Semuanya untuk memaparkan betapa pandemi mendestruksi industri pariwisata di Bali. Kendati pun sebelumnya, upaya-upaya telah dilakukan guna memulihkan semua destinasi wisata yang terkena dampak.
Ini termasuk program CHS (Cleanliness, Health, and Safety) dan meminimalkan kontak fisik (contactless) di semua proses bisnis pada industri pariwisata.
Euforia Geliat Bisnis di Bali Saat Ini
Menyusuri Gang Poppies II, Jalan Benesari, Kuta Badung, salah satu kawasan bisnis partikelir di Kelurahan Legian, para pelancong baik domestik maupun mancanegara akan mendapati kemeriahan 'Bali Now'.
Bali Now yang dimaksud adalah metamorphosis Bali saat pandemi menjadi Bali saat ini dan telah masuk step di atas era normal pasca pandemi. Terlihat, deretan usaha kuliner, baik resto, bar dan kafe kembali dipenuhi wisatawan yang jika diamati sekilas tampak sudah overpopulasi.
Senada, tempat penginapan baik hotel, penginapan, atau bungalo juga ramai disinggahi wisatawan. Tentu, ini sangat jomplang jika dibandingkan saat masa pandemi yang kosong melompong, bahkan tutup sementara atau permanen.
Saat penulis menyusuri jalan yang lebih tepat dikatakan gang kecil ini pada April 2022 lalu, tampak sangat lengang dan hanya dilalui sedikit kendaraan dengan durasi terbilang jari. Tidak ada barisan dan kerumunan orang yang lalu-lalang seperti saat ini.
Akan tetapi, saat ini tepatnya pada Sabtu 25 Mei 2024, salah satu jalanan sohor di Legian ini hampir tidak dapat dilalui lantaran kemacetan kendaraan dari dua arah, baik mobil maupun sepeda motor dengan para 'bule' yang lalu-lalang untuk melipir di tempat-tempat hiburan seperti rumah refleksi atau 'massage house'.
Euforia dan geliat bisnis di Bali jelas terlihat dari naiknya pendapatan para pengusaha, pedang kecil atau UMKM, dan semua warga yang terlibat di dalamnya.
Saat penulis menginap di hotel bintang tiga Grandmas Legian misalnya, harga yang dipatok naik dua setengah kali lipat dibandingkan saat pandemi pada 7 April 2022 lalu yang hanya dibanderol sekitar Rp 100 ribu.