Dari konsep dan rumusan sistem dan sistem hukum di atas, di mana unsur pengingat di antara berbaga komponen, bagian atau unsur hukum? Satjipto Rahardjo menjawabnya, karena adanya ikatan oleh asas-asas hukum, maka hukum pun-merupakan satu sistem.Peraturan-peraturan hukum yang terdiri sendiri-sendiri itu lalu tarkait dalam satu susunan kesatuan disebabkan karena mereka bersumber pada satu induk penilaian etis tertentu (Rahardjo, 2006). Lebih lanjut dijelaskannya, apabila sekarang sampai pembicaraan mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum.Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum.
b. Hukum Islam dan Hukum Adat
Bahwa Hukum Islam dan Hukum Adat merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia selain hukum perundang-undangan. Konsep Hukum Islam berbeda dari konsep hukum perundang-undangan, karena ajaran Islam meyakini hukum-hukumnya sebagai aturan yang bersumber dari wahyu Illahi, dan dengan demikian, hukum perundangundangan yang merupakan konsep hukum karya manusia memiliki ciri khas yang berbeda dari Hukum Islam.Â
Ditinjau secara etimologis dan terminologis tentang Hukum Islam, secara etimologis, hukum berasal dari bahasa Arab yaitu "Al-Hukm" yang berarti berhalangan sedangkan secara terminologis, merupakan pandangan tentang masalah tertentu yang terkait dengan tindakan atau perbuatan manusia.Hukum Islam dipandang sebagai bagian dari ajaran agama (Islam) yang norma-norma hukum (Islam) bersumber dari agama (Islam).Syamsu Anwar mengemukakan, umat Islam meyakini bahwa Hukum Islam berdasarkan kepada wahyu Illahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah, yang berarti jalan yang digariskan Tuhan untuk manusia (Anwar, 2007).
Abd.Shomad, menjelaskan, karakteristik yang khas dari Hukum Islam yang membedakannya dari sistem hukum lainnya, di antaranya dalah hal sumber hukum yang mengenal dua macam  sumber hukum yang pertama sumber hukum yang bersifat  "Naqly" dan sumber hukum yang bersifat "Aqly" sumber hukum Naqly ialah Al'Quran dan As-Sunnah sedangkan sumber hukum Aqly ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah pikir dengan beragam metodenya.Hukum Islam telah mendapat tempat penting dalam pembangunan hukum nasional jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Namun, ketika masa colonial, Hukum Islam untuk beberapa aspeknya ditempatkan sebagai bagian dari Hukum Adat:, sehingga dikenal di sejumlah masyarakat Hukum Adat seperti adat Gorontalo, adat Minangkabau, dan adat bolaang  Mongondow., ungkap  "Adat bersendir syara"
Perihal Hukum Adat (Adatrecht) adalah sistem hukum yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan (customs) dalam masyarakat. R. Soepomo (1983), merumuskan, Hukum Adat adalah hukum non-statutior yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil Hukum Islam. Hukum Adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara. Berdasarkan rumusan ini, Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis (non-statutior) yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil adalah Hukum Islam, dan diterapkan dalam peradilan adat (adatrechtspraak). Von Savigny (1799- 1861) terkenal dengan tesisnya Volkgeist, bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa biasa. Hukum itu mulanya dibentuk oleh adat kebiasaan dan kepercayaan umum, kemudian oleh yurisprudensi (Friedmann, 1990).
Pada awal sejarah bangsa dan Negara Indonesia, Hukum Adat mendapatkan perhatian besar karena terdapat sejumlah pakar terkemukanya, yang secara konsisten memperjuangkan kedudukan Hukum Adat dalam sistem hukum nasional, antara lain ialah Moh. Koesnoe yang menyoroti salah paham terhadap kedudukan Hukum Adat dalam sistem hukum nasional di kalangan banyak pihak (pro-kontrak), bahwa dari kalangan yang kontra Hukum Adat berpendirian bahwa Hukum Adat berpaling ke belakang, kepada apa yang sudah lampau (Koesnoe, 1976). Soetandyo mengemukakan, percaturan politik dalam mewujudkan sistem hukum nasional dengan memperjuankan Hukum Adat, para penyongkong idenya sebenarnya terbilang pewaris ide tua, suatu ide yang sejak awal dikemukakan oleh nasionalis-nasionalis generasi pendahulu, bahkan juga sudah tertuang dalam naskah Sumpah Pemuda tahun 1928 (Widnjosoebroto, 1994).Â
Demikian pula politik hukum kolonial yang menempatkan kedudukan Hukum Islam sama dengan Hukum Adat, seperti teori Receptie oleh Christian Snouck Hurgronye, bahwa bagi rakyat pribumu pada dasarnya berlaku Hukum Adat; Hukum Islam berlaku jika norma Hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai Hukum Adat (Rahmat, 2006).Â
2. Penyatuan dan Pemisahan Hukum Islam dan Hukum AdatÂ
Politik hukum kolonial yang menyatukan Hukum Islam ke dalam Hukum Adat (untuk aspek dan hal tertentu), sangat berperan dalam konsep dan rumusan-rumusan, hingga sekarang ini,, seperti dalam masyarakat adat Minangkabau, Gorontalo. Â Sebagai Politik Hukum kolonial, terkait upaya penguasa kolonial untuk mengendalikan sistem hukum yang berlaku sekaligus menawarkan sistem hukum kolonial sebagai sumber hukum di wilayah jajahan,sebagaimana peran Hurgronye yang melahirkan Teori Receptie, artinya, Hukum Islam dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat, maka kemudian berlakulah Hukum Adat, seperti yang tertuang dalam Pasal 134 IS yang sering disebut Pasal Receptie (Rahmat, 2006).
Politik hukum kolonial yang menyatukan Hukum Islam dan Hukum Adat selain terumus dalam konsep dan beberapa teori produk pakar hukum kolonial, terus berlangsung hingga tercapainya kemerdekaan Negara Republik Indonesia, kemudian muncullah beberapa teori baru seperti yang dirumuskan oleh Sajuti Thalib dengan nama Teori Receptio a Contario bahwa: 1. Bagi orang Islam berlaku Hukum Islam; 2. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan 3. Hukum Adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan Hukum Islam. Teori ini disebut dengan nama "receptio a contrario' karena memuat teori tentang kebalikan  (Contra) dari Teori Receptio (Rahmat, 2006).