“ Sudah semestinya aku yang berterima kasih kepadamu. Sebab, kau adalah lelaki satu – satunya yang mampu menyayat kesadaranku. Kau datang tanpa alasan meninggalkan jejak dibenakku. Lelaki sepertimu di daerahku masih langka. Mengapa kita dilahirkan di laut yang berbeda? Sempat bicara dengan bahasa yang berbeda. Walaupun di bumi, kita tidak sedang menatap langit yang sama. Kau menjunjung langitmu dan aku menjunjung langitku. Akankah cakrawala dapat menembus keegoan penghuni bumi agar tidak ada alasan bagi mereka untuk memisahkan derap langkah kita?”
“ Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.” Sergap lelaki itu cepat.
“ Aku telah kau hancurkan. Kau harus bertanggungjawab dengan tindakanmu. Aku mencintaimu.”
Sepert itulah manusia, semakin resah mereka diburu hidup. Bumi yang kita tempa, tidak selalu memberikan apa yang kita minta. Munculah nasib, yang sekarang jadi urusan masing – masing. Pulau ini penuh kenangan, sebentar lagi dia akan pulang membawa ijazah setelah empat tahun berkelana pada lembah intelektual dan kebudayaan daerah setempat.
“ Dengan bertindak seperti inilah aku merasa lebih realistis. Sebab, sehari tanpa melihatmu bicara serta beradu argument dengan dosen, aku rasa – rasanya sesak nafas. Sengaja aku berkomunikasi denganmu sekedar menanyakan tugas –tugas kuliah. Padahal aku ingin sekali bicara denganmu lebih dekat.”
“ Aku kira kau terlalu naif untuk melakukan hal demikian selama empat tahun. Kau terlalu naif, dan aku tidak mempercayai itu.”
Baru sekali lelaki itu mulai bicara lagi, setelah terlalu lama mendengar wanita kasmaran itu. Ingatan mereka berputar – putar pada masa – masa lampau yang penuh penciptaan. Tidakkah cukup gila membendung perasaan selama empat tahun? Itulah wanita, yang syarat akan enigma. Membuka rahasia mereka sama seperti menghitung jumlah rambut di atas kepala. Sia – sia, hanya sisahkan lelah yang terus mengental di dalam jiwa dan raga. Itulah indah dan gilanya mereka.
Mereka masih bergelimang membongkar perasaan masing – masing. Pantaskah menelanjangi hati pada detik – detik terakhir? Fenomena ini hanya akan menyisahkan luka, bukan bahagia. Mungkinkah memiliki itu menjawab segalannya? Menjawab setiap tatapan dan senyumnya. Bagaimanapun juga, memiliki selalu sedikit lebih baik, daripada tidak sama sekali.
“ Sebenarnya kau yang terlalu naif. Mengapa kau menunjukan tingakah bahwa kau tidak terlalu menginginkanku? Aku idaman bagi pria lain tetapi mengapa kau malah tidak mengidamkanku?”
“ Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya memahami posisiku. Dan aku menyadari kalau budayamu tidak menginginkan aku untuk memilihmu.”
“ Aku tidak peduli. Aku hanya ingin hidup jika dengamu.”