Tangerang, 2000
Semua manusia memiliki masalah. Seberat apa, hanya hati masing-masing manusialah yang dapat mengejawantahkannya. Dan karena masalah itu pulalah maka saya melarikan diri ke tempat teduh ini.
Klenteng Boen Tek Bio di Tangerang sehari menjelang Imlek dipadati rimba manusia. Saya berdiri terpaku di sini. Lunglai menyaksikan hilir mudik umat yang datang silih berganti seperti tak ada henti-hentinya. Lalu menjebak dan menghimpit saya sendiri. Yang saat ini hanya dapat mengibas-ibaskan tangan menggebah asap oksidasi dupa yang memerihkan mata.
Saya tercenung setelah mengikuti ritual turun-temurun itu. Sesaat saya pandangi paidon raksasa di luar gerbang klenteng. Menatap lidi-lidi dupa yang bergeletar tertiup semilir angin serta mengembuskan asapnya hingga bergerak melingkar ke atas.
Bodohnya, saya selalu mengharap dupa yang saya tancapkan tadi dapat menyampaikan pesan pada dewata di langit. Agar segera menyudahi lara dalam keluarga saya yang seperti tidak ada habis-habisnya.
Semestinya saya tahu kalau sehari sebelum Imlek, tempat teduh ini selalu dipadati orang-orang yang khusuk memohon syukur pada Sang Khalik. Bukannya mengharap datangnya mukjizat seperti sulap, dan mengubah seorang gadis gembel menjadi Cinderela.
Semestinya saya sadar kalau besok adalah hari Imlek, Tahun Baru yang selalu menjanjikan hari-hari yang lebih baik dibanding hari-hari lalu. Bukannya mematung dengan benak baur, dan mengharap ada keajaiban yang dapat segera mengubah jalan hidup keluarga saya.
Tapi naifnya, saya selalu pesimis memandang hari-hari baru tersebut. Tak ada keceriaan dan senyum tulus kala bersilaturahmi pada sanak keluarga. Tak terlihat keindahan lampion-lampion merah yang tergantung pada langit-langit kanopi dan balkon rumah. Juga tak terdengar syahdu dendang-dendang bernuansa Imlek yang diputar beberapa warga Tionghoa di sepanjang gigir Sungai Cisadane, Tangerang. Sungguh. Saya tak pernah meresapi kebahagiaan itu. Dan anehnya, kehadiran saya serupa manekin di tempat teduh ini hanyalah merupakan kesia-siaan belaka!
Saya menggigit bibir. Airmata saya sudah bergulir. Sungguh ironi yang sangat bertolak belakang dengan kekhidmatan suasana menjelang Imlek besok. Saya ingin membendung tangis, tapi saya tidak mampu. Lara itu menguak di memori kepala saya dan membilurkan giris kenangan. Tentang nestapa masa lalu. Tentang kemiskinan dan kepedihan perjuangan hidup keluarga kami. Tentang kerasnya hari-hari yang akan terlewati tanpa Papa sebagai tiang penopang keluarga kami lagi.
"Hai, Gadis Cina Benteng!"