Setelah berdoa seperti biasa, wanita muda berambut emas itu pun pamit undur. Dikecupnya kening adik misannya itu sebagai tanda pisah.
“Hm, sampaikan salamku untuk Papi-Mami kamu kalau datang menjengukmu sore nanti.”
“Tentu. Terima kasih banyak, Eva. ”
“Bye.”
“Bye!”
Rumah sakit Dutch van Ziekenhuis masih menyeruakkan atmosfer yang sama ketika gadis berambut emas itu melangkah pulang. Genangan bau alkohol dan formalin menusuk hidung, keluar dari ruang-ruang pesakitan. Iklim koridor pun tak jauh berbeda. Lalu-lalang manusia yang dihikmahi sakit oleh Sang Khalik merupakan bagian dari karunia alam. Keterbatasan yang merupakan limit margin atas keegosentrisan kuasa anak-anak manusia!
***
Gadis berkerudung putih itu muncul seperti biasa. Sepasang mata birunya menatap lunak, seperti serum yang mengeradiksi jutaan virus tifus di ususnya. Seperti halnya Jeanette, gadis itu memang sebaik bidadari. Disyukurinya rahmat Ilahi, menghadirkan dua sosok serupa malaikat berhati putih.
“Hai….”
Gadis itu duduk takzim seperti biasa setelah menyapa. Mengukur tensi suhu badan Joan di dahi dengan telapak tangannya yang dingin. Menyentuh pipinya yang tirus kemudian.
“Sudah mendingan.”