Imlek selalu menghadirkan giris di hatinya. Kenangan merah itu selalu terkuak. Kotow, lampion merah, angpau, kue pia, dan busana Cheongsam. Airin menghela napas panjang. Lamat kenangan itu membaur di benaknya. Sudah tiga tahun. Tapi kenangan itu tetap menusuk-nusuk hatinya!
"Airin!"
Mungkin tidak ada yang pernah tahu bagaimana sakitnya kehilangan. Ketika orang-orang yang dicintainya pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan ia seorang diri, Airin kecil yang tercenung menatap bentangan masa depan suram di hadapannya. Tapi takdir memang tak dapat dielakkan.Â
Nyawa kedua orangtua serta adik tunggalnya tidak dapat diselamatkan dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, meski semalam-malaman ia bersujud dan berdoa untuk keselamatan keluarganya.
Digigitnya bibir. Menatap hampa keluar jendela rumah. Terawangannya menembusi langit malam. Namun gemintang pun seperti enggan menyapanya malam ini. Semuanya kelam saat kelap-kelip indahnya bersembunyi di balik awan gemawan. Mungkin sebentar lagi langit akan mencurahkan hujan.Â
Meniriskan tirai-tirainya yang basah. Membasuh muka bumi yang  mengerontang akibat kemarau musim lalu. Ia menggeleng sekali lagi. Imlek selalu menghadirkan aroma yang sama.Â
Untaian hari yang terhimpun dari detik-detik jam dinding di ruang tamu selalu mengiramakan lara. Apakah ia pantas mengecap manisnya Imlek, sementara ia bagai seorang putri yang hilang dalam rimba kota!
"Airin, kamu tidak apa-apa, kan?"
Sepasang telinganya seperti terbebat oleh alur sepat silam. Revo menatapnya mawas. Bukan sekali ini Airin begitu. Lampion merah pemanis interior rumah menggantung di tangannya. Belum lagi sempat digantungkannya di sudut langit-langit ruang. Gadis itu masih dirundung lara.
"Airin, sudahlah...."