"Kalau boleh memilih, saya lebih memilih Mr Bean," salibnya serius.
"Kenapa Mr Bean?"
"Nggak kenapa-kenapa. Cuma dia nggak sekadar melucu."
"Maksud kamu apa?"
"Dia nggak melucu tapi lucu."
"Maksud kamu...."
"Kak Eyang lihat, Mr Bean itu lucu karena keluguannya. Ketidaktahuannya. Bukan karena ketololannya atau kebodohannya. Kadang-kadang kita tertawa karena sebenarnya kita menertawakan diri kita sendiri," Arjuna Arief Santoso itu bicara panjang-lebar berdiplomasi.
Huh-huh! Saya mulai sebel. Dia sok menggurui.
"Kadang-kadang, Kak Eyang, saya nggak ngerti gimana jalan pikiran kita," si Tiang Listrik berjalan itu mulai lagi dengan kalimat-kalimat filosofinya.
Pantas, sebelum berkenalan dengan dia, Rini teman sebangku saya di kelas, sempat membisiki saya kalau yang namanya Arjuna Arief Santoso orangnya rada-rada 'begini', begitu katanya sembari memiringkan jari telunjuk di jidatnya.
"Setelah terpenuhi ini, ya mau itu. Setelah terpenuhi itu, ya mau ini lagi. Manusia, ya kita-kita ini Kak Eyang, nggak ada puas-puasnya. Dapat seratus mau seribu. Dapat sejuta mau semiliar. Begitu seterusnya. Nggak ada habis-habisnya. Nggak ada putus-putusnya. Seperti kereta api yang punya seabrek-abrek gerbong."