Mohon tunggu...
Cerpen

Teror

7 Oktober 2016   11:55 Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:03 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Efraim Mbomba Reda

            Sewaktu peluru menembus perut Santoso dikabarkan, masyarakat seperti dibius oleh kekalutan, terhenyak di dalam ketakutan. Belenggu trauma terhadap teror seketika melayang, terbang menembus awan. Wajah – wajah yang awalnya mendukung operasi militer itu tiba – tiba pucat dibias sinar kegelisahan. Sebab, apa yang diharapkan mereka telah terjawab, tetapi menyaksikan tangisan mengelilingi pemakaman Santoso, masyarakat kembali lunglai. Semua orang yang menyaksikan menempatkan diri sebagai orang terdekat Santoso, yang tak merelakan kepergian itu.

            Ketika sebuah bangsa di dalam letak geografisnya terpisah – pisah dengan pulau – pulau lainnya, terkadang hanya duka dan bencana yang mampu menyatukan semua dan membuat banyak orang saling berbelasungkawa. Mungkin karena merasa sensib.

            Tetapi sebagai anak bangsa, aku tetap memelihara kesadaranku agar aku tetap terjaga kalau bangsaku dalam perjalanan masa lalunya telah menunjukan ‘kerendahan diri.’ Bangsa dalam sejarah masa lalunya juga telah mewariskan kepada anak cucunya etika kaum pelayan. Bangsa kita beratus tahun dibesarkan dengan cara berpikir budak. Ketergantungan penuh kita ditunjukan pada keagungan tak terhingga pada kebudayaan barat. Kemerdekaan kita masih sebatas kata.

            “ Aku berdoa agar kelak, anak yang aku kandung ini dapat berguna bagi nusa dan bangsa. Tidak seperti Santoso.”

            “ Kau terlalu berharap Bu, yang terjadi di dalam dunia ini kerap tidak seindah yang kita inginkan.”

            “ Maksudmu, aku tidak mampu mendidik anakku seperti yang aku harapkan? Kau meremehkan niat dan keyakinanku?”

            “ Aku tidak bermaksud membunuh harapanmu Bu, tetapi sadarkah kau bahwa ungkapanmu di atas hanyalah usaha untuk mendamaikan dirimu sendiri?”

            “ Tidak seperti itu, sedikit tetapi tidak sepenuhnya salah. Aku hanya berharap sebagai manusia kau mampu menemukan kekosongan yang membebaskan.”

            “ Kau kira kenyataan yang kau saksikan itu benar – benar sebagai sebuah kenyataan? itu yang membuat kau menjadi apatis. Kau pasti akan bertanya apakah dengan harapan itu aku akan menjadi bahagia? Iya, kedamaian yang kau pelihara di dalam dirimu lebih nyata dari tragedi Santoso yang kau saksikan.”

            “ Aku kira kau tidak takut terhadap dunia kan?”

            “ Lebih dari itu Bu, ketakutanmu terpancar lewat ucapan – ucapan kegundahanmu. Santoso bukanlah ilusi Bu, dia nyata melebihi anakmu!”

            Adakalanya tragedi yang mengris hati seperti Santoso mampu menghanyutkan kebesaran pikiran yang menjadi dimensi terbesar di dalam kehidupan. Dengan demikian, tidak ada lagi yang dengan kebodohannya lagi – lagi membenci diri sendiri.

            Hidup mungkin sebuah pergulatan menuju kedamaian, dan yang mengatakan kedamaian serta kebahagiaan itu semu kadang telah terhempas di dalam dera yang tidak terbatas. Jika kedamaian telah dipatahkan jangan berharap kebahagiaan dan kesempurnaan itu akan datang. Manusia rupanya perlu menjaga jarak dari dunia. Oleh karena itu, menciptkan dunia adalah pilihan orang yang berkeyakinan. Orang yang sepatutnya mendapat penghargaan, sebab merekalah yang membayar kedamaian jiwa mereka dengan pilihan hidup yang kadang dilihat berbeda oleh dunia.

            Betapa dekatnya harapan yang seorang ibu itu mulai bangun untuk kebahagiaan anaknya di hari esok. Tetapi kenyataan kembali mengguncang lewat percakapan seorang ibu yang kadang memporakporandakan keyakinannya. Apakah kita masih sama, ketika sukacita bermaksud bercumbu dengan dunia cinta? Apakah kita masih sama, ketika Santoso ditembak dan dikuburkan? Apakah kita masih sama?

            Kesedihan itu akan menghimpitmu, mengiris – iris semua ketidakpedulian serta keangkuhan yang membelenggu manusia dan membuat manusia tetap memelihara kenaifannya.

            Rupanya tidak hanya itu, bagi anak – anak kos yang memiliki televise Santoso juga menjadi perbincangan hangat untuk meringkuk kesepian, Santoso menjadi bualan siang hari untuk memecah kantuk yang datang, Santoso juga menjadi tema menarik untuk dikuliti aktivis hari ini.

            Perbincangan Santoso akhir – akhir ini juga menyeret politik media yang kerap menciptakan samudera, memamerkan bencana agar Koran – Koran semua habis terjual dan majalah habis dilahap masa, dengan target mendatangkan segudang uang. Kedatangan mahasiswa dari Israel yang berada di sana selama sekitar delapan bulan memberikan testimoni kalau hubungan harmonis antara Israel dan Palestina sungguh – sungguh dilebih – lebihkan oleh media di Indonesia. Bangsa yang dihimpit oleh orang yang tergesa – gesa ini sungguh memuakan.

            “ Kedamaian di Israel tidak dapat kita temukan di tempat – tempat lain, masyarakat di sana hubungannya sangat harmonis dengan warga Palestina. Mereka kerap mendengungkan kalau peperangan merebut lahan itu urusan negara. Mereka tetap melihat sesamanya sebagai saudara bukan musuh.”

            “ Iya, iya,iya.”

            Dua mahasiswa itu mungkin sedari lahir dibesarkan dengan didikan yang berebeda sehingga tibiat mereka pun berbeda juga. Secara lahiriah tepatlah untuk dikatakan kalau mereka berdua memiliki pembawaan yang berbeda – beda.

            Yang satunya sedari tadi hanya mengangguk – angguk apa yang disampaikan oleh sahabatnya kepada kami. Seolah sebelumnya orang ini telah didoktrin untuk mengiakan semua perkataan sahabatnya.

            “ Orangtua di Israel juga cara mendidiknya tidak seperti yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia. Mereka tidak pernah menggunakan kekerasan, memukul anak – anak mereka dengan tujuan untuk menyadarkan suatu hal yang penting seperti yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia. Mereka memberi ruang untuk imajinasi anak – anak berkelana, dan mereka akrab sekali dengan buku – buku.”

            “ Iya, Iya,iya.”

            Kami yang berkumpul untuk mendengarkan cerita itu layaknya anak – anak yang haus pada dongeng serta kisah – kisah untuk menyegarkan jiwa yang keblinger. Kami mendengarkan dengan saksama serta terus mengagumi mereka seperti seorang dewa.

            “ Israel tidak sebesar pulau Jawa. Sewaktu kami disana kami tidak pernah mendatangi tempat – tempat hiburan malam. Kami dengan mereka memberikan contoh dalam tindakan mereka sehari – hari yang sangat menghargai waktu. Dan di kampung – kampung wanita – wanita di sana sangat sopan dan anggun. Cara berpakayan mereka menunjukan bahwa mereka sangat mencintai diri, tidak pernah memakai bikini. Walau cuaca sedingin es dan sepanas api selalu ada cela bagi wanita untuk memampangkan kemolekan mereka, seperti yang kebanyakan wanita di Indonesia lakukan. Dan itu yang tidak mereka tunjukan.”

            Media memamerkan bencana. Aku terus ikut mencaci keadaan ini di Indonesia. Aku yang dipenuhi oleh pikiran negatif ataukan keadaan yang demikian? Ah, banyak orang mengatakan hal yang sama meski itu bukanlah sebuah kebenaran, kita lihat saja keadaan. Cerita yang mereka bawa rupanya banyak gunanya juga bagi anak – anak kos yang merasakan dan berpikir bahwa itu merupakan suatu hal yang penting untuk dipikirkan daripada membaringkan wanita di tempat tidur usang seperti yang kebanyakan dilakukan anak – anak kos.

            Menyetubuhi cinta akan melahirkan kembali cinta, mensyukuri anugerah juga akan melipatgandakan kembali anugerah. Tetapi percuma saja jika kita bicara tentang nilai – nilai kehidupan dengan manusia – manusia yang semakin hari semakin akrab dengan setan – setan. Percuma, hanya cacian di belakang layar yang kita dapatkan dan stigma tertentu akan diberikan untuk kita dengan tujuan mengejek.

            Namun, masih merupakan hal yang penting untuk dikabarkan pikiran yang menyelimuti kita mesti dipaksa dengan teliti, dan informasi yang kita dapatkan mesti dikuliti secara jerih. Agar kenyataan yang kita tertawakan dan kita bicarakan dapat menghilangkan seluruh ketakutan yang membasuh tubuh. Sebab, sudah terlalu lama kita terus berpura – pura.

            Tak dapat dielakan, pada zaman yang menghadapkan kita pada banyak pilihan, kita membutuhkan suatu pertimbangan yang jernih, kita membutuhkan suatu konsepsi, kita mesti memiliki kemandirian berpikir seperti yang kebanyakan di lakukan oleh para filsuf agar kita dapat menjumpai suatu pencerahan, yang juga dapat melepaskan kita dari belenggu intelektual fanatik.

            “ Penangkapan Santoso alias Abu Wardah belum cukup untuk mengatakan bahwa bangsa ini tidak lagi rentan terhadap aksi terorisme. Antek – antek hasil kaderisasi dari teroris incaran Amerika juga ini memiliki regenrasi yang juga sudah dibentuk dan didoktrin jauh – jauh hari. Dan orang itu adalah Basri, yang hari ini masih berkeliaran di hutan. ‘Poso tidak boleh ditinggalkan saat ni’ sebuah wacana dari Tito.”

            “ Hukum rimba sudah jauh mengakar di dunia. Semua hal yang mengancam kedaulatan dan pertahanan negara sudah semestinya disikapi dengan keras. Dendam yang tidak mendapat rekonsiliasi akan melahirkan dendam baru. Seperti Basri, merupakan contoh nyata bahwa pembunuhan yang dilakukan olehnya dikarenakan emosi yang memuncak lantaran banyak keluarganya yang dibantai dalam konflik Muslim – Nasrani. Penyingkapan polemik bangsa yang bijaksana mesti dilakukan dengan penuh pertimbangan. Sebab, untuk semua kekerasan tidak bisa ditindak dengan kekerasan.

            Mungkin banyak di antara kita tidak tahu kalau di Filipina, pada pertengahan hingga akhir tahun 1970 – an para anggota pemberontak yang banyak dari kalangan mahasiswa ditawari pengampunan tanpa syarat walau telah banyak membunuh korban. Sejenak kita renungkan, putuskan dan sikapi. Kisah seperti ini mungkin jarang dicatat oleh sejarawan. Sebab, sejarah yang indah dan banyak diporet selalu berisikan penindasan.”

            Gelar tawa memenuhi ruangan diskusi itu. Seorang aktivis yang berdiri gagah nan perkasa ditertawakan. Sekonyong – konyong itu membuat jiwanya semakin ciut.

            “ Pemikiranmu terlalu melankolis, ini bukan dongeng bung!!”

            “ Tak banyak pemikiran anak muda yang jernih.”

            “ Kau pikir kau adalah contoh yang tepat?”

            “ Aku hanya menginginkan kita untuk bertindak bijaksana.”

            Tak dapat disangkal kalau banyak dari aktivis juga kerap tidak mengagungkan kebijaksanaan. Dan itulah yang memabut banyak dari aktivis bertindak ekstrem. Apa bedanya jika pembunuhan dibalas dengan pembunuhan? Keduanya sama – sama bejat, namun ada lebel yang jika disadari akan membedakan pembunuhan yang sah yang dilindungi oleh negara dan pembunuh yang mesti dibunuh oleh negara. Betapa mencengangkan kenyataan yang kita hadapkan. Dan pilihan kita adalah menentukan etika dari setiap tindakan yang mesti kita ambil. Kontadiksi ini mungkin terlalu ekstem tetapi renungi, putuskan, dan bertindaklah.

            Barangkali melihat sejarah sebagai dongeng merupakan sebuah tindakan yang tak dapat dimanfaatkan. Sebab, dongeng itu adalah sebuah kenyataan yang hidup sebelum datang kehidupan baru. Namun, kebutuhan genrasi ini sebagai dari sejarah mungkin sedikit banyak akan melumuri atau menodai banyak hal hidup yang mesti dikenang secara nyata.

            Akankah keputusan seperti ini sedikit banyak bisa dikatakan bijaksana? Mungkinkah kebijaksanaan itu mengalir dan muncul tak terduga? Bisa jadi demikian, tetapi tetap penting untuk diperiksa. Optimisme dibangun dan hancur, kesadaran eksistensial dibangun dan hancur, sejarah dibangun dan hancur, cinta dibangun, hancur, dan melebur. Tetapi jangan takut untuk terbentur sebab kita tangguh, semua dari kita berdarah biru!!

            Angkatan yang mempertuanagungkan emosi telah menunjukan kesembronoan serta penguburan atas hak – hak individual manusia dalam suatu bangsa. Banyak partai yang berdiri, kelompok – kelompok dicipta untuk merebut kekuasaan kolektif. Betapa sedihnya menyaksikan keadaan demikian, melihat tangisan yang menghimpit kita bukan tangisan rasa haru melainkan tangisan kesedihan. Kata persatuan yang disebutkan kini menunjukan kegiatan ‘pelacuran’ politik elit di tengah bangsanya yang dirundung duka. Indonesiaku, mengapa wajahmu berlumuran darah dan jiwamu beringsut di dalam lembah kemajuan dan kemerdekaan?

            Fenomena yang dikabarkan media tidak lain demi menciptakan kepopuleran. Seperti itulah jika media hanya berkedok suara rakyat. Publik butuh berita yang sebenarnya, masa butuh informasi yang sesungguhnya. Tak kala segerombolan ibu – ibu kembali mengkhawatirkan dunia hakikat, mereka terbelah menjadi dua. Biarlah mereka ngerumpi untuk menghangatkan malam yang dingin daripada bolak – balik mencari data, hingga mereka juga terlibat gerylia. Atau juga seperti isteri Santoso yang juga ikut menenteng senjata melawan negara. Sebelum menciptkan peradaban kita membutuhkan normalisasi.

            Aku mengkhawatirkan segalah hal, terkhusus angkatan – angkatan yang akan lahir dan angkatan kini. Banyak remaja tergerus, jauh dari politisasi kelompok elit. Remaja tersungkur di dalam stigma yang dibangun oleh lingkungan! Pada siapa kita akan berharap kalau bukan kita yang bertindak? Ya, kita membutuhkan ketenangan menganalisah untuk sampai pada kesimpulan. Jangan terburu – buru bung!!

            Perang ini harus kita menangkan dengan terlebih dahulu memelihara kemerdekaan di dalam jiwa. Kemerdekaan itu lebih nyata dari pada masalah yang ditayangkan media. Bunuh rasa dendam dan sebarkan cinta, niscaya kita bisa membunuh teroris – teroris baru, teroris yang akan lahir.

Jumat, 7 Oktober 2016

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun