Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Para Arwah

11 Maret 2021   10:46 Diperbarui: 11 Maret 2021   10:59 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen Hari Para Arwah. (pinterest.com)

Beijing, 1995

"Siao Mei! Jangan sembarangan ngomong!"

"Memangnya kenapa?"

"Hantu dapat mendengarkan kita bicara!"

"Hahaha. Mana ada hantu?"

"Siao Mei!"

"Hahaha...."

"Hah?!"

Chen Chiang kemekmek. Ada suara derit pintu dari arah ruang dalam rumah kuno itu. Ia menatap mawas lewat sebuah celah pada jendela. Sekeliling ruangan sepi. Kosong, tidak ada siapa-siapa. Ia pun lantas melototkan mata ke arah gadis berwajah bayi di sampingnya. Seperti menyesali keputusannya untuk datang ke tempat ini.

"Hanya suara pintu. Bukan hantu!"

Siao Mei menjelaskan. Tapi kalimat itu tidak dianggap. Sugesti ketakutan cowok itu lebih mengekspresi, menggebah alasan bunyi suara pintu tadi sebagai penawar keterkejutan. Gadis bermata ekuator itu menggeleng-gelengkan kepala.

Ia sendiri tidak menyadari kenapa dapat senekat begini. Rasa penasarannya menggebah rasa takut. Momen melihat rumah hantu tidak selalu ada. Bahkan, nyaris tidak pernah ada. Imajinasinya tentang sosok gaib itu hanya diperolehnya dari serangkaian berita dan kisah seram dari rubrik misteri pada majalah dan koran. Sebagian lagi tentu dari media elektronik terpopuler, televisi. Juga sedikit kabar angin versi bisik-bisik tetangga alias rumor.

Dan kesempatan untuk melihat hantu itu tidak dapat dilakukan pada sembarang hari. Ada spesifikasi yang membedakannya dengan hari-hari biasa. Seperti hari ini, namanya chung beng. Chung beng hanya sekali dalam setahun. Pada saat purnama gelap. Setiap penanggalan lima belas Imlek, yang jatuh pada 4 April penanggalan masehi.

Imlek sendiri merupakan sebuah penanggalan kuno yang menjadi pola hari sebagian masyarakat Tionghoa. Chung beng kurang lebih berarti Hari Para Arwah. Diperingati untuk menghormati para arwah kerabat dan keluarga yang sudah meninggal. Konon, pada hari chung beng, malaikat penjaga pintu neraka membuka gerbang alam para arwah maupun hantu-hantu untuk melanglang buana mencari makan. Makanya, setiap Chung beng, makam maupun pekuburan Tionghoa selalu dipadati sebagian orang Tionghoa yang masih memegang teguh adat yang sudah mengakar lama, bahkan sebelum terbentuknya dinasti yang pertama di Tiongkok.

Mereka biasanya menyediakan sesajian makanan dan buah-buahan, meletakkan di depan kuburan dan nisan. Lalu menyalakan sepasang lilin merah, dan membakar hio serta ing-che dan cing-che -- sejenis kertas buram bernoktah perak dan emas di tengah-tengahnya, yang melambangkan uang perak dan uang emas, sebekal dana untuk dibawa pulang para arwah di kehidupan mereka selanjutnya.

Adat itu masih berkembang di sebagian kalangan Tionghoa totok dan perantauan. Seiring perjalanan zaman, adat yang meleluri itu kerap diyakini takzim sebagai sesuatu yang riil. Hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari lafaz kehidupan.

Itulah sebabnya mengapa chung beng termasuk hari besar di Beijing ini. Sama halnya dengan perayaan tahun baru Imlek, chung beng pun dirayakan dengan meriah. Setelah melakukan ritual persembahyangan di makam-makam, mereka juga merayakan Hari Para Arwah itu dengan jamuan makan besar-besaran. Masing-masing suku di Tiongkok melakukan acara mereka sendiri-sendiri. Salah satu suku terbesar di Beijing, Kanton misalnya, mengundang semua masyarakat yang bersuku serupa untuk makan-makan dengan kapasitas melebihi pesta besar biasa.

***

Sebagai gadis Tionghoa perantauan kelahiran Indonesia, Siao Mei sama sekali tidak meyakini persepsi turun-temurun yang berlaku di Beijing. Tentu saja pemahaman yang jauh bertolak belakang itu membawa pertentangan. Chen Chiang yang konservatif dan Siao Mei yang moderat memang bagai mata uang logam dengan dua sisi. Tidak pernah dapat sama bila dilemparkan dari arah manapun.

Perbedaan yang sangat fundamental itu tercetus dalam sikap apatis Siao Mei dan sikap apriori Chen Chiang. Saudara semisan itu pun lantas beragumen dalam debat. Memilih untuk menjabarkan dalih masing-masing dalam sebuah tantangan. Mereka akan langsung ke rumah kuno berhantu itu, tepat pada chung beng kali ini!

Tantangan tersebut sebetulnya diusulkan Siao Mei sebagai ajang pembuktian ada tidaknya hal-hal gaib semacam itu. Chen Chiang menganggap adik misannya yang tinggal di Indonesia itu sudah takabur. Ia merasa perlu meluruskan sikap Siao Mei yang pongah itu sehingga jauh dari chiong -- celaka.

Saudari sepupunya itu memang rentan mengundang prahara. Hah, bayangkan saja. Sehari menjelang chung beng, ia malah bicara sembarangan menolak anggapan adanya makhluk halus yang bernama hantu! Ia malah dengan jemawa mengajukan tantangan untuk membuktikan kebenaran adanya hantu!

Makanya, Chen Chiang menerima tantangan itu untuk membuktikan kebenaran persepsi yang telah melegenda di kalangan masyarakat Tiongkok. Bahwa chung beng merupakan hari para arwah. Kalau tidak begitu, ia khawatir Siao Mei bisa kualat dengan ucapannya sendiri.

Dengan jiwa setengah takut, ia datang ke rumah kuno yang dianggap keramat di Beijing ini. Yang konon dihuni banyak arwah penasaran. Khususnya Qing mo-kui alias hantu prajurit Dinasti Qing!

Qing mo-kui adalah hantu orang yang mati penasaran. Kebanyakan mati dalam pertempuran di zaman Dinasti Qing. Serdadu-serdadu Qing itu banyak yang mati secara tidak wajar. Salah satunya adalah ketika hantu Qing mo-kui itu menampakkan diri dengan wujud prajurit tanpa kepala di rumah besar tersebut. Sebagian masyarakat sekitar rumah kuno mengatakan kalau semasa hidupnya, prajurit dari Dinasti Qing itu mati kena penggal. Mungkin prajurit mata-mata atau musuh yang tertangkap lalu dijatuhi hukuman pancung.

Penampakan berikutnya, kadang-kadang terdengar barisan dan aba-aba militer di dalam rumah besar itu. Juga bunyi denting pedang yang beradu. Bahkan, kadang-kadang terdengar jeritan kesakitan yang giris menyayat hati. Memilukan sekali!

Rumah besar itu terletak di tengah Kota Beijing, Yangtze River Street. Tidak jauh dari sana, terdapat bangunan legendaris, The Forbidden City -- Tiananmen. Seperti kebanyakan bangunan kuno lainnya di Tiongkok, rumah tersebut juga banyak menyimpan sejarah tak kasatmata. Rumah besar itu dulunya merupakan sebuah penginapan besar atau suhian.

Konon penginapan itu sering dijadikan tempat bermain para pangeran dari Dinasti Qing, khususnya pada saat sedang memadu kasih dengan para wanita penghibur dari suku Uzbekistan yang kesohor karena kecantikannya. Selain sebagai rumah penginapan, rumah itu dulu juga merupakan tempat prostitusi. Tempat mesum yang setiap hari dipadati perwira dan prajurit Dinasti Qing.

Muasal kehadiran hantu-hantu prajurit Dinasti Qing bermula dari sana. Dalam masa peperangan, suatu ketika pasukan pemberontak dari suku Han menyerbu masuk. Membunuh banyak prajurit Dinasti Qing yang berkuasa. Sejak peristiwa itu, suhian itu ditutup dan terlantar sampai berakhirnya Dinasti Qing di bawah kekuasaan kaisar terakhir, Pu Yi setelah dijatuhkan dalam Revolusi Xinhai oleh Dr Sun Yat-sen.

Legenda pun menguak. Hadir mendarah-daging di dalam masyarakat Da-du --sekarang Beijing. Rumah penginapan itu menjadi rumah hantu, yang didiami para arwah prajurit Dinasti Qing yang mati penasaran. Desas-desus tentang hantu tersebut berkembang sampai sekarang.

***

Sekarang mereka masih berada di sekitar rumah kuno itu. Chen Chiang masih menitikkan keringat dari dahinya. Mengendap-ngendap separo merayap. Mengintip melalui salah satu celah pada jendela lawas khas Tiongkok.

Sementara itu, Siao Mei masih anteng, berusaha mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Selain perabotan rumah tangga yang berdebu, tidak banyak yang dapat ia saksikan di sana. Sebetulnya tempat itu tidak seseram apa yang diceritakan Chen Chiang kepadanya.

Tidak ada tabela atau petimati seperti yang sering ia tonton dalam film-film horor Mandarin. Tidak ada mayat serupa mumi berseragam prajurit Dinasti Qing dengan selembar fu -- jimat beraksara kanji Tiongkok pada selembar kertas berwarna kuning -- yang menempel di dahinya. Tidak ada meja persembahyangan dengan alwah -- kayu nisan kecil -- di atasnya. Juga tidak ada chinesse vampire yang menyeringai dengan sepasang gigi taringnya yang khas!

"Sstt... jangan nyalakan senter!"

"Kenapa?"

"Bisa mengundang perhatian Qing mo-kui!"

"Hei, justru itu yang kita inginkan, kan?!"

"Ka-kamu...."

"Kita kemari bukan untuk melihat perabotan tua dengan selubung debu yang setebal tripleks, kan?"

"Tentu saja bukan!"

"Nah...."

"Sstt... kecilkan suaramu, dong!"

"Bagaimana mau lihat hantu kalau keberadaan kita di sini tidak diketahui!"

"Ka-kamu keras kepala, ya!"

"Hihihi. Maaf!"

"So, diamlah."

"Sampai nyamuk-nyamuk di sini mengisap habis darahku?!"

"Ah, kamu sabar sedikit kenapa, sih?"

"Habis...."

"Jangan berisik!"

Sudah nyaris sejam mereka di sana. Tapi tidak ada tampak kehidupan para hantu yang konon bakal datang di Hari Para Arwah. Siao Mei sudah tidak sabaran. Kakinya pegal. Dan ia bersin-bersin mencium bau apak debu yang terembus angin malam.

Chen Chiang hanya mengurut dada melihat tingkah putri dari adik perempuan ayahnya, yang saat ini menghabiskan masa liburannya di Beijing. Keringat dinginnya semakin mengucur ketika ia mendengar ada suara lolongan anjing dari kejauhan.

Sebenarnya mereka masuk diam-diam. Melalui salah satu celah pagar yang separo rubuh, di ujung sebelah selatan rumah. Tentu saja tanpa sepengetahuan siapa-siapa. Meski rumah kuno itu tidak berpenghuni, tapi di gerbang utama rumah tetap masih dijaga seorang laki-laki tua yang setiap pagi bertugas membersihkan pekarangan. Menurut orang sekitar rumah itu, tuan rumah -- saudagar tua yang membeli rumah tersebut dari pejabat pemerintah kota pada tahun enam puluhan -- tidak tahan tinggal di dalam karena selalu menyaksikan hal-hal gaib. Persis rumor yang beredar di kalangan masyarakat Beijing.

Ia sekeluarga pun angkat kaki dari rumah itu. Meninggalkan beberapa perabotan rumah semi permanen yang sulit dipindahkan seperti lemari dan beberapa meja-kursi kuno. Juga beberapa barang pecah belah buatan Dinasti Ming berupa jambang besar dan gentong air antik.

***

Ada suara yang mendebum dari arah dalam rumah. Chen Chiang kemekmek. Wajahnya pucat. Ia menggigil.

"Han-hantunya sudah muncul!" bisiknya di telinga Siao Mei.

"Gelap! Aku tidak lihat ada apa-apa, kok!" balas Siao Mei, juga berbisik.

"Sstt...."

"Mana?! Tidak ada!"

Siao Mei mendongak dengan berani, berusaha menyingkap daun jendela agar lebih leluasa melihat ke dalam. Tapi Chen Chiang lekas mendorong kepalanya supaya merunduk. Ia tidak ingin anak itu menarik perhatian hantu prajurit Dinasti Qing.

Suara di dalam rumah semakin gaduh. Chen Chiang dapat mendengarkan degupan kencang jantungnya sendiri. Atmosfer malam menghadirkan bayang-bayang ketakutan yang luar biasa. Ia memejamkan matanya sebentar. Setengah berdoa dan setengah membaca mantra. Entah apa.

Siao Mei melototkan matanya. Ia dapat menangkap sesosok tubuh hitam berjalan dengan langkah gegas. 

Ya, Tuhan!

Tubuhnya seperti mengejang. Segenap keraguannya tentang keberadaan hantu pupus mendadak. Alam pikirannya membabur. Itu memang hantu prajurit Dinasti Qing seperti yang termaktub dalam legenda masyarakat Tiongkok!

Chen Chiang menarik tangannya untuk kabur sebelum mereka jatuh pingsan.

***

Epilog

Kejadian semalam masih mengiang di benaknya. Pikirannya masih diganggu sosok hantu di rumah kuno itu. Semalam-malaman ia memilih diam di kamar ketimbang melihat tampang saudara misannya yang jemawa. Tersenyum setengah meledek. Cowok itu merasa menang!

Iseng dihidupkannya TV kecil di kamarnya. Ada siaran berita di saluran CCTV -- kanal populer di Tiongkok.

"... pemirsa, semalam pukul dua dini hari polisi berhasil menangkap tiga orang di Jalan Yangtze River dengan modus operandi pencurian. Ketiga orang tersebut menyamar menggunakan kostum prajurit Dinasti Qing, membongkar sebuah rumah kosong di sana. Mencuri beberapa barang antik dari Dinasti Ming dalam rumah itu."

Siao Mei melonjak kaget. Semuanya sudah jelas sekarang. Digabruknya daun pintu kamarnya. Keluar dengan wajah semringah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun