Di satu sisi tidak bisa ditampik bahwa suara penolakan I Wayan Koster telah merebut atensi narasi di ruang publik. Bahwa kebijakan politik Pemerintah Indonesia yang menolak penjajahan tak bisa ditawar-tawar lagi. Meski lewat event sekelas piala dunia yang digelar oleh FIFA.
Terbukti buntut kegagalan drawing serta kemungkinan batalnya Indonesia menjadi tuan rumah, sosok I Wayan Koster kah yang justru mendominasi keriuhan narasi di ruang publik. Baik narasi yang pro maupun kontra terhadap dirinya.
Penolakan I Wayan Koster yang mewakili Pemprov Bali di masa injuri time, harus diakui telah turut "menggerus" kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah.
Dalam hal ini PSSI dan Pemerintah yang sudah bersiap secara maksimal, dalam mensukseskan gawean dunia tersebut. Termasuk menjadikan Bali sebagai salah satu venue pertandingan.
Tentu tidak bisa serta merta menjudge I Wayan Koster sebagai insan yang tidak cinta tanah air dan mengedepankan semangat persatuan sebagai langgam seorang Sukarnois. Karena turut menggerus kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia lewat penolakan kehadiran timnas Israel.
Terbukti selama ini, Bali selalu sukses menggelar event Internasional termasuk yang terakhir event KTT G20 yang dihadiri para Pemimpin Negara. Semua event yang sukses dan aman digelar di Bali, secara tidak langsung telah turut mengangkat citra positif Indonesia di mata dunia. Â
Sebagai episentrum destinasi wisata dunia, Bali senantiasa sukses melaksanakan tugas dan peran geopolitik regional maupun global jika Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah. Di Bali dimensi budaya, religi, politik, ekonomi dan wisata bisa melebur bersama dalam sebuah peradaban yang guyub. Â
Maka tentu terkesan kontradiksi jika I Wayan Koster seketika saja mengambil kebijakan "kontroversi" terhadap event Piala Dunia. Dimana event ini sudah pasti turut berdampak pada kehadiran wisatawan dan mendongkrak ekonomi masyarakat di Bali.
Meski demikian adanya sorotan bahwa I Wayan Koster telah mencampuri urusan olahraga dengan politik memang tidak bisa dinafikan. Bahwa FIFA sebagai yang punya gawean, sementara Indonesia sebagai tuan rumah, itu merupakan ranah berbeda yang harus dipahami. Baik oleh seorang I Wayan Koster maupun kalangan yang melakukan penolakan.
Apalagi posisi Indonesia sebagai tuan rumah adalah karena keinginan PSSI yang didukung Pemerintah Pusat. Bukankah sebagai Pemerintah Daerah, kebijakan Gubernur harus selaras dan bersinergi dengan Pemerintah Pusat, demi menjaga kepercayaan dunia?