"Ak-aku...."
Revo melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Lampion-lampion merah sudah tergantung dengan anggun. Beberapa pita merah pemanis menggayut di sisi-sisi lampion. Tinggal mencantelkan beberapa hiasan berbentuk petasan dan koin khas China yang bersimpul tali merah, ia akan menyudahi dekorasi rumah. Airin tidak banyak membantunya. Gadis jalan enam belas itu lebih banyak melamun. Mengenang masa-masa lalu yang tidak membawa faedah apa-apa bagi perkembangan jiwanya. Ia malah jadi labil dan sensi.
"Revo...."
"What?"
"Kamu, Papa dan Mama pasti membenciku, kan?!"
Revo mengalihkan perhatiannya dari langit-langit rumah. Tak jadi mematri seuntai petasan mainan di sebelah sebuah lampion. Ia turun dari tangga piramida. Memandang dengan rupa terkesima ke wajah lesi Airin akibat terkesiap kalimatnya barusan.
"Kok kamu bilang begitu, sih?!"
"Aku merasa telah mengganggu ketenteraman keluarga kamu, Vo. Aku telah membawa kemurungan pada keluarga kalian. Padahal, menjelang Imlek seharusnya kita semua bergembira. Aku memang picik!"
Airmata Airin menitik. Ia tersedu, duduk di lantai bersidekap lutut. Revo menghampiri saudara misannya yang sudah dianggap adik kandungnya itu. Ia iba.Â
Tidak sepatutnya ia menambah kesedihan gadis itu dengan ultimatum-ultimatumnya yang tegas, agar putri mendiang pamannya tersebut menggebah jauh-jauh kenangan getir masa lalunya. Ia seharusnya introspeksi.Â
Bukannya menghukum gadis itu dengan kalimat-kalimat sarkastis dan antipati begitu. Seandainya ia berada di pihak Airin, mungkin ia akan merasakan hal yang sama. Bahwa betapa beratnya kehilangan orang-orang yang dicintai!