Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

"Bali Now", Eksotisme Bisnis di Pulau Dewata Pasca Pandemi

1 Juni 2024   13:16 Diperbarui: 2 Juni 2024   14:45 790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eksotisme bisnis yang membuncah di Bali tak lunturkan adat budaya yang dijunjung tinggi masyarakat. (Foto: Effendy Wongso)

Tiga atau empat tahun mungkin bukan waktu yang singkat bagi sebagian orang dalam mengenang suatu momentum kelam. Beratnya deraan nestapa lantaran pandemic serta kondisi yang tidak mengenakkan seperti itu tentu tidak mudah dilupakan.

Paling tidak, hal itu terlihat pada pengujung 2019 lalu kala pandemi Covid-19 mulai menjadi momok masyarakat dunia.

Perlahan tetapi pasti, virus yang diklaim berasal dari Wuhan Tiongkok itu kian menggorogoti tatanan ekonomi dan kesehatan dunia. Hal itu sontak menjadi 'badai' yang meluluh-lantakkan nyaris semua negara di dunia.

Kendati demikian, seperti kata pepatah 'badai pasti berlalu', begitu pulalah yang terjadi dan sebagaimana adanya ketika pandemi mulai menyurut. 

Puncaknya, pada 5 Mei 2023 lalu Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah mencabut status darurat Covid-19 dan hal itu tentu disambut euforia.

Pasalnya, maklumat WHO tersebut merupakan momentum yang paling ditunggu dan dinanti-nantikan masyarakat dunia, termasuk daerah paling terdampak di Indonesia yaitu Provinsi Bali.

Icon Bali di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. (Foto: Effendy Wongso)
Icon Bali di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. (Foto: Effendy Wongso)

Tentu beralasan, mereka sudah merasa terlalu lama dikungkung pembatasan-pembatasan sosial dalam beraktivitas, terutama kegiatan berbisnis. Interaksi bisnis yang stagnan bukanlah perkara remeh sebab pandemi Covid-19 membawa dampak destruksi yang signifikan terhadap semua aspek perekonomian.

Ini termasuk pariwisata mengingat Bali merupakan destinasi wisata utama di Indonesia. Saat pandemi, larangan bepergian dan ketakutan terhadap penyebaran virus membuat jumlah turis mancanegara maupun domestik menurun drastis.

Seiring hal tersebut, para pakar ekonomi terkait menakar dampak destruksi menggunakan metode kualitatif dan data sekunder dalam diskusi webinar antarkomunal dan pemerintah, khususnya Gugus Tugas Covid-19.

Mereka mengulas aspek-aspek pemulihan dan mempublikasikannya pada berbagai media seperti siaran televisi, makalah dan buku, artikel serta media-media daring.

Semuanya untuk memaparkan betapa pandemi mendestruksi industri pariwisata di Bali. Kendati pun sebelumnya, upaya-upaya telah dilakukan guna memulihkan semua destinasi wisata yang terkena dampak.

Ini termasuk program CHS (Cleanliness, Health, and Safety) dan meminimalkan kontak fisik (contactless) di semua proses bisnis pada industri pariwisata.

Euforia Geliat Bisnis di Bali Saat Ini

Menyusuri Gang Poppies II, Jalan Benesari, Kuta Badung, salah satu kawasan bisnis partikelir di Kelurahan Legian, para pelancong baik domestik maupun mancanegara akan mendapati kemeriahan 'Bali Now'.

Bali Now yang dimaksud adalah metamorphosis Bali saat pandemi menjadi Bali saat ini dan telah masuk step di atas era normal pasca pandemi. Terlihat, deretan usaha kuliner, baik resto, bar dan kafe kembali dipenuhi wisatawan yang jika diamati sekilas tampak sudah overpopulasi.

Front Office Grandmas Legian, Gek Rias dan Wayan Wisna. (Foto: Effendy Wongso)
Front Office Grandmas Legian, Gek Rias dan Wayan Wisna. (Foto: Effendy Wongso)

Senada, tempat penginapan baik hotel, penginapan, atau bungalo juga ramai disinggahi wisatawan. Tentu, ini sangat jomplang jika dibandingkan saat masa pandemi yang kosong melompong, bahkan tutup sementara atau permanen.

Saat penulis menyusuri jalan yang lebih tepat dikatakan gang kecil ini pada April 2022 lalu, tampak sangat lengang dan hanya dilalui sedikit kendaraan dengan durasi terbilang jari. Tidak ada barisan dan kerumunan orang yang lalu-lalang seperti saat ini.

Akan tetapi, saat ini tepatnya pada Sabtu 25 Mei 2024, salah satu jalanan sohor di Legian ini hampir tidak dapat dilalui lantaran kemacetan kendaraan dari dua arah, baik mobil maupun sepeda motor dengan para 'bule' yang lalu-lalang untuk melipir di tempat-tempat hiburan seperti rumah refleksi atau 'massage house'.

Euforia dan geliat bisnis di Bali jelas terlihat dari naiknya pendapatan para pengusaha, pedang kecil atau UMKM, dan semua warga yang terlibat di dalamnya.

Saat penulis menginap di hotel bintang tiga Grandmas Legian misalnya, harga yang dipatok naik dua setengah kali lipat dibandingkan saat pandemi pada 7 April 2022 lalu yang hanya dibanderol sekitar Rp 100 ribu.

"Rate per malam Rp 275 ribu, tidak termasuk breakfast (sarapan pagi)," demikian kata salah seorang front office Grandmas Legian, Niluh Wisna ketika ditemui di Jalan Sriwijaya Legian, Kuta, Bali, Sabtu 25 Mei 2024.

Menurut Wisna, harga memang fluktuatif dan bisa berubah setiap hari. Penulis memaklumi harga yang ditawarkan, mengingat harga pada hari yang sama di aplikasi Traveloka lebih tinggi dibandingkan pembelian offline yang dipatok sekitar Rp 450 ribu tanpa sarapan pagi.

Naiknya pendapatan pengusaha di Bali, terutama terkait membanjirnya para wisatawan telah berkontribusi meningkatkan okupansi hotel diiyakan Rias, front office tandem Wisna di Grandmas Legian.

"Setiap hari room (kamar) hampir terisi penuh, kalau weekend (malam Minggu) biasanya penuh. Jadi, memang sebaiknya di-booking agar kebagian room. Apalagi, price (harga) setiap hari bisa berubah," ungkap Rias.

Dari penelusuran penulis, seperti diungkapkan security Grandmas Legian, Wayan Sudana, ada 100 kamar di hotel empat lantai tempat ia bekerja.

Tentu tidak hanya hotel, nyatanya bisnis rental atau penyewaan sepeda motor pun menggeliat. Ditemui penulis di kawasan yang sama saat ingin menyewa kendaraan roda dua, Selasa 28 Mei 2024, pemilik rental Gede Sudiarta mengungkapkan kondisi semringah pasca pandemi.

"Harga standar penyewaan motor Rp 120 ribu per hari. Tetapi, tergantung motornya juga, kalau motor jenis (Honda) Jupiter dan Beat (keluaran lama) masih bisa Rp 75 ribu, tetapi harus sewa minimal tiga hari baru dapat harga sebegitu," papar Sudiarta.

Bos De'Suta Rental ini mengaku, setiap hari dapat menyewakan tujuh hingga delapan sepeda motor dari 12 yang dimilikinya.

"Setiap hari biasanya disewa 'bule' tujuh-delapan unit. Kalau malam Minggu, kadang-kadang tersewa semua," jelasnya.

Sudiarta juga mengaku, pasca pandemi ini adalah kesempatan bagi dirinya mengeruk keuntungan dari jasa penyewaan sepeda motor.

"Saat ini panen, kesempatan cari uang (lagi) karena sewaktu Covid (pandemi) hampir tidak ada yang menyewa. Bahkan, banyak teman-teman (pengusaha rental) menjual motornya. Sekarang, kondisi sudah ramai teman-teman banyak yang nyicil motor baru lagi," imbuhnya.

Para Terapis yang Tak Lagi 'Mengemis' Pelanggan

Kondisi semringah pasca pandemi juga terjadi di semua lini usaha, tidak terkecuali bagi Nelly, salah seorang terapis di rumah refleksi Twins Spa yang ditemui penulis di beranda Twins Spa, Gang Poppies II, Jalan Benesari, Kuta Badung, Selasa 28 Mei 2024.

Dalam kesempatan pelesir di Bali pada 2022 lalu, penulis sempat bertemu dengan wanita ini. Saat itu, situasi sungguh jauh berbeda dibandingkan saat ini. Pelanggan yang sepi lantaran minimnya kunjungan wisatawan asing ketika itu, memaksa para terapis untuk 'mengemis' dan menjemput calon klien di pinggir-pinggir gang.

Turis mancanegara tengah melintas di depan Beachwalk, Jalan Raya Kuta Denpasar. (Foto: Effendy Wongso)
Turis mancanegara tengah melintas di depan Beachwalk, Jalan Raya Kuta Denpasar. (Foto: Effendy Wongso)

"(Saat ini) pelanggan sudah banyak, kami tidak sesulit dulu mencari pelanggan karena sekarang mereka biasanya datang bersama keluarga, istri dan anak-anak untuk dipijat," katanya.

Harga yang dipatok setiap rumah refleksi berbeda-beda, namun pada umumnya jauh di atas harga saat pandemi yang 'terpaksa' diturunkan sebagai strategi memikat pelanggan.

"Dulu (kala pandemi), harga kami tawarkan sangat murah bahkan hingga Rp 50 ribu per jam. Padahal, standar harga pada saat sebelum pandemi sekitar Rp 100 ribu-Rp 150 ribu per jam," akunya.

Selain salon, 'massage house' atau rumah refleksi, tuai cuan atau untung terlihat dari jasa transportasi ojeg online (ojol) seperti Grab dan GoJek. Limpahan wisatawan saat event World Water Forum ke-10 di Bali pada 18-25 Mei 2024, jelas mendongkrak lini bisnis ini.

Made, salah seorang driver GrabBike yang mengantar penulis ke Beachwalk, salah satu mal terbesar di Kuta Denpasar, mengungkapkan kegembiraanya terhadap kondisi terkini di Pulau Dewata.

"Bali sudah pulih (normal), saya pribadi setiap hari bisa melayani 20 order trayek (perjalanan) pendek. Kalau dulu (pandemi), hanya berharap dari pengantaran makanan (Grabfood) dan itu pun tidak banyak," imbuhnya ketika penulis menanyakan pendapatan per hari yang biasanya diperolehnya.

Sejauh ini, geliat bisnis di Bali memang tengah beriak. Bahkan, beberapa pedagang kecil seperti penjual suvenir yang ditemui di Canggu, Kuta Utara, Badung Bali, mengatakan kondisi saat ini sepenuhnya telah normal bahkan di atas kondisi sebelum pandemi.

Penulis sendiri belum menginvestigasi hal itu secara mendalam. Namun, memang kemajuan bisnis di Bali dapat terlihat juga dari membeludaknya pengunjung di berbagai mal, seperti Trans Studio Mall (TSM) Jalan Imam Bonjol Pemecutan Klod Denpasar, Beachwalk Jalan Raya Kuta Denpasar, serta Icon Mall Jalan Danau Tamblingan Sanur, Denpasar Selatan yang baru-baru ini diresmikan.

Kreativitas Bisnis Unik yang Menjamur Pasca Pandemi

Berakhirnya pandemi Covid-19 membawa berkah bagi masyarakat di Bali. Keinginan yang kuat untuk kembali berkembang dalam bisnis yang sempat ambruk menjadi energi positif bagi sebagian pengusaha.

Kreativitas dalam mendulang untung terlihat dari berbagai program yang terbilang unik. Tentu saja, wisatawan mancanegaralah yang menjadi objek pemasukan pundi-pundi uang mereka.

Maka, hadirlah bar dan kafe berjalan yang terbilang unik. Salah satunya adalah Balibeercycle dan Ice Ice Bali yang berlokasi di kawasan Legian, dan diklaim sebagai "Bali's First Ice Bar", bar keliling dan bar es pertama di Bali.

Salah satu 'bar keliling' yang tengah menjamur di Bali. (Foto: Effendy Wongso)
Salah satu 'bar keliling' yang tengah menjamur di Bali. (Foto: Effendy Wongso)

Wayan Hana, front office Ice Ice Bali ketika ditemui di Jalan Legian, Kuta Bali, menjelaskan jika konsep unik yang ditawarkan pihaknya kepada pelanggan mendapat apresiasi yang sangat baik.

"Animo wisatawan, terutama turis asing sangat menyukai konsep yang pertama kali dijalankan manajemen di Bali," katanya.

Alasan tersebut dikemukakan Hana lantaran truk yang disulap sebagai 'bar keliling' mereka selalu 'sold-out' terlebih pada akhir pekan.

"Truk bar selalu dipenuhi pelanggan, konsep ini kami sebut sangat unik karena pelanggan dapat minum (bir) sesuai price list yang dipilih. Ada price Rp 600 ribu hingga Rp 1 juta per kepala," sebutnya.

Adapun sekali jalan, imbuh Hana, truk bar yang ditemani dentuman musik ini bisa mengangkut sekitar 12-14 orang dengan durasi keliling atau berjalannya maksimal dua jam.

"Istilahnya, kalau ngambil price Rp 600 ribu mereka dapat minum sepuasnya sesuai kategori merek bir, sementara untuk yang price lebih mahal mereka dapat minum sepuasnya bir-bir branded tanpa dibatasi sesuai durasi keliling truk bar," jelasnya.

Di shop Ice Ice Bali sendiri, Hana mengungkapkan manajemen menawarkan konsep baru yang juga pertama kali hadir di Pulau Dewata.

"Konsepnya Ice Bar, jadi seluruh ruangan bar terbuat dari es asli dengan suhu dingin minus sembilan derajat celsius, mulai dinding maupun dekorasinya seperti rak, meja bartender, dan lain-lain," tutupnya.

Bar keliling 'Ice Ice Bar' tengah melintas di Legian. (Foto: Effendy Wongso)
Bar keliling 'Ice Ice Bar' tengah melintas di Legian. (Foto: Effendy Wongso)

Apapun itu, eksotisme dan geliat bisnis yang membuncah di Pulau Dewata tidak melunturkan iklim sejuk terkait toleransi dan adat budaya yang dijunjung tinggi masyarakat selama ini.

Kamis 30 Mei 2024 pagi, penulis meninggalkan Denpasar yang sudah mulai berdenyut dengan aktivitas hariannya yang padat merayap menuju Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.

"Bali, kami selalu merindukanmu, rahayu rahayu rahayu!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun