Pembenahan iklim penulisan ini sebenarnya perlu dilihat dalam skala industri digital. Percuma juga membincangkan 4.0 jika masalah kecil dunia penulisan ternyata belum cukup menyentuh keadilan.
Karena itu, pemerintah melalui kementerian seperti Kemendikbud atau Kemenkomifo harus memperlihatkan dirinya. Mereka perlu mengeluarkan kebijakan untuk melindungi keberlangsungan penulis yang sudah berkontirbusi di dunia digital.
Penulis lepas jika dibiarkan dalam sistem pasar bebas seperti yang terjadi sekarang, ya, bisa mampus kita.
Oke, mungkin ada jalan lain, yaitu menulis cerita dengan konten dewasa, ini lebih menggiurkan untuk mendapatkan peluang traffic. Tetapi kalau konten bertema 'panas' itu terus-menerus diproduksi, bisa teler juga negeri ini.Â
Kehidupan penulis menjadi serba salah karena selalu tercampak ke pasar bebas.
Jika tidak ada pembukaan serius dari pemerintah, siklus yang dialami penulis Indonesia akan berputar-putar sampai puluhan tahun untuk kembali ke pembahasan awal: bagaimanakah nasib dan kesejahteraan penulis di Indonesia?
Apalagi penulis lepas ini statusnya sangat kabur. Kadang dianggap sebagai profesi, tetapi sebenarnya hanya pengangguran terselubung.
Jam kerjanya fleksibel bukan berarti menyenangkan. Pembaca sekalian mungkin membaca tulisan ini selama sekitar 5 menit. Tetapi, ketahuilah, saya membutuhkan waktu total sekitar dua jam untuk memproduksinya, mulai dari mengumpulkan ingatan, membuat kerangka, menuliskannya, lalu masuk ke bagian editing, proofreading, hingga mengupload sendiri. Jadi, saya memang tidak sekadar mengandalkan jari-jari tangan dalam menghasilkan tulisan.
Saya melakukan proses produksi dari hulu ke hilir, dari tier 1 sampai tier 3, secara mandiri. Ngeri juga ya, hidup ini.Â
Persoalan ini memang harus disikapi bijaksana. Sewaktu AS dijerat great depression di awal abad ke-20, Presiden AS saat itu Franklin Roosevelt mengeluarkan kebijakan Works Progress Administration. Beberapa programnya mempekerjakan seniman dan wartawan yang menganggur.Â
Seniman diminta membuat mural, wartawan diminta menulis tentang budaya kota masing-masing. Sementara yang lain dipekerjakan untuk membangun sekolah dan infrastruktur.Â