Huh-huh! Saya mulai sebel. Dia sok menggurui.
"Kadang-kadang, Kak Eyang, saya nggak ngerti gimana jalan pikiran kita," si Tiang Listrik berjalan itu mulai lagi dengan kalimat-kalimat filosofinya. Pantas, sebelum berkenalan dengan dia, Rini, teman sebangku saya di kelas, sempat membisiki saya kalau yang namanya Arjuna Arief Santoso orangnya rada-rada 'begini', begitu katanya sembari memiringkan jari telunjuk di jidatnya.Â
"Setelah terpenuhi ini, ya mau itu. Setelah terpenuhi itu, ya mau ini lagi. Manusia, ya kita-kita ini Kak Eyang, nggak ada puas-puasnya. Dapat seratus mau seribu. Dapat sejuta mau semiliar. Begitu seterusnya. Nggak ada habis-habisnya. Nggak ada putus-putusnya. Seperti kereta api yang punya seabrek-abrek gerbong. Kalau keinginan atau cita-cita tersebut nggak kesampaian, maka kita-kita pada ngamuk, ngambek, nangis, cengeng kayak balita. Seharusnya kita belajar sama Mr Bean. Dia selalu, bukan selalu ya, tapi mensyukuri apa yang diperolehnya. Dapat ini, ya dia bersyukur tanpa neko-neko."
Saya jengkel, tapi sedikit terpikat untuk menyanggah. "Tapi, memang manusia begitu kok. Punya naluri untuk berkembang. Nggak cepat merasa puas. Kalau manusia cepat puas seperti Mr Bean gambaranmu itu, berarti dia bukan manusia. Tapi malaikat."
Dia menggeleng. "Manusia adalah manusia. Malaikat adalah malaikat. Kalau manusia nggak punya rasa syukur, itu berarti manusia nggak ada bedanya dengan mobil tanpa rem. Nah, Kak Eyang, bayangkan deh kalau mobil itu nggak memiliki rem. Nabrak sana nabrak sini kalau nggak nyungsep ke jurang."
Saya terperangah. Sama sekali nggak menyangka kalimatnya akan 'mengena' begitu. Iya, apa bedanya manusia macam begitu dengan mobil tanpa rem?! Jujur, saya banyak melihat manusia jenis yang digambarkan Arjuna. Bahkan, bagi saya, manusia-manusia jenis itu tidak ada bedanya dengan kanibal. Pemakan manusia. Tidak salah kalau ada pepatah miris yang mengatakan bahwa, 'manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya'!
"Kak Eyang...."
"Eh, apa?" Saya belum berhasil menguasai keterkejutan saya.
"Saya mau berterus terang sama Kak Eyang. Boleh?" Dia menatap saya serius. Dengan sorot matanya yang ganjil.
"Boleh," angguk saya.
"Saya mencintai Kak Eyang!"