Argumen kritis yang saya maksudkan tadi berasal dari Dirut PT LEN Industri (Persero) Bobby Rasyidin. Di gedung DPR dalam rapat terbuka yang dapat disaksikan publik.Â
"Kalau kita melihat Perpres 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Naasional di mana target EBT 23 persen, kami melihat ada perlunya SPKLU dan SPBKLU menggunakan energinya hybrid dari power producer sendiri plus di-combine (digabungkan) dengan PLTS-nya."
"Jadi dengan demikian, jangan sampai kita tidak merusak lingkungan dengan baterai tapi kita merusak lingkungannya dengan energinya. Kami mengusulkan charging station itu menggunakan hybrid power producer," kata Bobby.
Pendapat Bobby tidak mengalamatkan pesannya terhadap satu etintas. Ia bukan direksi atau pengusaha pertama yang memikirkan kelestarian lingkungan ini, tetapi menjadi menarik ketika menyampaikannya secara terbuka dalam forum resmi. Â
Sebagai informasi, PT LEN Industri (Persero) adalah BUMN yang bergerak di bidang elektronika untuk industri dan prasarana, namun mereka tidak tergabung dalam konsorsium pembangunan industri baterai Indonesia untuk kendaraan listrik.
Jika merujuk pada kepesertaan rapat, kritik tersebut bisa dialamatkan kepada PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) yang mengembangkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU).
Atau mungkin perlu dipikirkan Independent Power Producer (IPP) alias swasta.
Jadi, ini saling terkait bagaimana kelestarian lingkungan bisa berjalan selaras sesuai tujuan.Â
Kendaraan listrik memang tidak mengeluarkan asap karbon, namun sumber untuk isi ulang baterai itu ternyata menggunakan energi fosil.
Bagaimana langkah PT LEN Industri setelah melontarkan pernyataan tersebut?
Mereka merasa yakin memiliki kemampuan kapasitas produksi.Â