Mohon tunggu...
Cerpen

Nyiur

28 April 2016   18:36 Diperbarui: 28 April 2016   18:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Efraim Mbomba Reda

            Pembelajaran di kampus memang tidak henti – hentinya mengembalikan kesadaran akan pentingnya hidup. Orang – orang yang berlabuh pada nasib akan dihukum dengan keras. Sebab, nasib adalah pencapaian akhir dari perjuangan bukan stigma yang sudah ditanam sebelum mencipta. Nasib yang keras kini sudah hinggap pada mata seorang pengelana dari negeri seberang. Negeri yang walau terus menerus ditanam dari teman – temannya dia tidak pernah sekalipun menjawabnya. Negeri itu baginya terlalu indah untuk diketahui orang – orang.

            Apalagi melihat teman – temannya yang tiap hari melemparkan pertanyaan – pertanyaan yang tidak terlalu banyak menggunakan analisah. Dia bosan dengan semua itu, dia muak dengan pertanyaan teman – temannya, dia muak dengan dosen yang tidak pernah menjawab kebutuhanya dikala dia bertanya. Bahwa kepribadian telah lama hancur direbut waktu itu benar sekali. Sebab, yang disaksikannya kini adalah generasi hedonis yang dari detik ke detik hanya bisa menghancurkan negeri ini.

            Betapa senangnya mereka menjadi pemanjat pohon kelapa di pantai sendiri. Di tanah sendiri yang rupanya orang asing telah memilik semua lahan – lahan itu. Betapa senangnya mereka menjadi ‘mesin’ yang bekerja di perusahan sendiri. Ternyata, sendiri itu telah lama menipu perasaan kepemilikan di dalam matanya. Semuanya sudah menjadi milik orang lain, milik investor asing. Tetapi, orang – orang itu betapa senangnya waktu mengatakan mereka bekerja dengan orang asing serta diberi gaji.

            Pikirannya mulai mengembang, apakah salah menjadi anak negeri yang dibesarkan dibawah naungan pohon kelapa? Sewaktu nyiur melambai, waktu itulah bangsa terbengkelai.

            Ketahanan tidak dapat menghapus jejak perjuangan memerdekakan bangsa. Sebab, kenyataan sudah semakin celaka, bangsa ini teralu bersikukuh menyaksikan ketamakan mengangkang di segala penjuru. Budi terus menerus menangis seperti bayi tengik. Pekerti sudah dibeli di ruang – ruang tersembunyi. Banyak yang sadar tetapi apatis sekali ketika ingin memulai. Dimana lagi kita terus lari sembunyi? Sudah cukup bermain teka – teki. Sebab ini negeri bukan tempat Permainan Monopoli.

            Masihkah ada orang yang berani? Menekuri semua kemunafikan agar cahaya tidak terlalu menusuk mata! Masikah ada orang yang berani? Terus membuli politisi tanpa takut amunisi atau dikirim di dalam jeruji besi! Masihkah ada yang berani? Sebab revolusi belum berakhir!

            Apakah langit akan marah jika suatu hari nanti, bumi hanya akan mempersembahkan malapetaka untuk dilihatnya? Apakah langit akan marah jika suatu pesawat itu terlalu bising lalu lalang di atas perutnya? Jiwa sebenanya akan pulang pada dunia yang tidak pernah diduga. Jiwa sebenarnya ingin membumihanguskan semua yang hidup di bumi. Jiwa selalu ingin kembali pulang.

            Hidup membuatnya ingin mengupas semua kegundahan yang berkelana pada benak manusia. Namun, perjalanan itu terlalu singkat untuk meberinya hidup. Dia sudah menyadari kalau waktu ini terlalu singkat, jadi waktu yang ada digunakan untuk menghidupi namanya. Setidaknya, kalau dia mati, dia akan meninggalkan sesuatu yang berarti. Dia sudak membolak – balikan bahasa serta bermain dengan pikirannya sendiri.

            Dia sering mencerca manusia. Bahwa penyakit terbesar yang dimiliki manusia adalah menginginkan dan menyesali. Sudah berabad – abad manusia hidup dengan perasaan demikian. Barangkali, meninggalkan kedua hal ini akan membuat dia terlihat lebih dari manusia. Ini yang kerap dipikirkannya.

            Kesepian sudah lama membawanya pada dimensi kehidupan yang tidak pernah ia jejali sebelumnya. Dia kerap merasa duniannya begitu berbeda dengan dunia teman – temannya. Ada keterpisahan yang membuat dirinya mampu melihat kelamnya manusia dan pertautannya dengan nasib. Dia akhirnya dibawa oleh kebimbangan menuju pada perenungan hingga melahirkan tulisan. Dia hobinya menulis. Baginya tiada yang lebih sempurna selain hidup bersama buku = buku.

            “ Kesepian bagi banyak manusia memang selalu mencekam dan menakutkan. Namun, itu yang aku inginkan.”

            Bibirny gemetar ketika dia mengatakan itu pada seorang gadis cantik, berperawakan tinggi, padat. Ideal sekali untuk tubuh seorang model. Tetapi, bagaimanapun cara dia menutupinya, ketakutan itu masih nampak sekali. Sebab, wanita itu bukan wanita biasa, wanita asli ketutunan daerah setempat, kastanya disegani. Itulah yang membuat dia sedikit gemetar.

            “ Aku belum pernah memasuki dunia seperti itu. Bagiku, dunia ya, seperti ini. Realitas yang apa – adanya. Tidak ada dimensi atau dunia lainnya, sebab kita harus menerimannya. Tidak semestinya bentrok dengan keadaan.”

            “ Mengapa mesti, yang kau kedepankan adalah kedamaian jiwamu?”

            “ Bagaimana caramu tahu?”

            “ Sebab, kau tidak pernah melawan sesuatu yang buruk. Kau hanya terus menerimanya.”

Obrolan mereka makin menarik dari detik ke detik, membuat anak itu semakin lihai mengoceh. Bagitulah dunianya, baginya tiada lagi yang lebih menarik selain merenungi hidup. Tiada yang lebih menarik selain bermain dengan ide – ide. Dan wanita itu masih disana. Masih memandang pria pendatang untuk mengenyam pendidikan di daerahnya. Masih penuh misteri lelaki itu, jiwa penuh rahasia. Wanita itu tidak mampu membendung keingintahuannya tentang lelaki itu. Ia semakin memburu.

“ Betapa buruknya kesepian bagiku. Dia tidak ubahnya setan yang selalu menakut – nakuti jiwa. Aku tidak menimba apa – apa dari kisah sepi itu.”

“ Jika aku lelaki yang mampu untuk mencintaimu, maka mencintai dirimu bak mencintai sepi. Untuk cinta sekalipun, sepi banyak memberi. Sepi serupa keindahan yang selalu ada. Serupa cinta yang selalu menenangkan.”

Lelaki itu tidak bermaksud memanipulasi seluruh konstruksi pikiran wanita itu, melainkan kepribadiannya tidak pernah dia tinggalkan dengan alasan beradaptasi. Wanita itu merasa diselimuti oleh hangatnya aksara yang keluar dari bibir pemuda. Tetapi, dia tetap jeli, serta mengelak. Ini ilusi! Hatinya bersiteguh. Wajahnya semakin memerah memperlihatkan kecanggungannya yang tidak tertahankan. Dia sungguh kagum pada lelaki itu, namun ketahanan diri terus dia tingkatkan, mengingat apa kata orang?

“ Aku minta maaf, jika analogiku sedikit menyayat hatimu.” Lelaki itu meneruskan.

            “ Sudah semestinya aku yang berterima kasih kepadamu. Sebab, kau adalah lelaki satu – satunya yang mampu menyayat kesadaranku. Kau datang tanpa alasan meninggalkan jejak dibenakku. Lelaki sepertimu di daerahku masih langka. Mengapa kita dilahirkan di laut yang berbeda? Sempat bicara dengan bahasa yang berbeda. Walaupun di bumi, kita tidak sedang menatap langit yang sama. Kau menjunjung langitmu dan aku menjunjung langitku. Akankah cakrawala dapat menembus keegoan penghuni bumi agar tidak ada alasan bagi mereka untuk memisahkan derap langkah kita?”

            “ Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.” Sergap lelaki itu cepat.

            “ Aku telah kau hancurkan. Kau harus bertanggungjawab dengan tindakanmu. Aku mencintaimu.”

            Sepert itulah manusia, semakin resah mereka diburu hidup. Bumi yang kita tempa, tidak selalu memberikan apa yang kita minta. Munculah nasib, yang sekarang jadi urusan masing – masing. Pulau ini penuh kenangan, sebentar lagi dia akan pulang membawa ijazah setelah empat tahun berkelana pada lembah intelektual dan kebudayaan daerah setempat.

            “ Dengan bertindak seperti inilah aku merasa lebih realistis. Sebab, sehari tanpa melihatmu bicara serta beradu argument dengan dosen, aku rasa – rasanya sesak nafas. Sengaja aku berkomunikasi denganmu sekedar menanyakan tugas –tugas kuliah. Padahal aku ingin sekali bicara denganmu lebih dekat.”

            “ Aku kira kau terlalu naif untuk melakukan hal demikian selama empat tahun. Kau terlalu naif, dan aku tidak mempercayai itu.”

Baru sekali lelaki itu mulai bicara lagi, setelah terlalu lama mendengar wanita kasmaran itu. Ingatan mereka berputar – putar pada masa – masa lampau yang penuh penciptaan. Tidakkah cukup gila membendung perasaan selama empat tahun? Itulah wanita, yang syarat akan enigma. Membuka rahasia mereka sama seperti menghitung jumlah rambut di atas kepala. Sia – sia, hanya sisahkan lelah yang terus mengental di dalam jiwa dan raga. Itulah indah dan gilanya mereka.

Mereka masih bergelimang membongkar perasaan masing – masing. Pantaskah menelanjangi hati pada detik – detik terakhir? Fenomena ini hanya akan menyisahkan luka, bukan bahagia. Mungkinkah memiliki itu menjawab segalannya? Menjawab setiap tatapan dan senyumnya. Bagaimanapun juga, memiliki selalu sedikit lebih baik, daripada tidak sama sekali.

“ Sebenarnya kau yang terlalu naif. Mengapa kau menunjukan tingakah bahwa kau tidak terlalu menginginkanku? Aku idaman bagi pria lain tetapi mengapa kau malah tidak mengidamkanku?”

“ Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya memahami posisiku. Dan aku menyadari kalau budayamu tidak menginginkan aku untuk memilihmu.”

“ Aku tidak peduli. Aku hanya ingin hidup jika dengamu.”

“ Belajarlah untuk melambaikan tanganmu dan mengikhlaskan yang paling kau banggakan tanpa harapan apa – apa.”

“ Jangan berharap sekalipun hal itu akan aku lakaukan untukmu!”

“ Citakan seribu alasan di dalam pikiramu untuk menolakku.”

“ Benarkah itu yang sungguh – sungguh kau inginkan?”

Tidak ada yang tahu nasib cinta akan berlabuh di dermaga mana. Dermaga keindahan ataukah dermaga penuh masalah. Hidup di dalam dunianya, mengenal seluruh kehidupan. Mengenal hati dan kepala. Mengapa dia begitu berkuasa untuk menarik hati setiap hati? Mengapa dia begitu berkuasa untuk membunuh semua rasa angkuh? Padanya semua insan tertunduk jujur. Hingga semua hati selalu luruh dibelainya.

Lincah sekali kebingungan berkeliaran di dalam benak. Seluruh pertimbangan rasional rusak dioceh kelenturannya. Mengatasinya bagai mengatasi dunia. Mengatasi emosi, mengatasi rasa. Dunia perasaan yang membentuk hayal jadi nyata.

“ Aku juga punya kebingungan untuk memastikan! Keputusanku untuk tidak memilihmu juga sedemikian indahnya demi mengorbankan hatiku juga. Bukankah mengorbankan cinta untuk kebahagiaan keluargamu tidak kalah mulianya dibandingkan keegoan kita berdua untuk saling memiliki.”

“ Aku kira kau tidak segila itu. Mampukah kau hidup dengan menipu hatimu? Jika kau meninggalkanku, kau adalah dosa terbesar yang pernah aku temui.”

Mereka berpelukan erat. Takdir cinta terlalu keras untuk mereka hadapi. Bak semut kecil di perut bumi, mereka semakin kecil dilihat dunia. Inikah dunia cinta? Dunia penuh hayalan, yang kalah akan ditimpa kenyataan. Dekapan mereka semakin erat, seakan tidak ingin satu ekor semutpun yang akan memisahkan mereka.

“ Di mana negeri rahasiamu?”

“ Di Flores.”

“ Kita akan hidup bahagia di sana.”

Denpasar, 16 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun