napoleon.
Pekerja yang putus asa kemudian menghancurkan mesin-mesin tekstil, dimulai di Nottingham pada 1811 yang menyebar ke seluruh pedesaan Inggris.
Kelompok ini konon dikenal sebagai luddite.Â
Dari sini, muncul istilah luddite fallacy untuk mendeskripsikan orang-orang yang menolak, cemas terhadap kehadiran teknologi baru karena kekhawatiran bahwa teknologi dapat membuat mereka kehilangan pekerjaan dan menganggur.
Ada baiknya mengengok sedikit kondisi sosial sepanjang revolusi industri.Â
Perekonomian mereka di bawah rezim laissez-faire, persaingan bebas tanpa batas dan tanpa campur tangan pemerintah.Â
Karena itu, eksploitasi terhadap pekerja begitu kuat terjadi demi mencapai output produksi.
Frederick Engels dalam tulisannya pada 1845 menerangkan zaman itu bahwa manufaktur adalah kapital, buruh yang bekerja.Â
Hubungan keduanya murni karena ekonomi, tidak ada hubungannya dengan manusia. Terjadi kesenjangan antara borjuis dan proletar.
Ini hanya latar dalam menggambarkan keadaan di masa lalu.
Pengajar ekonomi Tejvan Pettinger dalam tulisannya "The Luddite Fallacy" menerangkan, teknologi baru tidak menghancurkan pekerjaan, tetapi hanya mengubah komposisi pekerjaan dalam ekonomi.
Dampaknya hanya pengangguran teknologi yang bersifat jangka pendek. Pendapat yang menyerupai bapak ekonomi John Keynes.
Dia memberi contoh, semisalnya robot mampu menyediakan kopi. Mana yang lebih disukai, dilayani robot atau dilayani manusia?
Mengambil contoh sederhana dalam keseharian, orang-orang tentu lebih memilih berinteraksi dengan orang ketimbang robot ketika berbelanja atau mengurus berkas administrasi.
Artinya, teknologi baru tidak perlu disikapi dengan penolakan dan kecemasan akut.Â
Jika menyangkut ancaman pengangguran, maka yang dibenahi adalah struktur perekonomian.
Pasar tenaga kerja harus fleksibel, tidak kaku agar penganggur bisa terserap ke lapangan kerja baru.Â
Kuncinya adalah berikan pelatihan terhadap tenaga kerja agar dia bisa beradaptasi. Ini hanya perandaian, contoh sederhana.
Kita pernah melewati satu bagian ketika dahulu model ride sharing, ride hailing sempat mendapat penolakan sebelum kemudian diterima dan tumbuh besar semakin besar.
Namun, beberapa tahun berjalan, logika fleksibilitas ini perlu dikoreksi mengingat skema perlindungan sosial dan kesejahteraan para mitra menjadi perhatian, terutama dalam masa pandemi yang membatasi pergerakan.
Ada baik dan ada buruknya.Â
Ini penting supaya kita kritis untuk menguji klaim kemajuan teknologi baru sebelum benar-benar terjebak dalam pandangan kaku bahwa semua masalah dapat diselesaikan berkat bantuan teknologi.
Engels sudah memperlihatkan cuplikan bagaimana bobroknya moral manusia di zamannya. Moral itu melekat pada manusia sepanjang hayat, entah bagaimana masing-masing di antara kita mendefinisikannya.
Sekarang, kehadiran teknologi baru ternyata belum sepenuhnya menutup kesenjangan besar antara si kaya dan si miskin. Membereskannya, intervensi pemerintah begitu diperlukan.Â
Jadi, tidak heran mengapa selama ini kita dilatih untuk mengkritik pemerintah atas nasib yang terjadi. OK Google.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI