Aku hanya sekelopak yang-liu
menari seirama angin
pada iringan lagu maharana
Ini elegi
lalu seperti terempas
aku telah tergolek di rimba lalang setelahnya
dan mati mengerontang
Bao Ling
Elegi Yang-liu
Embusan napasnya terdengar memberat. Masalah yang dipikulnya kali ini tidak ringan. Lebih berat dari jubah berajut benang emas yang sering diantipatinya semasa kanak-kanak dulu. Setiap ritual kenegaraan, Ayahanda Kaisar Yuan Ren Xing selalu memaksanya untuk mengenakan jubah naga tersebut. Jubah yang selalu memegalkan pundaknya seusai mengikuti ritual yang menjenuhkan. Satu bentuk rutinitas formal sebagai putra mahkota yang senantiasa dikutuknya semasa kanak-kanak dulu.
Kepalanya memening.
Diempaskannya punggungnya ke sandaran kursi tembaga berukir naga. Kadang-kadang ia berpikir tidak ingin menduduki takhta ini. Sebuah kursi yang diperebutkan banyak orang dari zaman ke zaman. Darinya, telah tertumpah begitu banyak darah anak manusia. Ia lelah. Sejenak ingin beristirahat dari dunianya yang penuh gejolak!
"Yang Mulia...."
Perempuan muda itu memanggilnya dengan suara lunak. Pelan serupa desisan. Seolah-olah suara yang dilantunkannya dapat memecahkan kepala Kaisar Yuan Ren Zhan yang terbuat dari porselen.
Kaisar Yuan Ren Zhan masih memejamkan matanya dengan rupa cua. Tidak ada sahutan sebagai tanggapan atas sapaan Permaisuri Niang Xie Erl barusan. Balairung basilika istana masih dipenuhi partikel sunyi. Perempuan berkulit halus itu mendekat, duduk di seberang meja. Menatap suaminya dengan wajah mangu. Lelaki penguasa Tionggoan itu memang tengah menggamang.
"Yang Mulia, hamba sudah menyiapkan sup sarang burung walet...."
Kelopak mata Kaisar Yuan Ren Zhan membuka.