Pada konteks tertentu, pejabat, yang memiliki sifat layaknya manusia kebanyakan, perlu menjaga etika. Ia harus menjaga jarak. Dalam contoh konkret, ia menghindari jamuan makan bersama terhadap mitra bisnis dan pihak lain yang berharap mendapat keuntungan dari pengaruhnya.
Cara paling efisien untuk memberantas korupsi, kata Christensen, adalah mencegah terjadinya perilaku korup dan tidak etis.
Ia mengajak orang untuk mengakui fakta bahwa korupsi dapat terjadi di manapun.
Manusia memang rentan 'kecelakaan' masuk dalam pusaran korupsi, tetapi di situ di dalamnya ada peluang untuk memberantas korupsi.
Risiko korupsi itu ada dan kita harus mengakuinya. Bahkan Norwegia sebagai negara berperingkat IPK tinggi memandang risiko itu tetap ada. Risiko rendah bukan berarti tidak ada risiko, kata Christensen. Kondisi ini mungkin berkebalikan dengan imajninsi sebagian orang Indonesia bahwa korupsi itu dapat hilang bak ditelan bumi.
Mengakui adanya risiko merupakan langkah pertama untuk mencegah korupsi. Christensen menjelaskan, langkah kedua ialah berlatih mengelola risiko itu. Organisasi perlu melatih individu dalam mengelola risiko dan bagaimana menangani dilema etika sehari-hari yang sering dihadapi.
Dalam keadaan ini, saya berpendapat, pejabat publik harus berani membicarakan dilema itu kepada rekan dan kolega. Ada perasaan sungkan sebagai sahabat, tetapi harus ada penyadaran bahwa pengaruhnya sangat luas terhadap kemaslahatan masyarakat.
Orang baik ialah orang yang berani membicarakan dilemanya demi menutup peluang korupsi. Inilah salah satu bentuk transparansi dan keterbukaan.
Setidak-tidaknya keterbukaan bisa mencegah timbulnya spekulasi-spekulasi liar dari penanganan kasus korupsi yang sering diterjemahkan sebagai bentuk politisasi untuk menjatuhkan kredibilitas partai dan tokoh tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H