Saya rasanya 'sakit gigi' melihat penangkapan demi penangkapan pejabat publik KPK. Selain mereka menyalahgunakan jabatannya, tidak menjadi kenikmatan menyaksikan siaran rilis penetapan tersangka.Â
Toh, ketakjuban kita selama ini dalam mengecam kemewahan para penyelenggara negara, seperti yang diperlihatkan Jaksa Pinangki, tidak mengurangi dorongan hedonisme dan konsumerisme kepada pejabat lainnya, yang membuka peluang untuk berperilaku korup..
Dalam tulisan berkaitan dengan kasus Edhy Prabowo, saya mencermati perlunya pengawasan dan pencegahan yang maksimal. ICJR mengatakan pentingnya pengawasan dan pembaruan sistem.
Pencegahan adalah langkah paling efektif dalam pemberantasan korupsi. Celah dan peluang yang memungkinkan orang untuk berperilaku korup itu harus ditutup.
Pemerintah memiliki andil besar, namun partisipasi masyrakat juga dibutuhkan, begitu juga pendapat publik tidak dapat diabaikan.
Upaya menutup celah dari kasus di Kemensos, misalnya, pernah diperlihatkan ekonom Faisal Basri dalam tulisannya pada Juli 2020 silam.
Faisal mengusulkan biaya penanganan Covid-19 berupa perlindungan sosial sebesar Rp70 T sebaiknya disalurkan langsung dalam bentuk tunai kepada penerima, tidak melalui paket non-tunai seperti penyaluran paket sembako, pos logistik/pangan/ sembako.
Upaya terencana ini menjadi bagian dari menciptakan pemerintahan yang bersih (clean government) menuju ke pemerintahan yang baik (good governance).
Tulisan saya ini hanya berusaha untuk mengajak kita memahami bahwa korupsi bukan muncul dalam faktor tunggal dari perilaku manusia, tetapi mendalami lebih menyeluruh.
Dengan demikian, kita tidak terjebat kealpaan dalam melihat kemungkinan lain yang berpotensi menghadirkan korupsi.
Pencegahan tidak melulu berfokus untuk menuntut mentalitas kuat manusia, yang banyak bersandar pada imajinasi kelewat batas. Secara bersamaan, tuntutan berlebihan itu menimbulkan pula masalah lain seperti keterasingan yang merupakan penyakit pada abad modern ini.Â