"Yap. Seperti Tukul Arwana, Basuki, atau Timbul."
Saya sudah ngakak. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan tawa saya yang sebenarnya tidak sopan itu. Malah dia menyembulkan senyum simpatik. Saya katakan simpatik karena, dia berusaha menutupi giginya yang notaris (nongol tapi sebaris) itu. Paling tidak, dia memahami etika ketawa yang baik. Tidak seperti saya yang, meski gadis dari kalangan baik-baik, kalau ketawa kadang-kadang gulingan di lantai.
"Saya nggak suka mereka," urainya setelah meredakan tawa kecilnya.
"Lho, kenapa?" tanya saya dalam nada bergurau. "Jelek-jelek gitu mereka tajir, lho? Â Lihat, gimana larisnya mereka sebagai bintang iklan...."
"Kalau boleh memilih, saya lebih memilih Mr Bean," salibnya serius.
"Kenapa Mr Bean?"
"Nggak kenapa-kenapa. Cuma dia nggak sekadar melucu."
"Maksud kamu apa?"
"Dia nggak melucu tapi lucu."
"Maksud kamu...."
"Kak Eyang lihat, Mr Bean itu lucu karena keluguannya. Ketidaktahuannya. Bukan karena ketololannya, atau kebodohannya. Kadang-kadang kita tertawa karena, sebenarnya kita menertawakan diri kita sendiri." Arjuna Arief Santoso itu bicara panjang-lebar berdiplomasi.