Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mencari Solusi Alternatif Selain Hukuman Mati bagi Koruptor

8 Desember 2020   07:27 Diperbarui: 8 Desember 2020   11:37 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dugaan korupsi yang menjerat dua menteri kabinet Indonesia Maju, Edhy Prabowo (Menteri KP) dan Juliari Batubara (Menteri Sosial), sejatinya mengajak publik untuk membuka pengetahuan dasar dari definisi korupsi itu sendiri.

Perkara korupsi keduanya berdasarkan laporan sementara, terlihat sederhana dari kebanyakan kasus korupsi lain dengan modus yang nyaris sulit terdeteksi.

Edhy Prabowo diduga terjerat suap perizinan ekspor benih lobster, sementara Juliari Batubara diduga terlibat dalam penerimaan fee Rp 10 ribu dari nilai Rp 300 ribu per paket Bansos periode kedua pekasanaan paket sembako. 

Fee sebesar Rp 8,8 Miliar yang terkumpul dari Oktober hingga Desember 2020 diduga akan digunakan untuk keperluan pribadi Juliari.

Dan tidak henti-hentinya kita berseru tindakan korupsi adalah perbuatan tercela dan terkutuk. 

Ia menghambat pertumbuhan ekonomi, memicu terjadinya tindakan kriminal dan konflik di masyarakat, menghambat kesempatan orang untuk hidup yang lebih baik, menciptakan ketimpangan, dan mengganggu keberlanjutan hidup manusia ke depan.

Dalam pengertian lain, korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime; istilah lain mengatakan korupsi adalah kanker dalam organisasi.

Terlebih sekarang ini masa pandemi, tindakan Juliari selaku Menteri Sosial sangat menciderai kepercayaan publik terhadap upaya penanggulangan Covid-19.

Akan tetapi, menjadi hal tidak terduga ketika pengungkapan kasus korupsi Edhy Prabowo dan Juliari Batubara berlangsung dalam waktu berdekatan, diselingi beberapa OTT lainnya.

Edhy Prabowo ditangkap pada 25 November 2020, sementara Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 6 Desember 2020 setelah melewati pengembangan kasus OTT yang melibatkan pejabat Kemensos berinisial SN sehari sebelumya.

Ini adalah tindakan nekat. Penangkapan Edhy Prabowo semestinya menjadi alarm kepada pejabat lain agar berhati-hati.

Namun, nyali itu tidak mengendur. Dua hari setelah penangkapan Edhy, KPK menangkap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad dalam OTT.

Uang sebesar Rp425 juta diamankan dari operasi itu. Ajay diduga menerima suap dari Komisari RSU Kasih Bunda hutama Yonathan sebesar Rp1,6 Miliar dari kesepakatan Rp3,2 Miliar terkait perizinan pembangunan gedung di RSU Kasih Bunda.

Pemberitaan OTT KPK mendapat perbincangan luas di media sosial. 

Edhy Prabowo mengundurkan diri dari jabatannya sesaat ia ditetapkan sebagai tersangka.

Presiden Joko Widodo menyerahkan proses hukum berlanjut menangani kasus Edhy Prabowo.

Meski demikian, sinyal kuat dari perhatian publik dan teguran halus Presiden tidak menggentarkan pejabat Kemensos yang terjaring OTT hingga berakhir pada penetapan Juliari Batubara sebagai tersangka.

Dua menterinya terjerat kasus korupsi dari waktu yang hampir berdekatan. Presiden  Joko Widodo, setelah penetapan tersangka Juliari, tentu menyimpan kekecewaan. Sekali lagi, ia mengatakan, "tidak akan melindungi siapapun yang terlibat korupsi."

Hukuman mati
Pengungkapan korupsi dua menteri merupakan berita besar yang secara bersamaan mampu menaikkan tensi publik. Apalagi kasus yang melibatkan Juliari berurusan langsung dengan nasib rakyat miskin yang tertekan selama pandemi Covid-19 yang berharap menerima bantuan sosial dari pemerintah.

Kegeraman itu muncul pula secara bersamaan dengan perasaan ingin tahu untuk mendalami kasus. Tetapi, kegeraman itu telah bangkit menjadi sikap yang emosional.

Warganet menuntut pidana mati terhadap Juliari mengingat kasus tersebut terjadi di masa pandemi Covid-19 yang sangat menekan kehidupan masyarakat.

Saya tidak sepakat bila pelaku harus dihukum mati sebab itu tidak menjamin bahwa korupsi tidak akan terulang lagi ke depannya.

Sama hal seperti wacana hukuman mati pada kasus berat lainnya seperti narkoba yang sering dianggap dapat memberikan efek jera. 

Saya memang tidak menyukai narasi-narasi yang selalu menggemborkan wacana hukuman mati ini.

Pendapat saya memang frontal. Tetapi ini memerlukan solutif alternatif untuk menekan angka kasus korupsi ketimbang menggunakan pidana mati sebagai pendorong munculnya rasa takut akan korupsi. 

Keadaan yang menggemborkan kuat hukuman mati justru mencerminkan begitulah mentalitas bangsa kita.

Seruan untuk menghentikan narasi hukuman mati juga disampaikan Institute for Criminal Justice Reform dalam rilis 6 Desember 2020. 

ICJR mengatakan, "selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. Padahal faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati."

Lebih lanjut mereka menjelaskan Denmark, Finlandia, dan Selandia sebagai negara teratas dalam menekan angka korupsi berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2019 tidak menerapkan pidana mati untuk tindak pidana korupsi. Sebaliknya, China, Indonesia, dan Iran yang berada di peringkat rendah menerapkan ancaman pidana mati.

Perilaku korupsi dan fenomena korupsi
Korupsi memiliki definisi luas. Di satu sisi korupsi dipandang sebagai fenomena dari panjangnya sejarah peradaban manusia, sementara di sisi lain, ia melekat pada kecenderungan manusia berperilaku korup.

Apa yang terjadi sekarang sehingga warganet menuntut hukuman mati adalah satu konsekuensi akibat over-fokus menyikapi sisi individualitas perilaku korup.

Perbincangan itu dapat ditelusuri dari percakapan di media sosial, setelah terungkapnya dugaan suap di Kemensos. Sebagian besar mengutip ucapan Ketua KPK Firli Bahuri yang pernah berujar pelaku korupsi di masa pandemi Covid-19 dapat diancam hukuman mati.

Selain memberikan cibiran terhadap Juliari, beberapa di antara warganet mengungkit kembali soal integritas. 

Salah satu pengguna mengunggulkan dirinya dengan mengaku dapat menjaga amanah tidak menilap sepeser pun uang perusahaan yang dititipkan kepada dirinya.

Penyiar radio Imam Darto memberi peringatan bagaimana godaan 'setan' itu dapat hadir bila disodorkan uang sebanyak Rp17 Miliar, meski contoh ini tidak relevan menjelaskan konstruksi dugaan kasus korupsi yang menjerat Juliari.

Pembahasan tentang sisi manusiawi benar di satu sisi. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar memperkenalkan dalam sosialisasi di Kemenaker Fraud Triangle Theory atau Teori Segitiga Fraud sebagai kecenderungan seseorang melakukan korupsi. Tiga faktor tersebut antara lain pressure atau dorongan, opportunity atau peluang, dan rationalization atau pembenaran.

Namun telaah terhadap masalah korupsi bukan semata timbul dari faktor tunggal tindakan manusia.

KPK memiliki tiga strategi dalam pencegahan korupsi, meliputi perbaikan sistem, edukasi dan represif yang semuanya berjalan beriringan.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 1999, mengidentifikasi faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 aspek, yaitu:
1. Aspek perilaku individu
2. Aspek organisasi
3. Aspek masyarakat
4. Aspek peraturan perundang-undangan

Narasi individualitas yang mendapat sorotan luas harus diseimbangkan dengan perhatian pada aspek lainnya.

Sementara dalam perspektif yang berlawanan, semakin banyak penangkapan terduga korupsi, menandakan pula ada kelemahan pengawasan dari KPK dan pemerintahan.

Pandangan saya sederhana dalam melihat serangkain kasus korupsi yang terjadi: proses hukum tetap berjalan dan berharap tidak ada lagi kejadian korupsi ke depannya.

Saya rasanya 'sakit gigi' melihat penangkapan demi penangkapan pejabat publik KPK. Selain mereka menyalahgunakan jabatannya, tidak menjadi kenikmatan menyaksikan siaran rilis penetapan tersangka. 

Toh, ketakjuban kita selama ini dalam mengecam kemewahan para penyelenggara negara, seperti yang diperlihatkan Jaksa Pinangki, tidak mengurangi dorongan hedonisme dan konsumerisme kepada pejabat lainnya, yang membuka peluang untuk berperilaku korup..

Dalam tulisan berkaitan dengan kasus Edhy Prabowo, saya mencermati perlunya pengawasan dan pencegahan yang maksimal. ICJR mengatakan pentingnya pengawasan dan pembaruan sistem.

Pencegahan adalah langkah paling efektif dalam pemberantasan korupsi. Celah dan peluang yang memungkinkan orang untuk berperilaku korup itu harus ditutup.

Pemerintah memiliki andil besar, namun partisipasi masyrakat juga dibutuhkan, begitu juga pendapat publik tidak dapat diabaikan.

Upaya menutup celah dari kasus di Kemensos, misalnya, pernah diperlihatkan ekonom Faisal Basri dalam tulisannya pada Juli 2020 silam.

Faisal mengusulkan biaya penanganan Covid-19 berupa perlindungan sosial sebesar Rp70 T sebaiknya disalurkan langsung dalam bentuk tunai kepada penerima, tidak melalui paket non-tunai seperti penyaluran paket sembako, pos logistik/pangan/ sembako.

Upaya terencana ini menjadi bagian dari menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju ke pemerintahan yang baik (good governance).

Tulisan saya ini hanya berusaha untuk mengajak kita memahami bahwa korupsi bukan muncul dalam faktor tunggal dari perilaku manusia, tetapi mendalami lebih menyeluruh.

Dengan demikian, kita tidak terjebat kealpaan dalam melihat kemungkinan lain yang berpotensi menghadirkan korupsi.

Pencegahan tidak melulu berfokus untuk menuntut mentalitas kuat manusia, yang banyak bersandar pada imajinasi kelewat batas. Secara bersamaan, tuntutan berlebihan itu menimbulkan pula masalah lain seperti keterasingan yang merupakan penyakit pada abad modern ini. 

Manusia itu memiliki jiwa, memiliki hasrat, memiliki kehendak yang secara naluriah mungkin tidak disadarinya dapat mencelakakan orang.

Kita tidak dapat naif terhadap hal tersebut: mengandaikan kebaikan seseorang sudah cukup, berharap dia mampu sekuat tenaga dan batinnya menahan godaan agar tidak berperilaku korupsi.

Khawatirnya, ia malah tergelincir, 'kecelakaan' seperti penyesalan Edhy Prabowo.

Alasan ini pula menambah keyakinan saya, hukuman mati bukan solusi tepat dalam memberantas korupsi.

Risiko Terjadinya Korupsi Itu Ada
Pencegahan korupsi merupakan pekerjaan menantang karena ia berjalan bersamaan dengan apa yang dikerjakan pejabat dan orang-orang sekarang. 

Bahkan Nowergia yang dianggap bersih dari praktik korupsi ternyata menaruh perhatian dalam pencegahan korupsi.

Contoh menarik tentang korupsi di Norwegia ini dapat disimak melalui tulisan Direktur The Centre for integrity in the Defence Sector (CIDS) Norwegia, Per Christensen, berjudul Corruption: No One is Perfect.

Christensen mengakui meski Norwegia dianggap memiliki tingkat korupsi rendah, penilaian tersebut dapat memberikan kesalahpahaman seolah korupsi itu tidak ada.

Ia menekankan lagi definisi korupsi, yang mungkin kita telah mengetahuinya, sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.

Jadi, ini tidak berbicara semata tentang uang, tetapi juga tentang harapan adanya balasan untuk mendapat keuntungan.

Korupsi semacam ini sangat samar dan nyaris tidak mudah dilihat sebab memang harapan ada dalam pergumulan hidup manusia sehari-hari.

Pada konteks tertentu, pejabat, yang memiliki sifat layaknya manusia kebanyakan, perlu menjaga etika. Ia harus menjaga jarak. Dalam contoh konkret, ia menghindari jamuan makan bersama terhadap mitra bisnis dan pihak lain yang berharap mendapat keuntungan dari pengaruhnya.

Cara paling efisien untuk memberantas korupsi, kata Christensen, adalah mencegah terjadinya perilaku korup dan tidak etis.

Ia mengajak orang untuk mengakui fakta bahwa korupsi dapat terjadi di manapun.

Manusia memang rentan 'kecelakaan' masuk dalam pusaran korupsi, tetapi di situ di dalamnya ada peluang untuk memberantas korupsi.

Risiko korupsi itu ada dan kita harus mengakuinya. Bahkan Norwegia sebagai negara berperingkat IPK tinggi memandang risiko itu tetap ada. Risiko rendah bukan berarti tidak ada risiko, kata Christensen. Kondisi ini mungkin berkebalikan dengan imajninsi sebagian orang Indonesia bahwa korupsi itu dapat hilang bak ditelan bumi.

Mengakui adanya risiko merupakan langkah pertama untuk mencegah korupsi. Christensen menjelaskan, langkah kedua ialah berlatih mengelola risiko itu. Organisasi perlu melatih individu dalam mengelola risiko dan bagaimana menangani dilema etika sehari-hari yang sering dihadapi.

Dalam keadaan ini, saya berpendapat, pejabat publik harus berani membicarakan dilema itu kepada rekan dan kolega. Ada perasaan sungkan sebagai sahabat, tetapi harus ada penyadaran bahwa pengaruhnya sangat luas terhadap kemaslahatan masyarakat.

Orang baik ialah orang yang berani membicarakan dilemanya demi menutup peluang korupsi. Inilah salah satu bentuk transparansi dan keterbukaan.

Setidak-tidaknya keterbukaan bisa mencegah timbulnya spekulasi-spekulasi liar dari penanganan kasus korupsi yang sering diterjemahkan sebagai bentuk politisasi untuk menjatuhkan kredibilitas partai dan tokoh tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun