Manusia adalah bagian dari alam. Seperti tubuh, jika manusia diandaikan sebagai wajah, maka alam adalah seluruh organisme yang menentukan pergerakan tubuh. Tersenyum atau marah adalah satu bentuk bagaimana tubuh (alam) mengekspresikan apa yang dikehendakinya.
Dalam bahasa yang sederhana, mengenal alam lebih kurang sama dengan halnya mengenal diri sendiri. Begitu pun memahami alam selayaknya kita sedang memahami diri sendiri. Suatu proses terus menerus untuk memperoleh hasrat.
Namun, hasrat janganlah dikonotasikan buruk sebagaimana selama ini dimaknai sebagai sesuatu yang cenderung mendorong kehancuran moral. Hasrat pada dasarnya ada bersama dengan eksistensi manusia.
Berbicara tentang determinasi antara alam dan manusia memang seperti barang usang yang telah ditimbun dan hilang dalam ingatan. Falsafahnya amat utopis: manusia dan alam adalah satu kesatuan yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, pandangan utopis itu sejatinya adalah konsekuensi logis kehadiran manusia di dunia.
Alangkah baiknya apabila kita merubuhkan sekat-sekat antara modernitas dan tradisional. Langkah ini membebaskan urat-urat kepala untuk dapat memahami alam. Lalu bagaimana kita akan memahaminya?
Jawabannya adalah kesakitan. Foucault, psikiater Prancis yang juga mendedikasikan hidupnya untuk diskursus pengetahuan, menjelaskan bahwa rasa sakitlah yang mampu menyadarkan manusia akan tubuh yang dimilikinya. Ketika, misalnya, terjadi suatu nyeri yang teramat sakit di pergelangan kaki, maka pada saat bersamaan muncul kesadaran bahwa tubuh ternyata mempunyai organ kaki.
Kita pun akhirnya akan menyadari kehadiran alam tatkala bencana alam itu datang. Ia hadir tidak untuk mengejutkan melainkan membawa tanda-tanda. Gempa bumi adalah tanda untuk mengingatkan masyarakat pesisir yang menghadap samudera untuk segera mengungsi mewaspadai tsunami. Turunnya satwa-stawa dari gunung Merapi ke pemukiman juga mengingatkan masyarakat akan terjadinya erupsi.
Bencana alam tadi adalah pelajaran untuk menciptakan keselarasan. Kita mengenal alam selain indah dan mewangi, ia juga menjadi sebuah tragedi. Alam menjadi cermin bagi manusia. Jatuhnya korban jiwa mengingkari eksistensi manusia tadi. Kematian adalah 'ketiadaan' manusia.
Bencana alam menjadi pelajaran dalam dimensi yang lebih luas. Ia adalah bencana pada manusia itu sendiri. Kita tidak diciptakan bodoh agar jatuh pada lubang yang sama, pada kesakitan yang serupa. Maka, muncul mekanisme untuk menganggulangi bencana. Kita diajak untuk menyesuaikan diri terhadap alam agar tidak terjebak terus-menerus dalam tragedi.
Memang tragedi harus diterima, akan tetapi bukan untuk tinggal terus-menerus di dalamnya. Dengan menerima tragedi, kita akan membuka diri terhadap alam. Di sini ada batasan-batasan yang ditunjukkannya yang membuat kita seperti kehilangan hasrat untuk memerkosa diri sendiri (alam). Akan ada pertimbangan matang yang membuat kita memberontak terhadap tindakan bodoh manusia yang tidak menyadari eksistensinya terhadap alam.
Kita dibantu oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk berlaku tepat dalam melakukan penganggulangan bencana. Dalam beberapa bencana yang terjadi, BNPB dianggap sebagai Dewa yang dapat menghentikan datangnya bencana alam. Padahal mereka tidak mungkin dapat bertindak melawan kodrat alam itu sendiri.
Peristiwa terakhir yang teramat memilukan adalah kebakaran lahan di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan. Selain alasan kesehatan, api juga dapat membakar pundi-pundi ekonomi negara. Bola panas sampai merembet menjadi perkara konspirasi atau kejahatan korporasi yang bermain di lahan gambut.
Entahlah, namun Gubernur Sumsel ketika itu Alex Nurdin meminta masyarakat tidak mencari kambing hitam dan lebih berfokus untuk memadamkan api yang semakin meluas.
BNPB dan Optimisme di Radio
Banyaknya korban jiwa dalam skala bencana adalah sebuah peringatan. BNPB harus siap untuk bercucuran keringat lebih banyak untuk mengedukasikan penanggulangan bencana. Situasi pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana terjadi sedapat mungkin sudah membatin dalam kearifan masyarakat.
BNPB lalu memilih radio untuk mengomunikasikan penanggulangan bencana. Kabar baiknya sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana yang digagasnya, didengarkan oleh 43 juta audiens. Ada angin segar yang terasa. Radio masih dinikmati oleh masyarakat.
Optimisme ini kian bertambah setelah Nielsen mengeluarkan data pendengar radio November lalu. Rata-rata 20 juta orang mendengarkan radio setiap minggunya. Pendengar radio yang disurvei setidaknya menghabiskan rata-rata waktu 139 menit per hari. Nielsen, lebih lanjut, menyebutkan bahwa 57% pendengar radio merupakan pendengar dengan usia yang relatif muda. Generasi Milenial menyumbang sebanyak 38% Â pendengarnya.
Artinya radio mempunyai pendengar potensial yang notabene mereka berhasrat dalam menciptakan kemajuan yang lebih beradab. Mereka adalah generasi yang membebaskan diri untuk belajar dari segala arah, yang juga terlibat dalam diskursif masyarakat dunia maya.
Untuk mendapatkan hati mereka, saluran penanggulangan bencana perlu disampaikan dengan tujuan yang menghibur. Kira-kira informasi itu harus dulce et utilise'indah dan bermanfaat'. Sependapat dengan itu, teman saya pernah bercerita bahwa memang generasi ini menerima lebih mudah hal-hal yang relatif sederhana. Bukan berarti bahwa hal itu menutup kemungkinan mereka untuk melihat peristiwa secara luas.
Mereka menyukai keindahan, maka mereka berpetualang dengan nuansa-nuansa keindahan yang diberikan. Persentuhan langsung dengan alam ini adalah awalan yang bagus. Radio akan menjadi tempat untuk mereka menceritakan pengalamannya. Mereka akan senantiasa mengekspresikan keindahan yang ditemukan.
Di sini radio adalah ruang diskusi melalui saluran telepon sebagaimana biasanya, namun tetap dengan wacana akan sadar bencana. Radio mengantar pandangan dan persepsi pendengar untuk jujur mengakui dirinya yang autentik. Bahwa memang ia berada di antara surga dan bencana alam yang tidak satu setanpun dapat mengetahuinya.
Keselarasan dengan alam adalah falsafah yang akan menunjukkan identitasnya yang autentik. Sumbernya bermacam, terutama dari cerita turun-temurun dan kearifan lokal, sebab nyatanya petuah, larangan, dan pantangan nyatanya mampu mempertahankan keseimbangan alam. Misalnya falsafah lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan yang dipegang kuat oleh masyarakat Baduy, Jawa Barat.
Seperti yang dicatat Permana dan koleganya saat meneliti masyarakat Baduy, mereka menemukan fakta bahwa pemukiman masyarakat Baduy hampir tidak pernah dilanda banjir meskipun berada dekat dengan aliran sungai dan tidak pernah sekalipun terjadi kebakaran hebat ketika mereka melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma).Â
Falsafah ini dapat menjadi salah satu contoh gagasan dalam membangun budaya sadar bencana. Di radio kisah-kisah serupa dapat diceritakan kembali dengan mempertimbangkan bencana apa yang diprediksi akan terjadi. Ahli-ahli atau tokoh mengenai penanggulangan bencana diseimbangkan lewat kehadiran selebiriti atau tokoh-tokoh inspiratif. Mereka adalah representasi pendengar yang masih awam dalam pembicaraan sehingga wacana dapat diterima baik.
Akan terasa syahdu apabila acara mulai diputar di malam hari. Katakanlah waktunya antara pukul 21.00-23.00. Pendengar tengah bersiap menutup malamnya. Keheningan dan ketenangan ini yang memudahkan informasi diterima banyak. Setelah itu ada sedikit waktu untuk berefleksi sebelum menutup hari.
Informasi diakhiri bagaimana menghadapi situasi tersebut. BNPB mempunyai rancangan dan jawaban atas hal tersebut. Pembawa acara menyadurkannya kepada pendengar, dengan sedikit jenaka, tentunya.
Wacana sadar bencana harus diproduksi terus-menerus. Ketika ia sudah dikenal, dibicarakan, maka akan direproduksi kembali oleh pendengar. Terutama dalam menghadapi situasi pra dan saat bencana, wacana itu mutlak untuk disuarakan. Maklum saja, peringatan spanduk belum cukup untuk menghentikan praktik 'ngeyel' membuang sampah sembarangan. Begitu juga dengan tindakan kecil lain yang kerap diabaikan. Di sinilah memang peran sentral pejabat dan tokoh setempat dihadirkan.
Budaya sadar bencana memang tidak dapat terbentuk tiba-tiba hanya pada saat menjelang atau sesudah bencana terjadi. Radio pada waktu yang bersamaan perlu membangun basis pendengar. Ia juga perlu membentuk budaya-budaya memberontak untuk sadar akan tragedi yang harus dihadapinya.
Ia yang dapat menerima tragedi tidak akan tertidur sambil menunggu dewa untuk menyelematkannya. Masyarakat, terutama generasi milenial, mempunyai gaya memberontak yang berbeda. Di radio, nanti, akan selalu ada suara yang menghormati dan suara yang mencibir nama mereka yang tidak sadar bencana. Para pejabat yang diharapkan untuk terlibat mungkin menghindari hal yang terakhir. Mereka lebih baik berdamai dengan tragedi dan bekerja sama untuk membangun budaya sadar bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H