Gadis itu terkesiap. Seperti menyadari kesalahannya, ia menyembulkan senyum paksa. Revo menghela napas. Menanggapi kepura-puraan mimik riang Airin dengan rupa tidak senang.
"Maaf...."
"Kamu ini keras kepala...."
"Ya, Tuhan!" Airin menepuk dahinya, pura-pura melirik ke setumpuk pita merah yang masih tergeletak di dalam kardus. Mencoba menggusur topik masalah. "Sori, sori ya, Vo. Wah, aku terlalu banyak melamun sehingga pekerjaan kita terbengkalai."
Revo menggeleng. "Jangan mengalihkan pembicaraan!"
"Maksudmu?"
Revo mengusap wajahnya. "Rin, sampai kapan sih kamu dapat melupakan tragedi yang menimpa keluargamu?!"
Wajah Airin memucat. "Ak-aku...."
"Aku tahu tragedi itu sangat berat. Tapi, kami tidak suka melihat kamu terus-menerus sensi begitu."
'Kami' yang dimaksud Revo adalah ia, Papa dan Mamanya. Papa dan Mamanya sendiri sudah menganggap Airin keponakan mereka sebagai putri sendiri. Sejak kecelakaan mobil yang merenggut nyawa kedua orangtua serta adik perempuan Airin, gadis yatim-piatu itu memang sudah diangkat sebagai anak oleh orangtua Revo.
"Ta-tapi...."