Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luruh Hati Rembang Lara

21 Februari 2021   23:46 Diperbarui: 22 Februari 2021   00:15 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpen Luruh Hati Rembang Lara. (Effendy Wongso)

Prolog

Ujungpandang, 1999

"Pesona itu tidak datang begitu saja, Nduk!"

"Lalu, dari mana datangnya, Nek?"

"Dari dalam hati. Cinta, kasih, dan sayang. Semuanya. Jika hatimu putih, apa yang terpancar semuanya akan putih juga."

Sebelas tahun yang lalu, si kembar kecil Suci dan Ersa pernah mendengar petuah bijak itu. Dari Nenek di kampung. Meski semuanya telah berlalu, meski Nenek sudah dipanggil oleh Yang Mahakuasa, tapi petuah itu tetap menggaung. Di hati Ersa. Bukan di hati Suci.

***

31 Januari 1999

Galau Bilah Hati

"Saya tidak bohong, Ci!"

Dunia Suci lantak. Binar di mata elang itu menggambarkan kesungguhan. Memaksa senyum tidak percayanya menguncup. Lantas membuat sebaris kalimat getas dari cowok itu barusan, yang berlalu bagai angin lalu di telinganya tadi, kini berbalik menusuk setajam tombak. Hatinya berdarah!

Seperti mimpi.

Aldo telah berterus terang, mengungkapkan segalanya tanpa ada yang ditutup-tutupinya lagi. Cowok itu tidak mencintainya lagi! Ada gadis lain yang mengakrabi hari-harinya kini.

Ya, Tuhan!

Suci menggeleng-gelengkan kepalanya entah untuk yang keberapa kalinya. Kalau saja, ya kalau saja dia tahu Aldo akan mengkhianati cintanya, tentu dia tidak akan pernah mau menerima lalu menyusun rapi-rapi sederet janji yang diucapkannya setahun lalu, lantas membangunnya menjadi sebuah menara cinta setinggi langit. Betapa bodohnya aku! batinnya berkali-kali.

Namun penyesalan yang datangnya belakangan tampaknya tidak akan dapat mengubah keadaan. Suci menyadari itu. Kalaupun dia menangis kali ini, airmata yang dia cucurkan bukan lantaran runtuhnya segebung harapan yang telah menggunung di hatinya. Bukan karena Aldo adalah pembohong paling besar sedunia. Bukan. Bukan itu semua. Tapi... kenapa, kenapa orang ketiga itu harus Ersa?!

Suci menggigil. Dunia rasanya sudah kiamat!

***

11 Februari 1999

Tentang Cinta Putih

Semilir angin laut yang membelai tengkuk dan pipi Ersa tidak mampu meredakan galau hatinya saat ini. Dan sikap apatis Aldo malah semakin menambah keresahannya. Cowok batu, keras kepala! makinya dalam hati.

Setengah jam sudah mereka duduk di trotoar Pantai Losari tanpa ada kata yang terucap. Entah, perbendaharaan kalimat yang telah disiapkan Ersa untuk mengakhiri hubungannya dengan Aldo sejak kemarin malam seperti raib begitu saja. Dia ingin, ingin sekali meyakinkan cowok berhidung bangir di sebelahnya ini bahwa hubungan yang kini mereka jalani secara diam-diam akan sangat melukai hati dan perasaan Suci.

Tapi, Aldo tidak merasa menyakiti hati Suci.

"Kamu takut, Sa?" Bahkan, pertanyaannya ringan tanpa beban.

Gadis berparas lancip itu hanya mengangguk. Dibiarkannya sepoi angin mempermainkan bilah-bilah rambutnya.

"Kenapa?" Nada kalimat Aldo sama sekali tidak menyiratkan gamang.

"Dia itu kakak saya," tegas Ersa dengan dada sesak.

"Memangnya kenapa kalau dia kakakmu? Apa dengan begitu kamu harus...."

"Kamu! Kamu seperti tidak punya perasaan, Aldo!" Ersa mengangkat muka. Menentang mata elang Aldo.

Aldo mengusap wajahnya.

"Mungkin, mungkin saya tidak punya perasaan," ujarnya sembari mengangguk-angguk getas, "tapi paling tidak, saya sudah jujur. Saya tidak membohongi hati saya, Sa. Kalau saya mencintaimu ketimbang Suci, itu memang tidak dapat saya pungkiri."

Ersa termakan kalimat polos Aldo. Di balik setiap patah kata cowok itu, dia menemukan ketulusan di sana. Dia sendiri tidak tahu harus menanggapi apa. Dan hanya terdiam dengan pikiran yang menerawang.

Lunglai, ditolehkannya kepala ke cakrawala barat. Di sana, matahari perlahan beringsut ditelan air laut yang kini sewarna tembaga. Di garis horizon sana pula tampak tiga pinisi seolah menari-nari dipermainkan gelombang pasang. Sementara pulau-pulau kecil kini hanya terlihat berupa noktah-noktah hitam di matanya. Ujungpandang di senja hari tampak bagai lukisan hidup.

"Ta-tapi... kenapa kamu harus memilih saya, Al?" tanyanya lirih setelah dia merasa mampu menghimpun kekuatan untuk bicara.

"Karena saya mencintaimu. Ada sisi lain yang membedakan kamu dengan Suci. Suci bukan lagi Suci yang dulu. Dia...," tegas Aldo tertahan, menatap lumat wajah kuyu di sampingnya yang tengah tertunduk lesu. Dihelanya napas panjang-panjang kemudian. Menghirup bau laut yang khas.

"Ke-kenapa?!"

"Dia terlalu disibuki dengan perasaan-perasaan cemburunya yang kadang tidak beralasan, Sa! Padahal, saya sangat mengharap kasih sayangnya setelah kasih sayang itu tidak mungkin saya dapati lagi di dalam keluarga saya yang sudah retak," lanjutnya dengan mimik nelangsa.

"Mbak Suci akan hancur, Al," desis Ersa, menundukkan kepalanya kemudian. Ada rasa bersalah dan takut menyergap hatinya.

"Saya tahu. Lalu, apakah saya harus memaksakan diri untuk mencintainya kembali?" Aldo menancapkan tatapannya sekilas ke wajah Ersa yang tengah menunduk. Cuma sebentar, sebab dia kembali  mengarahkan matanya ke lain tempat. Kali ini pandangannya tersita ke arah beberapa bocah asongan yang sedang menjajakan rokok. Lalu, selang berikutnya dia lebih asyik menyaksikan gerobak-gerobak penjaja makanan yang mulai memenuhi tepian pantai dari utara ke selatan.

"Dia sangat mencintai kamu," kilah Ersa berat. 

"Saya tahu." Aldo berdiri. Santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Mengangkat sebelah kakinya ke atas trotoar yang didudukinya tadi. Lalu ditopangkannya dagunya yang berlekuk indah di atas lututnya.

Dia selalu membangga-banggakan kamu. Di depan saya, di depan teman-temannya. Dia juga...."

"Ah, sudahlah, Sa. Dia adalah bagian dari masa lalu saya." Aldo mengibaskan tangannya pelan.

"Kamu cuma mempermainkan dia. Iya, kan?!" Mata Ersa membola. Kalimatnya penuh selidik.

Aldo tersenyum, lalu tertawa hambar. Refleks diangkatnya kepala dari topangan lututnya. Kemudian dia berkata setenang mungkin setelah menyurutkan tawanya.

"Satu tahun jalan bareng dia, satu tahun itu pula saya berusaha untuk memahami sifatnya, dan dari satu tahun itu pula saya terus mencoba berkepala dingin di dalam setiap pertengkaran. Tapi," sudut kanan bibirnya terangkat, "hah, hasilnya nol besar!" urainya, lalu diangkatnya jari telunjuk dan jempolnya yang membentuk bulatan. "Sekarang, apa yang mesti dipertahankan lagi?"

"Tapi...."

"Kadang saya tidak memahami kadar cemburunya yang di luar batas kewajaran itu, Sa," Aldo memintas. "Terus terang, saya takut hal tersebut terus berlanjut sampai, misalnya, suatu saat kelak kami bersatu dalam rumah tangga."

"Kamu...."

"Sesungguhnya saya ini pengecut, Sa. Saya orangnya tidak tahan banting. Saya pikir, mungkin saya ini masih kekanak-kanakan."

Ersa bungkam. Di satu pihak dia tidak ingin menghancurkan impian Suci. Tapi di pihak lain, jauh di lubuk hatinya, jujur, dia sangat mencintai Aldo.

***

3 Maret 1999

Lembar Babak Putih

Suci shock. Kenyataan itu begitu menyakitkan. Air matanya serasa kering. Sudah terkuras sejak mula mendengar keterusterangan Aldo bahwa, di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa lagi. Ada nama lain yang mengisi hartinya. Dan, gadis itu adalah Ersa. Adik kandungnya sendiri!

"Ka-kamu kejaaaam!" Suci kembali berteriak setelah dia bertahan dalam diam sebulan belakangan ini.

Ersa terisak. Dibenamkannya wajahnya ke bantal. Memang, dia merasa telah merusak hubungan Suci bersama Aldo. Dia jahat menghancurkan hati kakaknya.

Tapi, itu bukan kesalahannya semata. Aldo toh mencintainya. Lagi pula Aldo telah berterus terang mengungkapkan bahwa dari sekian banyak waktu bersama Suci, yang mewarnai kebersamaan mereka hanyalah pertengkaran dan pertengkaran. Antara Aldo dan Suci memang tidak ada kecocokan lagi!

Dan, rasa-rasanya tidak mungkin lagi dia dapat menebas perasaan cintanya terhadap Aldo. Sekeras dan seberusaha bagaimana pun dia. Sebab, setiap dia ingin memupus bayang Aldo dari benaknya, saat itu pula sosok Aldo semakin kukuh bercokol di hatinya, dan mendatangkan kerinduan yang amat sangat.

Hari-harinya jadi tersiksa. Dia seperti dihadapkan pada sebuah dilema yang rumit.

"Ma-maafkan Ersa, Mbak." Ersa membuang bantal yang dipeluknya ke sisi kiri atas tempat tidur. Berusaha menjangkau pundak Suci yang bermaksud memeluknya. Rambutnya yang sepundak dibiarkan masai menutup sebelah matanya.

"Mbak...."

"Cukup Ersa! Cukup kamu hancurkan Mbak," bentak Suci ketus dengan sinar kebencian penuh.

"Tapi...," Ersa masih berusaha memeluk tubuhnya. Bergegas kemudian dia berdiri dari duduknya di sudut tempat tidur. Dibalikkannya badan, menatap tajam mata Ersa yang mulai berkaca.

"Apa kesalahan Mbak hingga kamu...."

"Tidak, Mbak. Mbak tidak bersalah apa-apa. Ersa yang salah...."

"Pura-pura...."

"Mbak...!"

"Apa lagi?!"

"Ersa minta restu, Mbak."

"Restu apa lagi yang kamu harapkan dari Mbak?! Kamu kan sudah merampok semuanya!" teriak Suci pongah.

Ersa sudah tidak tahan. Air matanya menitik deras. Dia berlari keluar kamar dengan hati perih. Puluhan, bahkan ratusan permintaan maaf yang tulus diucapkannya sama sekali tidak mampu meluluhkan kebekuan hati Suci. Suci membencinya, baginya, itu melebihi hukuman apa pun.

Namun, Ersa tidak pernah menyesali dilema cintanya. Mungkin suatu saat nanti Suci dapat memafhumi arti cinta yang sebenarnya, cinta yang tidak berlandaskan ego. Dan dapat memaafkannya, menerima hal itu dengan hati tabah.

Entah kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun