Mohon tunggu...
Cerpen

Teror

7 Oktober 2016   11:55 Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:03 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            “ Orangtua di Israel juga cara mendidiknya tidak seperti yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia. Mereka tidak pernah menggunakan kekerasan, memukul anak – anak mereka dengan tujuan untuk menyadarkan suatu hal yang penting seperti yang dilakukan oleh orangtua di Indonesia. Mereka memberi ruang untuk imajinasi anak – anak berkelana, dan mereka akrab sekali dengan buku – buku.”

            “ Iya, Iya,iya.”

            Kami yang berkumpul untuk mendengarkan cerita itu layaknya anak – anak yang haus pada dongeng serta kisah – kisah untuk menyegarkan jiwa yang keblinger. Kami mendengarkan dengan saksama serta terus mengagumi mereka seperti seorang dewa.

            “ Israel tidak sebesar pulau Jawa. Sewaktu kami disana kami tidak pernah mendatangi tempat – tempat hiburan malam. Kami dengan mereka memberikan contoh dalam tindakan mereka sehari – hari yang sangat menghargai waktu. Dan di kampung – kampung wanita – wanita di sana sangat sopan dan anggun. Cara berpakayan mereka menunjukan bahwa mereka sangat mencintai diri, tidak pernah memakai bikini. Walau cuaca sedingin es dan sepanas api selalu ada cela bagi wanita untuk memampangkan kemolekan mereka, seperti yang kebanyakan wanita di Indonesia lakukan. Dan itu yang tidak mereka tunjukan.”

            Media memamerkan bencana. Aku terus ikut mencaci keadaan ini di Indonesia. Aku yang dipenuhi oleh pikiran negatif ataukan keadaan yang demikian? Ah, banyak orang mengatakan hal yang sama meski itu bukanlah sebuah kebenaran, kita lihat saja keadaan. Cerita yang mereka bawa rupanya banyak gunanya juga bagi anak – anak kos yang merasakan dan berpikir bahwa itu merupakan suatu hal yang penting untuk dipikirkan daripada membaringkan wanita di tempat tidur usang seperti yang kebanyakan dilakukan anak – anak kos.

            Menyetubuhi cinta akan melahirkan kembali cinta, mensyukuri anugerah juga akan melipatgandakan kembali anugerah. Tetapi percuma saja jika kita bicara tentang nilai – nilai kehidupan dengan manusia – manusia yang semakin hari semakin akrab dengan setan – setan. Percuma, hanya cacian di belakang layar yang kita dapatkan dan stigma tertentu akan diberikan untuk kita dengan tujuan mengejek.

            Namun, masih merupakan hal yang penting untuk dikabarkan pikiran yang menyelimuti kita mesti dipaksa dengan teliti, dan informasi yang kita dapatkan mesti dikuliti secara jerih. Agar kenyataan yang kita tertawakan dan kita bicarakan dapat menghilangkan seluruh ketakutan yang membasuh tubuh. Sebab, sudah terlalu lama kita terus berpura – pura.

            Tak dapat dielakan, pada zaman yang menghadapkan kita pada banyak pilihan, kita membutuhkan suatu pertimbangan yang jernih, kita membutuhkan suatu konsepsi, kita mesti memiliki kemandirian berpikir seperti yang kebanyakan di lakukan oleh para filsuf agar kita dapat menjumpai suatu pencerahan, yang juga dapat melepaskan kita dari belenggu intelektual fanatik.

            “ Penangkapan Santoso alias Abu Wardah belum cukup untuk mengatakan bahwa bangsa ini tidak lagi rentan terhadap aksi terorisme. Antek – antek hasil kaderisasi dari teroris incaran Amerika juga ini memiliki regenrasi yang juga sudah dibentuk dan didoktrin jauh – jauh hari. Dan orang itu adalah Basri, yang hari ini masih berkeliaran di hutan. ‘Poso tidak boleh ditinggalkan saat ni’ sebuah wacana dari Tito.”

            “ Hukum rimba sudah jauh mengakar di dunia. Semua hal yang mengancam kedaulatan dan pertahanan negara sudah semestinya disikapi dengan keras. Dendam yang tidak mendapat rekonsiliasi akan melahirkan dendam baru. Seperti Basri, merupakan contoh nyata bahwa pembunuhan yang dilakukan olehnya dikarenakan emosi yang memuncak lantaran banyak keluarganya yang dibantai dalam konflik Muslim – Nasrani. Penyingkapan polemik bangsa yang bijaksana mesti dilakukan dengan penuh pertimbangan. Sebab, untuk semua kekerasan tidak bisa ditindak dengan kekerasan.

            Mungkin banyak di antara kita tidak tahu kalau di Filipina, pada pertengahan hingga akhir tahun 1970 – an para anggota pemberontak yang banyak dari kalangan mahasiswa ditawari pengampunan tanpa syarat walau telah banyak membunuh korban. Sejenak kita renungkan, putuskan dan sikapi. Kisah seperti ini mungkin jarang dicatat oleh sejarawan. Sebab, sejarah yang indah dan banyak diporet selalu berisikan penindasan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun