Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ngobrol Bareng Wartawan: Pertentangan Ekonomi dan Kesehatan Berlanjut

31 Januari 2021   18:48 Diperbarui: 31 Januari 2021   19:17 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rupiah. (Foto: Mohamad Trilaksono/Pixabay)

Ngobrol bareng wartawan mengulas berita aktual sepekan terakhir.

Kemarin, saya berdialog bersama salah seorang wartawan ekonomi dari media nasional. (PS. dia meminta namanya tidak disertakan karena sungkan)

Topik perbincangan mengulas perekonomian nasional yang bersinggungan langsung terhadap masyarakat.

Tapi kami mengecualikan pembahasan berita penerapan PPN serta PPh penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer.

Alasan pertama, Menkeu Sri Mulyani telah mengonfirmasi lewat akun Instagram bahwa "pemajakan tidak berpengaruh terhadap harga pulsa/kartu perdana, token listrik dan voucer"

Alasan kedua, penerapannya baru dilaksanakan pada 1 Februari 2021. Jika pun ingin diprediksi, harga produk di tingkat konsumen bisa saja terpengaruh naik.

Tetapi, Sri Mulyani menjelaskan bahwa PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik dan voucer sudah berjalan dan tidak ada pungutan pajak baru. Dan tujuan ketentuan baru ini untuk menyederhakan pengenaan PPN dan PPh.

Sebagai pengguna, kita tunggu bagaimana jadinya saat penerapannya dimulai besok.

Selebihnya, pembahasan kami bersinggungan antara isu kesehatan dan perekonomian. 

Contoh yang paling dekat saat ini adalah pandemi Covid-19 dan tekanan terhadap sektor perekonomian. 

Sisi kesehatan publik harus menjadi keutamaan, namun sektor perekonomian harus dijaga. 

Pandemi Covid-19 menyebabkan pembatasan gerak orang-orang untuk mencegah penyebaran virus Corona. Imbas pembatasan, pendapatan sejumlah sektor menurun, di antaranya yang terdampak adalah sektor pariwisata dan perhotelan.

Dan irisan isu kesehatan dan ekonomi ini menjadi pokok perhatian sepanjang pekan lalu antara lain:

Pelaku usaha resto tertekan dengan diperpanjangnya PPKM Jawa dan Bali dari 26 Januari-8 Februari 2021

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diperpanjang setelah mengevaluasi PPKM sebelumnya yang dinilai belum maksimal. 

Hasil evaluasi PPKM 11-18 Januari 2021 menyebutkan peningkatan kasus aktif terjadi di 46 Kabupaten/Kota. Kemudian, sebanyak 24 kabupaten/kota yang mengalami penurunan kasus, dan tiga daerah tidak mengalami perubahan.

Ini perselisihannya selama ini. Upaya menurunkan kasus ternyata berdampak pada penurunan pendapatan usaha, terutama di sektor perhotelan dan resto.

Untuk mendalaminya, mari melakukan perbandingan dari pengalaman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kita ambil contoh PSBB di Jakarta pada April-Mei 2020. Dampak PSBB mempengaruhi turunnya aktivitas perekonomian di Jakarta.

Kontan.co.id melaporkan PDRB DKI Jakarta kuartal II-2020 minus 8,22 persen (yoy) berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta.

Bila dirangkum, faktor menurunnya perekonomian Jakarta pada kuartal II-2020 dipengaruhi terhentinya aktivitas masyarakat.

Akibatnya, nilai tambah sektor hotel, restoran, transportasi, dan jasa lainnya terkontraksi sangat dalam. Diikuti juga sektor industri pengolahan dan konstruksi dan sektor perdagangan karena turunnya permintaan bahan baku dan penolong

Efeknya berimbas pada penurunan kinerja perekonomian yang melemahkan daya beli masyarakat dan menurunnya konsumsi rumah tangga.

PSBB telah berlalu yang diganti dengan PPKM se Jawa-Bali atau bahasa lainnya PSBB ketat pada 11-25 Januari 2021. Sebabnya, kasus aktif di Indonesia terus menanjak.

PPKM ini mengatur beberapa ketentuan di antaranya:

- Membatasi tempat/ kerja perkantoran dengan menerapkan Work From Home (WFH) sebesar 75 persen, dengan memberlakukan protokol kesehatan secara lebih ketat

- Pembatasan kegiatan restoran (makan/minum di tempat) sebesar 25 persen dan pembatasan jam operasional untuk pusat perbelanjaan/mall sampai dengan Pukul 19.00.

Namun, sebagaimana disebutkan tadi, hasil PPKM belum memperlihatkan hasil maksimal dalam penurunan kasus secara signifikan. 

Pemerintah pun memperpanjang pelaksanaan PPKM sampai 8 Februari 2021.

Sayangnya, pelaku usaha restoran dan pengelola pusat perbelanjaan sudah mengalami kerugian cukup besar. 

Sumber pendapatan dari usaha ini tentu sangat mengandalkan kunjungan orang. Untuk mal, puncak keramaian terjadi di antara pukul 18.30-20.30, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja mengutip Kompas.com.

Imbasnya dikhawatirkan mengena kepada tenaga kerja.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran, Emil Arifin, memperkirakan terdapat 240 ribu pekerja resto dan 2,5 juta pekerja di pusat perbelanjaan DKI Jakarta, mengutip laporan Kumparan, Selasa 26 Januari 2021.

Dengan pembatasan jam operasional pukul 19.00, minat orang selama PPKM jilid I untuk berkunjung menjadi menurun.

Syukurlah, PPKM jilid II sekarang setidaknya memberikan angin segar kepada pelaku usaha lewat relaksasi pembatasan jam operasional dimajukan sampai pukul 20.00.

Meski demikian, kebijakan dari pemerintah berupa bantuan subsidi kepada pekerja dan insentif perpajakan kepada pelaku usaha terdampak diperlukan untuk mengurangi tekanan.

Cukai minuman berpemanis 

Topik selanjutnya yang kami perbincangan berkaitan dengan wacana Menkeu Sri Mulyani kepada DPR untuk mendukung penambahan objek cukai terhadap minuman berpemanis.

Usalan tersebut disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 27 Januari 2021. Laporan tentang ini dapat disimak dalam pemberitaan CNBC Indonesia dan Kumparan.

Sebagai informasi, penerimaan cukai selama ini berasal dari cukai hasil tembakau, cukai etil alkohol dan minuman beralkohol. Kontribusi paling besar disumbangkan cukai hasil tembakau.

Sampai November 2020, realisasi penerimaan cukai hasil tembakau atau rokok mencapai Rp 146 Triliun atau 88,53 persen dari target Rp169,94 Triliun, mengutip laporan Antara dilansir Kompas.com.

Pembahasan tentang cukai minuman berpemanis ini cukup menguras pikiran. Alasan utama wacana cukai minuman berpemanis berhubungan dengan isu kesehatan masyarakat karena dinilai dapat memicu penyakit diabetes.

Sementara orang Indonesia menyukai makanan dan minuman manis. Teh harus manis, kopi yang pahit harus ditambah gula. Semuanya serba manis-manis. Bahkan sekarang, produk air kemasan sudah ada yang rasa-rasa.

Jenis minuman berpemanis ini cukup banyak ditemukan mulai dari produk minuman ringan hingga minuman berenergi. 

Pembahasan wacana cukai minuman berpemanis sudah berlangsung sekitar tahun 2019 dan 2020.

Bila ini diterapkan, tentunya dapat mempengaruhi daya beli dan inflasi. Dan teman saya berkata, bila cukai dilakukan demi kesehatan, mengapa tidak? 

Tetapi studi terhadap isu ini masih perlu kajian mendalam. Rekomendasi gula harian tidak lebih dari 50 gram/hari atau setara 4 sendok makan, mengutip laman web Kementerian Kesehatan. 

Data WHO dikutip dari laman web Siloam Hospitals menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-6 dari sepuluh negara jumlah pasien diabetes tertinggi. Jumlahnya mencapai 10,3 juta pasien per tahun 2017 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 16,7 juta pasien per tahun 2045.

Tetapi, saya berpikir setidaknya kita perlu memperhatikan skala lebih luas dalam pembahasan ini. 

Kemudian, apa cukai benar-benar efektif untuk menekan konsumsi gula? Mengapa tidak industrinya yang diminta untuk menyesuaikan?  

Dan lagi, pangan ini terbagi pula atas pangan olahan, pangan segar dan pangan setengah jadi. Bayangkan minum kopi robusta di pinggir jalan tanpa gula.

Di sektor industri, pengenaan cukai tentunya akan berdampak ke industri makanan dan minuman (mamin). 

Sebelum pandemi Covid-19, pertumbuhan industri mamin biasanya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun 2018, industri mamin tumbuh sebesar 7,91 persen atau di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,17 persen, mengutip laman web Kementerian Perindustrian. 

Sedangkan tahun 2019, industri mamin tumbuh 7,78 persen, sementara petumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,02 persen, mengutip Alinea.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun