Dalam perbincangan dengan seorang kawan di Kota Palu belum lama ini, dirinya memberi informasi kalau ada lahan di desanya yang akan dijual seharga puluhan juta rupiah dengan luas lahan sekian hektar.
Bukan sekadar lahan kosong semata yang dijual, namun ada kebun di dalamnya dengan komoditi hortikultura. Lahan tersebut juga prospek untuk ditanami komoditi tanaman pangan lainnya.
Desa dimaksud sendiri berada di daerah ketinggian Lembah Lore Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dengan lahan tanah yang subur, sehingga potensial untuk ditanami berbagai komoditi pertanian dan perkebunan.
"Lumayan bung kalau ada lahan kebun di desa. Sewaktu-waktu bisa berkunjung untuk mengurus komoditi yang ditanam. Sekaligus refreshing menikmati suasana desa, kalau jenuh dengan kesibukan sehari-hari," ujar sang kawan.
Daerah yang dimaksud kawan tersebut sudah sering saya kunjungi, dan memang dikenal dengan komoditi pertanian dan perkebunan yang potensial. Karena kontur tanah yang subur didukung iklim yang baik, maka produktivitas komoditi sangat prospek.
Dalam suatu kesempatan bertemu petani di daerah tersebut mengatakan jika komoditi yang ditanam selama ini, sudah ada pihak yang membeli sebelum panen dengan harga yang sesuai. Karena itu tidak perlu lagi repot-repot menjual komoditi pasca panen.
Mata pencaharian warga di daerah tersebut selama ini dominan pada sektor pertanian dan perkebunan. Bukan hanya menjadi mata pencaharian untuk kehidupan sehari-hari, namun juga mampu membiayai pendidikan anak di perguruan tinggi yang ada di Palu maupun kota lainnya.
Bahkan selama ini komoditi dari kawasan Lembah Lore tersebut menjadi penyangga kebutuhan pangan di wilayah Sulteng. Bahkan juga telah disuplai untuk kebutuhan provinsi lain di luar Sulawesi yakni pulau Kalimantan.
Itulah sebabnya, tidak sedikit pelaku usaha atau investor yang mencari lahan di wilayah Lembah Lore untuk kepentingan usaha pertanian, perkebunan, peternakan maupun budidaya perikanan. Karena diyakini usaha tersebut prospek secara financial jika digeluti secara mumpuni.
Bahkan tidak sedikit kalangan bermodal yang turut membeli lahan di wilayah tersebut, untuk usaha pertanian maupun aset pribadi. Ketertarikan untuk mendapatkan lahan guna kepentingan komersil maupun sebagai aset menjadi sebuah keniscayaan.
Peluang Usaha Komoditi Pangan
Ada beberapa faktor mengapa pelaku usaha maupun kalangan bermodal tertarik memiliki lahan, guna mengembangkan bisnis komoditi pertanian, perkebunan, peternakan maupun budidaya perikanan di desa.
Pertama, semenjak provinsi Kalimantan Timur ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara (IKN) baru. Di mana provinsi Sulteng menjadi daerah penyangga suplai komoditi pangan untuk kebutuhan IKN nantinya.
Sebagai bukti bahwa Sulteng menjadi daerah penyangga, dua Gubernur Sulteng dan Kaltim telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) di Samarinda beberapa waktu lalu. Di mana kebutuhan logistik pangan menjadi salah satu bidang yang masuk dalam MoU.
Kedua, Sulteng menjadi daerah untuk program nasional hilirisasi nikel dengan hadirnya industri smelter (pabrik pemurnian nikel) yang mempekerjakan puluhan ribu tenaga kerja di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.
Kebutuhan logistik pangan sehari-hari dalam jumlah besar sangat dibutuhkan bagi para tenaga kerja yang berada di smelter. Saking besarnya kebutuhan logistik tersebut, bahkan harus disuplai dari dari daerah lain di Sulawesi.
Ketiga, semakin menggeliatnya usaha kuliner di Kota Palu dan daerah lainnya di Sulteng. Ditandai dengan menjamurnya kehadiran street food, cafe, rumah makan, hingga resto yang membutuhkan suplai komoditi pangan sebagai bahan baku.
Keempat, berkembangnya usaha UMKM yang berasal dari produk turunan komoditi pertanian. Di mana bahan baku komoditi untuk diolah menjadi produk turunan UMKM sangat dibutuhkan. Semakin baik bahan bakunya, semakin bagus dan berkualitas produk olahannya.
Perilaku pelaku usaha maupun kalangan yang tertarik mengelola potensi desa untuk kepentingan bisnis, kini menjadi fenomena gentrifikasi yang tak bisa dielakkan. Apalagi peluang untuk mendapat profit sangat terbuka lebar, mengingat komoditi yang dikelola sangat prospek di pasaran.
Tentu saja fenomena gentrifikasi semakin menjadi, saat warga desa bersikap welcome kepada pelaku usaha yang sudah membeli lahan mereka. Aspek simbiosis mutualisme berlaku, saat warga desa membutuhkan dana emergensi dan pelaku usaha butuh lahan secara cepat.
Cerita gentrifikasi ke wilayah desa sebenarnya dari dulu sudah terjadi. Namun beberapa waktu terakhir ini menjadi trend, karena peluang usaha yang semakin terbuka lebar. Ekspansi pelaku usaha ke desa dilakukan karena tidak ingin kehilangan momentum di sektor bisnis.
Bukan hanya di Lembah Lore, beberapa wilayah di Sulteng yang prospek untuk lahan usaha pertanian dan perkebunan, turut menjadi incaran pelaku usaha untuk bisa berinvestasi.Â
Dampak gentrifikasi bukan hanya pada transformasi sosial namun juga ekonomi. Saat kehadiran pelaku usaha mengelola lahan tidur menjadi produktif dan berdaya guna.
Harus diakui daerah Sulteng diberkahi lahan yang subur serta memiliki sumber daya alam yang mendukung untuk usaha pertanian. Walaupun demikian diperlukan ketersediaan sarana dan infrastruktur yang memadai, agar pengelolaan bisa lebih produktif dan maksimal.
Hal ini diungkapkan sendiri seorang pelaku usaha yang sudah mendapatkan lahan di Kabupaten Sigi untuk mengembangkan komoditi perkebunan. "Saya dapat lahan dengan harga sesuai. Sudah saya tanami komoditi durian," ujarnya kepada saya dalam perbincangan di sebuah warung kopi di Palu.
Dirinya beruntung mendapat lahan yang subur serta sumber air yang dekat, sehingga tidak terkendala untuk mengembangkan usahanya. Adapun untuk prasarana lainnya berupa bibit, pupuk dan peralatan pertanian dan bisa diusahakan jika sudah punya lahan.
Di satu sisi pro kontra masuknya pelaku usaha ke desa dengan penguasaan lahan yang dominan tak bisa dihindari. Di mana dianggap dapat menggerus keberadaan petani lokal yang sejak dulu bekerja di lahan sendiri.
Jika keseringan menjual lahan usaha, maka lama kelamaan lahan akan habis, pada akhirnya petani lokal menjadi pekerja pada lahan milik pelaku usaha. Tentu ini menjadi ironi jika keberadaan petani justru menjadi tamu di daerahnya sendiri.
Perlindungan Petani dari Gentrifikasi
Tentu yang hendak digarisbawahi di sini adalah, sisi positif kehadiran pelaku usaha yang memberi dampak utilisasi (manfaat) terhadap pengembangan potensi yang ada di pedesaan. Khususnya potensi pertanian yang dikelola secara holistik guna mencapai produktivitas.
Dalam pasal 1 Undang-Undang (UU) nomor 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani menyebutkan, komoditas pertanian adalah hasil dari usaha tani yang dapat diperdagangkan, disimpan, dan dipertukarkan.
Adapun yang dimaksud usaha tani adalah kegiatan dalam bidang pertanian. Mulai dari sarana produksi, produksi atau budi daya, penanganan pascapanen, pengolahan, pemasaran hasil, dan jasa penunjang.
Sedangkan dimaksud pelaku usaha adalah setiap orang yang melakukan usaha sarana produksi pertanian, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Serta jasa penunjang pertanian yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia.
Bagi pelaku usaha yang memahami regulasi UU ini dan tindakan gentrifikasi ke desa dilakukan dengan maksud baik, maka tidak perlu dikuatirkan kehadirannya tidak akan membawa dampak utilisasi.
Justru diharapkan kehadiran pelaku usaha dapat mengangkat dan memberdayakan petani lokal. Sebagaimana dalam pasal 49 UU nomor 19 tahun 2013, bahwa petani dapat melakukan kemitraan usaha dengan pelaku usaha dalam memasarkan hasil pertanian.
Keberadaan UU dalam memberikan perlindungan dan memberdayakan petani terhadap fenomena gentrifikasi dibutuhkan, sehingga kehadiran pelaku usaha di desa bukan sebagai saingan. Sebaliknya pelaku usaha tidak bisa menafikan untuk bermitra dengan petani lokal.
Kehadiran pelaku usaha secara tidak langsung akan ikut serta dalam pembangunan desa lewat pengembangan potensi pertanian. Di mana bermuara pada tercapainya kesejahteraan masyarakat desa lewat kemitraan dan pemberdayaan bersama.
Ini relevan dengan yang disebutkan dalam pasal 8 UU no 6 tahun 2014 tentang Desa. Yakni pembangunan desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam pasal 78 menyebutkan pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia. Serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Tentu saja bagi pelaku usaha yang sudah melakukan gentrifikasi ke desa dan mengambil bagian membangun sarana dan prasarana, mengembangkan potensi lokal serta memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, maka telah ikut serta dalam membangun desa.
Walaupun terlihat ideal, namun dalam realitasnya tidak semua pelaku usaha berkontribusi membangun desa. Benar bahwa ada oknum pelaku usaha yang justru menggerus potensi desa. Namun banyak juga kisah inspiratif pelaku usaha yang sukses ikut serta membangun desa.
Keberadaan regulasi berupa UU tentu saja sebagai rambu-rambu, agar pelaku usaha tidak bertindak sesukanya saat berinvestasi ke desa. Di satu sisi keberadaan desa juga tidak bisa mengelak kalau memerlukan kehadiran pelaku usaha.
Yakni berperan serta dalam mengelola dan mengembangkan potensi desa dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H