Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membedah "Sakit Menahun" Industri Baja Nasional serta "Obat" Jangka Pendeknya

25 Januari 2021   15:52 Diperbarui: 27 Januari 2021   11:12 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Material bangunan pabrik terdiri dari produk baja. (Foto: Pixabay)

Tahun 2021 belum genap berakhir sebulan, tetapi berita yang menggoyahkan hati bergantian masuk ke masyarakat. Pandemi Covid-19 masih berlanjut. Di beberapa daerah, masyarakat berduka setelah tempat tinggal mereka dilanda bencana alam dari musim penghujan ini.

Kali ini, kabar yang sama prihatinnya datang dari industri baja nasional ketika Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan dalam konferensi pers pekan lalu bahwa terdapat ancaman PHK 100.000 pekerja di industri baja imbas dari tekanan industri baja domestik menghadapi serbuan baja impor dari China.

Dia mengatakan bahwa pekerja industri baja tersebar di pelbagai perusahaan seperti Krakatau Steel, Gunung Raja Paksi, Ispatindo, dan Master Steel, lapor Kompas.com, Kamis, 21 Januari 2021.

"Baja impor terutama dari China dijual sangat murah di Indonesia. Jika dibiarkan, industri baja nasional akan bangkrut dan 100.000 karyawan terancam PHK massal," kata Said Iqbal dalam jumpa pers secara virtual di Jakarta. 

Karena itu, ia meminta pemerintah memberikan perpanjangan safeguard untuk produk I-H beam section sebagaimana diusulkan para pelaku industri baja.

Instrumen safeguard diyakini dapat meredam masuknya baja impor ke dalam negeri. Namun, Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Mardjoko mengatakan pemerintah tidak dapat memperpanjang safeguard. Pengumuman tersebut tertuang dalam surat nomor 01/KPPI/01/2021 tertanggal 12 Januari 2021.

Mengapa perpanjangan safeguard tidak dapat dilakukan?

Mardjoko menjelaskan, permohonan perpanjangan safeguard dari perusahaan pemohon sudah melewati batas maksimal dari ketentuan enam bulan sebelum berakhirnya pengenaan safeguard measures, mengutip laporan katadata.co.id. 

Permohonan perpanjang safeguard diajukan pada 10 Desember 2020, sementara masa berlaku safeguard berakhir pada 20 Januari 2021.

Kondisi tersebut akhirnya membuat industri baja menjadi harap-harap cemas. Bila perpanjangan safeguard ditolak, perusahaan baru dapat melakukan pengajuan aplikasi baru dua tahun kemudian. Padahal pada waktu bersamaan, produk baja impor dari China terus masuk ke Tanah Air.

Direktur Public Relations PT Gunung Raja Paksi Tbk Fedaus, menanggapi permohonan perpanjangan safeguard menjadi terlambat karena perusahaannya fokus pada kondisi karyawan selama pandemi Covid-19, laporan Kontan.co.id, Rabu, 20 Januari 2021. 

Untuk diketahui, PT Gunung Raja Paksi Tbk adalah salah satu perusahaan yang memperoleh fasilitas safeguard untuk I-H section (H-beam) sejak 2018.

Menurut Fedaus, safeguard mensyaratkan perusahaan masih mengalami kerugian sehingga membutuhkan proteksi dari pemerintah dan adanya investasi yang masih belum selesai. Tenggat waktu, menurutnya, adalah syarat ketiga. Karena itu, dua syarat selain tenggat waktu seharusnya dapat diperhatikan.

Menyadur laporan Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) yang dipublikasikan 7 Desember 2020, banjir impor baja mempengaruhi rendahnya tingkat utilisasi industri besi dan baja nasional sampai di bawah 50 persen. 

Angka ini sangat memprihatinkan karena jauh dari tingkat utilisasi ideal sebesar minimum 80 persen untuk menghasilkan sustainable profitability.

Sebenarnya, masalah yang mendera industri baja nasional telah berlangsung dalam kurun waktu panjang sekitar satu dekade terakhir. 

Dari sekian tantangan seperti harga gas industri, tenaga kerja, membanjirnya produk baja dari China kerap memusingkan pengusaha besi dan baja. 

Kebanyakan produk impor tersebut merupakan produk baja hilir yang sering digunakan masyarakat dan proyek pembangunan. Murahnya harga baja China menyebakan produsen lokal harus tergagap menyainginya. 

Namun, sebelum menyalahkan bahwa produk lokal lebih mahal dari produk China, ada baiknya mengambil prasangka baik. Pelaku industri besi dan baja tersandera dalam masalah inefisiensi seperti harga energi, lingkungan, dan inovasi yang harus dikembangkan. 

Sedangkan China adalah produsen baja terbesar dunia yang mengisi 50 persen produksi baja dunia. Para produsen dan eksportir di sana juga diberikan kemudahan oleh negaranya dengan pelbagai kebijakan subsidi, antara lain energy subsidies, loan interest subsidies, direct financial grant, direct cash grants, equity infusion, tax break, tax rebate, dan land acquisition, mengutip laporan IISIA.

Menurut data BPS, pada semester I-2020, neraca perdagangan baja nasional mengalami defisit USD 884 juta atau turun 63 persen dari periode tahun sebelumnya sebesar USD 2.047 juta. Sedangkan, dari sisi volume, defisit neraca perdagangan mencapai 2.805 ribu ton atau turun 40 persen dibandingkan semester I 2019 yang mencapai 4.745 ribu ton.

Walau terjadi perbaikan defisit neraca perdagangan, IISIA menerangkan industri baja nasional tetap menghadapi kesulitan karena permintaan baja domestik turun lebih besar dibandingkan pengurangan impor. Buntutnya, tingkat utilisasi industri baja nasional berada di kisaran 20-40 persen.

Di samping safeguard, pelaku usaha mesti pula mencari jalan untuk berinovasi demi mengeluarkan mereka dari kutukan inefisiensi yang selama ini dianggap membuat mereka kurang berdaya saing. Apalagi, safeguard hanya instrumen berbatas waktu. 

Tantangan lainnya yang harus dituntaskan bersama-sama adalah tingkat konsumsi baja nasional yang terbilang rendah sebesar 60 kg per kapita per tahun. Peningkatan konsumsi baja nasional perlu dipacu agar merangkak mencapai angka ideal sekurang-kurangnya 200 kg per kapita per tahun, melansir penjelasan Ketua Umum IISIA, Silmy Karim.

Bandingkan Korea Selatan, konsumsi bajanya mencapai 1.300 kilogram per kapita per tahun.

Namun, langkah jangka panjang agaknya menjadi percuma mengingat nasib industri baja ini sudah di ujung tanduk. Harus ada obat jangka pendek untuk mencegah ancaman gulung tikar yang berujung pada PHK. Safeguard itulah yang kemudian dipandang sebagai penanganan tepat untuk masalah sekarang.

Apa itu safeguard?

Safeguard atau bea masuk tindakan pengamanan adalah bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri (Rinaldy, Ikhlas, & Utama, 2018).

Sementara PP 34/2011 menyebut tindakan pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah barang impor baik secara absolut maupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.

Khusus untuk safeguard I-H beam, ketentuannya termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 2/2018 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk I dan H Section dari Baja Paduan Lainnya. PMK ini diundangkan pada tanggal 4 Januari 2018.

Adapun besaran bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) yang diberikan adalah:

1. Tahun pertama (2018) sebesar 17,75 persen
2. Tahun kedua (2019) sebesar 17,50 persen
3. Tahun ketiga (2020) 17,25 persen

Besaran bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) baja paduan lainnya. (Sumber: PMK 2/2018)
Besaran bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) baja paduan lainnya. (Sumber: PMK 2/2018)

Meski safeguard pada 2021 tidak dapat diperpanjang karena masalah tenggat waktu, ada instrumen lain yang dapat dimanfaatkan industri baja. Mardjoko memberikan alternatif berupa pengajuan permohonan penyelidikan melalui instrumen anti dumping atau anti subsidi.

Untuk diketahui, selain safeguard, terdapat instrumen trade remedies lain yang diadopsi Indonesia, yaitu tindakan anti dumping dan tindakan imbalan yang diatur dalam PP 34/2011.

Selain mekanisme tarif, ada instrumen non-tarif untuk melindungi produk baja dalam negeri dari gempuran impor, yaitu penerapan SNI dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Langkah ini sekaligus dapat memacu industri baja lokal agar menghasilkan produk lebih berkualitas kepada konsumen.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono sebelumnya menyatakan melarang penggunaan barang impor untuk semua proyek properti dan konstruksi mulai tahun 2021, laporan Kompas.com, 29 Desember 2020. 

Karena itu, pembangunan properti dan konstruksi wajib menggunakan produk lokal.

Apa itu I-H beam?

Produk I-H beam section adalah produk yang diajukan untuk mendapatkan perpanjangan safeguard. Mengutip laman web Krakatau Niaga, besi H-Beam adalah salah satu produk baja yang umum digunakan dalam pembangunan. H-Beam berfungsi sebagai penahan struktur bangunan dan tiang pancang. Dinamakan H-Beam karena bentuknya menyerupai huruf H.

Antara H-beam dan I-beam (WF) sekilas terlihat memiliki kemiripan. Perbedaannya, besi H-beam memiliki flens lebih lebar dan panjang dibandingkan dengan I-beam.

H-beam. (Sumber: gunungrajapaksi.com)
H-beam. (Sumber: gunungrajapaksi.com)

Mengutip laporan IISIA yang dipublikasikan 30 Oktober 2020, dengan adanya safeguard, barang impor yang masuk menjadi lebih mahal karena dikenakan bea masuk tambahan sehingga harganya akan dapat bersaing dengan barang produk lokal.

Pada tahun ini, baja dari China diprediksi akan over supply. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan trade remedies mengantisipasi itu.

Menurut Fedaus, Malaysia telah menerapkan antidumping barrier untuk produk baja lapis alumunium dari Cina sebesar 2,8-18,8 persen. Korea Selatan menerapkan tarif 9,98-34,94 persen, dan Vietnam mematok tarif 3,06-37,14 persen sampai Desember 2025.

Instrumen safeguard memang perlu dilakukan secara hati-hati dan terukur. Di satu sisi, industri membutuhkan safeguard, namun KPPI harus menaati aturan yang berlaku.

Pertimbangan lainnya, Indonesia adalah anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang harus berkomitmen membuka pasarnya ke sesama anggota WTO.

Meski demikian, IISIA berpendapat tanpa kebijakan penerapan trade remedies yang tepat dan efektif maka, maka sangat sulit bagi pelaku usaha besi dan baja dapat bersaing secara adil dengan produk impor. Produsen baja dari negara-negara maju pun, kata IISIA, tetap membutuhkan dukungan kebijakan trade remedies.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun