"Bagaimana mau lihat hantu kalau keberadaan kita di sini tidak diketahui!"
"Ka-kamu keras kepala, ya!"
"Hihihi. Maaf!"
"So, diamlah."
"Sampai nyamuk-nyamuk di sini mengisap habis darahku?!"
"Ah, kamu sabar sedikit kenapa, sih?"
"Habis...."
"Jangan berisik!"
Sudah nyaris sejam mereka di sana. Tapi tidak ada tampak kehidupan para hantu yang konon bakal datang di Hari Para Arwah. Siao Mei sudah tidak sabaran. Kakinya pegal. Dan ia bersin-bersin mencium bau apak debu yang terembus angin malam.
Chen Chiang hanya mengurut dada melihat tingkah putri dari adik perempuan ayahnya, yang saat ini menghabiskan masa liburannya di Beijing. Keringat dinginnya semakin mengucur ketika ia mendengar ada suara lolongan anjing dari kejauhan.
Sebenarnya mereka masuk diam-diam. Melalui salah satu celah pagar yang separo rubuh, di ujung sebelah selatan rumah. Tentu saja tanpa sepengetahuan siapa-siapa. Meski rumah kuno itu tidak berpenghuni, tapi di gerbang utama rumah tetap masih dijaga seorang laki-laki tua yang setiap pagi bertugas membersihkan pekarangan. Menurut orang sekitar rumah itu, tuan rumah -- saudagar tua yang membeli rumah tersebut dari pejabat pemerintah kota pada tahun enam puluhan -- tidak tahan tinggal di dalam karena selalu menyaksikan hal-hal gaib. Persis rumor yang beredar di kalangan masyarakat Beijing.