Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penundaan Pelantikan Kepala Daerah, antara Efisiensi dan Kepastian Politik

1 Februari 2025   11:28 Diperbarui: 1 Februari 2025   13:24 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendagri saat menyampaikan penundaan pelantikan kepala daerah tanpa sengketa di Jakarta. (Dokumentasi KOMPAS. com/SINGGIH WIRYONO) 

Agenda pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 tanpa sengketa PHP di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadwalkan tanggal 6 Februari 2025, akhirnya ditunda.

Kepastian penundaan pelantikan gelombang pertama untuk  ratusan kepala daerah tersebut, disampaikan Mendagri Tito Karnavian di Jakarta, Jumat 31 Januari 2025.

Padahal jadwal pelantikan untuk tanggal 6 Februari 2026 sudah disepakati bersama antara pemerintah dengan KPU, Bawaslu dan DKPP dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Senayan, beberapa waktu lalu.

Dimana pelantikan akan dilakukan di ibukota negara Jakarta. Untuk pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terpilih, tanpa sengketa.

Penundaan pelantikan dilakukan setelah MK menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2025 pada 24 Januari 2025. Dimana MK dijadwalkan membacakan putusan dismissal, pada tanggal 4-5 Februari 2025 untuk 310 perkara.

Putusan dismissal (sela) oleh Hakim MK, akan menentukan perkara pilkada yang akan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Serta perkara yang dihentikan dan tereliminasi.

Mengingat jadwal putusan dismissal berdekatan dengan pelantikan tahap pertama, maka jadwal pelantikan ditunda. Menunggu adanya perkara yang dihentikan oleh MK.

Perkara yang dihentikan ini nantinya akan menjadi dasar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah, guna menetapkan paslon  yang memenangkan pilkada.

Untuk paslon kepala daerah yang telah ditetapkan oleh KPU Daerah, pelantikannya akan disatukan dengan paslon tanpa sengketa MK, sebanyak 296 kepala daerah.

Penyatuan tersebut dimaksudkan guna terjadi efisiensi sebagaimana keinginan Presiden. Efisiensi dimaksud meliputi, aspek waktu, administrasi dan anggaran.

Tujuan efisiensi tentu sangat positif. Khususnya aspek anggaran. Dimana pemerintah bisa melakukan penghematan, karena pelantikan tidak dilakukan berulang-ulang.

Tertundanya Kepastian Politik

Mendagri sendiri belum memastikan kapan pelantikan kepala daerah terpilih (definitif) dijadwalkan kembali. Mengingat proses administrasi setelah putusan dismissal, masih panjang.

Selain itu Mendagri masih meminta pendapat hukum dari Mahkamah Agung (MA). Serta melakukan rapat kerja kembali dengan Komisi II DPR RI, terkait penundaan pelantikan tersebut.

Pendapat hukum yang diminta oleh Mendagri, bisa jadi terkait revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) no 80 tahun 2024 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah.  

Hakim yang bersidang di panel 3 terkait adanya sengketa di MK . Dok Instagram Mahkamah Konstitisi
Hakim yang bersidang di panel 3 terkait adanya sengketa di MK . Dok Instagram Mahkamah Konstitisi

Dengan adanya penundaan pelantikan, otomatis menunda keinginan Presiden Prabowo Subianto yang menghendaki kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 ,segera dilantik.

Tujuannya agar kepala daerah terpilih bisa segera bekerja, sehingga memberikan kepastian politik di daerah. Serta dunia usaha di daerah bisa berjalan optimal dengan adanya pemerintahan baru.

Selain itu polarisasi masyarakat akibat pelaksanaan pilkada, bisa segera teratasi setelah pelantikan. Dengan adanya suasana yang kondusif pasca pelantikan, diharapkan pemerintahan baru bisa berjalan efektif.

Padahal sejatinya untuk yang tanpa sengketa, bisa saja dilantik sesuai jadwal. Jika Presiden ingin secepatnya memberikan kepastian politik di daerah. Tanpa harus menunggu putusan dismissal.

Semakin cepat dilantik, maka kepastian politik pun semakin cepat. Adapun kepala daerah definitif, bisa segera bekerja menggantikan tugas PJ kepala daerah sebelumnya. 

Konsekuensi dengan ditundanya pelantikan, maka kepastian politik pun ikut tertunda. Transisi pemerintahan di daerah pun, akan semakin lama. 

Padah dalam Peraturan KPU no 2 tahun 2024, sudah mengatur tahapan penetapan paslon. Serta tahapan pengusulan pengesahan pengangkatan paslon, untuk tanpa sengketa dan yang bersengketa di MK.

Dimana untuk yang bersengketa di MK, penetapan paslon dilakukan 5 hari setelah salinan penetapan, putusan dismisal atau putusan MK diterima oleh KPU Daerah.

Sedangkan untuk pengusulan pengesahan pengangkatan paslon terpilih yang bersengketa di MK, dilakukan 3 hari setelah penetapan paslon terpilih, pasca adanya putusan MK.

Dengan tahapan ini, pemerintah lewat Mendagri tidak salah jika mendahulukan pelantikan paslon kepala daerah tanpa sengketa yang sudah didahului proses penetapan oleh KPU Daerah.  

Selanjutnya melakukan pelantikan terhadap paslon yang sudah melewati proses sengketa. Dimana ditandai adanya putusan MK, serta adanya penetapan oleh KPU Daerah.

Jadi setelah putusan dismissal, jadwal pelantikan yang akan disatukan butuh waktu. Karena  masih ada proses penetapan oleh KPU Daerah. Selanjutnya rapat paripurna DPRD, guna pengusulan pengesahan pengangkatan paslon ke Mendagri.

Namun demikian, tidak salah juga niat pemerintah untuk melakukan penundaan guna efisiensi. Agar anggaran pelantikan bisa dihemat, karena pelantikan kepala daerah disatukan sekaligus.

Pelantikan di Ibukota Negara

Pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 sendiri akan dilakukan di ibukota negara oleh Presiden Prabowo Subianto. Adapun pelantikan oleh Presiden, didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, pasal 164 B.

Dimana menyebutkan, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, secara serentak.

Adapun pasal 163 ayat 1 menyebutkan, Gubernur dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibukota negara. Ibukota negara menurut Mendagri, adalah di Jakarta.

Mengingat belum ada Peraturan Presiden (Perpres) tentang perpindahan ibu kota ke IKN, maka status Ibu Kota Indonesia masih tetap di Jakarta.

Sementara pasal 164A ayat 1 menyebutkan, pelantikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 163 dan Pasal 164, dilaksanakan secara serentak.

Berdasarkan regulasi Undang-Undang tersebut, maka Presiden dapat melakukan pelantikan terhadap Gubernur, Bupati dan Walikota secara serentak, di ibukota negara Jakarta.

Walau dalam pasal 164 ayat 1 menyebutkan, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur di ibukota provinsi yang bersangkutan.

Soal dimana lokasi pelantikan Bupati dan Walikota terpilih, tidak menjadi masalah. Selama tidak bertentangan dengan kentutan pasal dalam Undang-Undang.

Karena yang esensial dari agenda pelantikan kepala daerah adalah, soal efisiensi dan kepastian politik yang menguntungkan bagi daerah.

Dengan pelantikan secara serentak di ibukota negara, maka tidak perlu lagi dilakukan pelantikan Bupati dan Walikota di daerah. Sehingga tidak perlu pengeluaran anggaran yang besar untuk pelantikan.

Anggaran pelantikan dapat dialihkan untuk kegiatan lain yang mendesak di daerah. Kepala daerah yang sudah dilantik oleh Presiden di Jakarta, bisa langsung pulang dan bekerja melayani rakyat.

Menanti Hasil Sengketa Sulteng

Untuk Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) sendiri, dari hasil pilkada serentak 2024,terdapat 11 daerah yang bersengketa di MK. Dan kini menunggu putusan dismissal.

Meliputi Kabupaten Poso, Sigi, Morowali Utara, Morowali, Donggala, Buol, Banggai, Banggai Kepulauan, Parigi Moutong, Kota Palu dan Provinsi.

Adapun 3 Kabupaten yang tanpa sengketa yakni Tojo Una-una, Banggai Laut dan Tolitoli. Tadinya kepala daerah terpilih dari tiga kabupaten ini akan dilantik pada tanggal 6 Februari 2025, namun akhirnya ditunda.

Masyarakat Sulteng sendiri tengah menunggu putusan dismissal. Mengingat adanya sengketa di MK, telah menyita perhatian besar masyarakat di ruang publik.

Khususnya sengketa hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dimohonkan oleh pasangan Ahmad Ali dan AKA. Terkait adanya pelanggaran administrasi oleh penyelenggara dan penggunaan kekuasaan.

Namun kembali lagi masyarakat hanya bisa berdialektika, pada akhirnya putusan hakim MK di panel 3 yang menentukan. Apapun putusannya, akan bersifat final dan mengikat.

Putusan dismissal akan menentukan mana perkara di Sulteng yang dihentikan dan dilanjutkan ke tahap pembuktian. Untuk yang dihentikan, maka pelantikannya akan disatukan dengan tanpa sengketa.

Bagi kepala daerah tanpa sengketa yang tadinya akan dilantik lebih dulu, kini harus bersabar menunggu jadwal baru. Demikian pula masyarakat yang sudah tidak sabar menanti adanya pemimpin baru, harus menahan diri.

Penundaan hanya soal waktu. Pada akhirnya kualitas pemerintahan, itulah yang diharapkan dari kinerja kepala daerah terpilih, setelah dilantik nantinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun