Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Magnolia dalam Seribu Fragmen Rana (5)

19 Maret 2021   23:27 Diperbarui: 20 Maret 2021   00:46 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jenderal?!" tanyanya, juga dengan nada sinis. "Kalau memang itu urusan mereka, tentu kita di sini tidak akan terjebak menunggu maut menjemput!"

"Tapi...."

Fa Mulan berdiri dari duduknya. Dielusnya spontan gagang pedang bersarung embos naga yang tersampir di pinggangnya. Mushu, pedang pusaka para leluhurnya. Itulah pedang turun-temurun yang secara satria pernah dipakai para leluhurnya untuk membela Negeri Tionggoan. 

Terakhir sebelum dipakainya, pedang itu pernah menyertai ayahnya dalam perang saudara di Tionggoan. Sampai suatu ketika ayahnya terluka parah dalam sebuah pertempuran. 

Mengalami cacat permanen pada kaki kirinya akibat tebasan pedang musuh. Pincang. Lalu meletakkan pedangnya di meja hyang para leluhur Fa.

"Bao Ling, sampai mati pun saya tetap akan berusaha menaklukkan pasukan pemberontak Han pimpinan Jenderal Shan-Yu itu!"

Prajurit yang juga merupakan penyair itu menggigit bibir. Ia tahu loyalitas Fa Mulan terhadap Kekaisaran Yuan. Ia tahu dedikasi macam apa yang telah diaplikasikannya selama menjadi prajurit wamil. Fa Mulan merupakan satu-satunya orang berjiwa heroik yang pernah dikenalnya, bahkan melebihi para jenderal yang berada di belakang meja strategi!

"Tapi, tidak sepatutnya Anda yang memikul semua tanggung jawab ini!"

"Semestinya! Tapi, di mana nurani saya bila melepaskan tanggung jawab di Tung Shao ini, sementara prajurit-prajurit Yuan sahabat-sahabat kita tumbang satu per satu, terbantai di zona tempur ini!"

Bao Ling terdiam.

Sahabatnya, Fa Mulan, adalah prajurit paling tangguh yang pernah diakrabinya. Ia pantang menyerah. Berbekal dari replikasi semangatnya itu pulalah sehingga ia mengurungkan niatnya kabur dari Kamp Utara, pulang ke rumah istananya yang damai di Ibu Kota Da-du. Menjalani hari-harinya sebagai sastrawan yang berkutat dengan kuas dan kertas. Bukannya pedang yang setiap hari dilumuri darah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun