Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gugurnya Sang Ksatria Sejati

2 Desember 2012   14:24 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 9677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354458041901628892

[caption id="attachment_219411" align="alignleft" width="432" caption="Karna Tanding (foto: kibrewok)"][/caption]

 

Ini adalah hari ke-15 perang Baratayuda.Panah Pasopati yang dilepaskan Arjuna kini telah menancap di leher Adipati Karna. Tubuhnya telah rubuh ke tanah, tak ada kerisauan ataupun ketakutan yang ia rasakan. Karna mengerti bahwa waktunya sudah tiba.Tidak ada rasa menyesal ketika kemarin dia dengan tegas menolak bantuan Naga Ardawalika untuk melawan Arjuna.Dipandanginya seluruh medan perang Kurusetra. Matanya menatap tajam jauh ke depan, bibirnya tersungging senyuman  sebagai tanda tak ada sedikitpun dia memendam rasa dendam. Hati Karna sangat bahagia karena akhirnya bukan Arjuna yang gugur melainkan dirinya, Ibunya pasti bersedih tapi takkan sesedih bila seandainya Arjuna yang mati.

Tampak jelas Prabu Salya, mertuanya yang membungkukkan tubuh untuk memberi hormat kepadanya sekaligus permintaan maaf karena tadi telah dengan sengaja membelokkan arah Jaladra, kereta perang Karna, agar panah yang dilepaskan Karna yang semula tepat ke leher arjuna menjadi meleset sekaligus mengarahkan kepala Karna supaya panah Pasopati menjadi tepat sasaran yang tadinya meleset saat dilepaskan Arjuna.Karna berusaha menggelengkan kepalanya guna melarang tindakan ayah mertuanya itu, "Tidak Ayah, hamba banyak kesalahan padamu.Hamba telah membuat ayah malu dengan membawa kabur putrimu, lalu hamba minta Paduka menjadi kusir kereta hamba, sudah sepatutnyalah bila Paduka selama ini membenci hamba".

Dikejauhan Karna juga masih bisa melihat Sri Kresna dan wajah tampan adiknya, Arjuna. Setiap kali menatap Arjuna, Karna seperti berkaca karena postur tubuh dan wajah adiknya itu sangat mirip sekali dengannya walaupun keyakinan tentang kebenaran kalau Pandawa adalah adik-adiknya baru ia dapatkan 3 hari sebelum peperangan dimulai dari penuturan langsung Dewa Surya, ayahnya, meskipun kabar tentang persaudaraan mereka telah ia dengar bertahun-tahun lamanya sejak ia membawa lari Dewi Surtikanti untuk ia peristri.

"Om awignam asthu nama sidam", Karna mengatur napasnya yang kian memburu dengan menarik napas dalam-dalam lalu dikeluarkanya lagi secara berlahan.Pikirannya melayang terus kebelakang.Terbayang wajah ibunya. Sehari sebelum pecah perang Karna sengaja pergi ke sungai Gangga untuk menyucikan diri seperti cara penyucian terhadap orang yang telah mati. Hati kecil Karna seperti berkata bahwa ia nanti pasti akan mati dalam pertempuran. Ketika hendak melangkahkan kakinya untuk pulang dihadapannya telah berdiri Dewi Kunti dengan penuh linangan air mata dan kesedihan yang begitu dalam. Ingin sekali Karna merangkul tubuh tua itu dan mengusap seluruh air matanya seraya berkata, Ibu, biarkanlah aku yang akan menanggung seluruh derita dan kesedihanmu itu.Tapi Karna hanya diam terpaku.

"Anakku Karna, karena kesalahanku engkau terpisah dariku dan adik-adikmu. Pastinya engkau tahu apa yang sekarang bisa membuatku bahagia dan menghentikan air mataku ini. Yakni bilamana engkau bersedia untuk tidak maju perang melawan adik-adikmu.Aku ingin engkau bergabung dengan kelima adikmu melawan Hastina. Apakah engkau tidak ingin aku yang telah melahirkanmu ini bahagia, anakku ??"

Dengan perasaan berkecamuk rasa duka, Karna membungkuk mencium kaki sang ibu, "Ibunda yang hamba hormati.Selama ini hamba telah mengabdi dan bekerja pada kerajaan Hastinapura. Dari tanah dan air Hastinapura inilah hamba dan keluarga hamba telah hidup. Apalagi sekarang hamba adalah panglima perang kerajaan Hastina. Besok pagi kerajaan Hastinapura akan diserang oleh musuh, tidak mungkin bagi hamba meninggalkan Hastina dan hanya berpangku tangan melihat kehancuran Hastina. Dan lebih mustahil bagi hamba untuk membunuh prajurit-prajurit yang selama ini telah setia menemani hamba berjuang menaklukan segala rintangan.Pantang bagi hamba melanggar sumpah dan menghianati negara. Dunia akan menertawakan hamba sebagai orang yang tidak bias menjalankan darma ksatria. Perang tinggal esok hari dan hamba tidak ingin mengecewakan harapan jutaan rakyat Hastinapura yang mengandalkan hamba sebagai panglima perangnya.Hamba mengerti keadaan dimana saya harus terpisah dengan ibu dan adik-adik hamba".

"Karna, anakku.Lalu bagaimana darmamu sebagai seorang putra kepada wanita yang telah melahirkanmu?"

"Ibunda, hamba ingin Ibu bahagia karena bangga mempunyai putra yang dapat menjalankan darma sebagai ksatria".

"Anakku..., dalam perang nanti engkau akan berhadapan dengan Arjuna. Dapatkah engkau membayangkan betapa remuknya hati ibu melihat dua orang putrannya saling berhadapan di medan perang dengan tekad saling membunuh?? Dapatkah engkau bayangkan apa yang sekarang aku rasakan??"

Karna melihat semakin deras linangan air mata ibunya, hatinya begitu terharu. Dengan menguatkan hati ia berkata dengan lembut, "Ibunda, hamba memahami kepedihan hati ibu.Baratayuda adalah sarana menumpas keangkaramurkaan yang dilakukan Kurawa, setiap orang yang melangkah pada jalan darmanya harus berkorban demi ketentraman dunia. Ada yang harus mengorbankan jiwanya, istri mengorbankan suaminya, kekasih mengorbankan orang yang disayanginya, dan tidak terkecuali ibunda Dewi Kunti.Kepedihan ibu adalah pengorbanan untuk kebahagian dan kedamaian masyarakat banyak. Bila nanti Adinda Arjuna gugur, maka ia gugur sebagai pahlawan, Ibu akan bangga padanya. Demikian pula bila hamba yang tewas, ibu pun boleh merasa bangga karena hamba tewas dalam menjalankan darma ksatria dan hamba mati bukan sebagai pengkhianat negara".

Tak terasa air mata Karna meleleh dari kedua kelopak matanya, hatinya diliputi keharuan manakala Dewi Kunti dengan berkucuran air mata memeluknya, mencium ubun-ubun dan keningnya.Inilah kebahagiaan terbesar yang pernah Karna rasakan."Anakku, sejak engkau masih bayi aku telah kehilanganmu.Aku tidak bisa merawat, membesarkan dan mengasihimu.Maafkanlah ibumu ini.Biarkan aku membuatkanmu makanan dan menyuapimu barang sejenak.Restuku untukmu, anakku. Doaku untukmu, anakku...........".

Pikiran Karna terus melayang ke belakang, bukankah tadi sebelum bertemu sang ibu Sri Kresna juga telah menemuinya guna membujuknya juga.

"Adikku Karna, Baratayuda bukan perang kecil dan akan dimulai besok pagi. Akan jatuh banyak korban, berjuta wanita akan menjadi janda, berjuta ibu akan kehilangan anaknya. Ini adalah perang antara kebaikan melawan kebatilan.Membela kebenaran adalah hal mutlak yang harus dilakukan seorang ksatria sejati".

"Kakanda Kresna, saya tidak pernah membela keangkaramurkaan. Saya berperang semata-mata karena darma saya sebagai seorang prajurit dari kerajaan Hastinapura. Soal kalah atau menang itu bukan lagi hal yang penting tapi bagaimana saya menjalakan kewajiban sebagai seorang prajurit untuk menghadapi lawan-lawanya itulah yang terpenting. Bahkan saya sangat mengingikan perang ini bisa terjadi".

"Dengan adanya Dinda Karna dipihak musuh ini akan menyulitkan para Pandawa tetapi bila Dinda Karna mau berpihak pada Pandawa maka perang besar ini pasti bisa dicegah. Kurawa tentu tidak akan lagi menginginkan jalan perang karena mereka tidak punya panglima yang dapat mereka andalkan. Peperangan akan selalu membawa penderitaan bagi banyak orang, kalau bisa dicegah kenapa Adinda tidak mencegahnya?"

"Adik-adik saya Pandawa bukanlah orang yang takut akan kesulitan.Saya telah mengenal baik Kurawa satu persatu secara pribadi sejak mereka masih kecil.Tabiat mereka penuh dengan keserakahan. Bahkan Kakek Abiyasa, Maharesi Bisma, Begawan Drona, Resi Krepa, yang tinggi ilmu, wibawa dan budi pekertinya pun tidak sanggup menasehati mereka. Tidak ada cara lain untuk memberantas keangkaramurkaan tersebut selain hanya dengan meniadakan mereka dari muka bumi ini. Itulah sebabnya saya berketetapan hati membela Kurawa dan tiada hentinya saya terus membakar semangat Adinda Prabu Duryudana agar jangan pernah takut berperang agar perang besok bisa terjadi sebagaimana mestinya.Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti, sehebat-hebatnya kebatilan pasti akan hancur oleh kebaikan".

"Dinda Karna, dengan engkau sebagai panglima perang Hastina tentu nanti akan jatuh banyak korban dari kedua belah pihak??"

"Sudah menjadi hukum alam bahwa harus ada pengorbanan untuk setiap perubahan".

"Pengorbanan Dinda Karna dengan Adinda Arjuna jelas berbeda. Jika nanti Dinda Karna gugur dalam perang maka sejarah akan mencatat dinda gugur karena membela yang salah. Sedangkan bila Adinda Arjuna yang gugur maka ia akan dianggap pahlawan pembela kebenaran. Renungkanlah hal itu".

"Sebagai ksatria saya tidak boleh memperhitungkan untung dan rugi dalam menjalakan darma.Biarlah sejarah mencatat saya sebagai pembela nafsu angkara murka.Biarlah nama saya hancur dalam menjalakan darma karena nama itupun telah dan akan saya korbankan demi tegaknya kebenaran dan keadilan".

"Semoga Hyang Widi selalu memberikan berkah kepadamu, Adikku Karna......."

Berlahan Karna memejamkan matanya, napasnya semakin terasa berat.Kini terbayang olehnya wajah Dewa Surya, ayahnya.Dua hari yang lalu sebelum dia bertemu Sri Kresna dan Ibunya, Dewa Surya telah menemuinya untuk menjelaskan silsilah dirinya. Berkat penuturan ayahnyalah ia jadi tahu tentang kebenaran akan kabar angin selama ini yang mengatakan dirinya adalah putra sulung Dewi Kunti, nyata adanya.

"Anakku Karna, dari sejak lahir telah kuwariskan padamu Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan. Anting Mustika akan selalu mengingatkanmu bila ada bahaya yang mengancam. Kotang Kerei Kaswargan akan membuatmu kebal terhadap semua jenis senjata. Jangan sampai kedua pusaka tersebut lepas darimu, siapapun yang memintanya".

"Ayahanda, bilamana yang meminta adalah seorang brahmana maka akan hamba berikan walaupun jiwa hamba menjadi taruhannya".

Setelah ayahnya berlalu datanglah pada Karna seorang brahmana tua yang sebenarnya penjelmaan Batara Indra, ayah Arjuna, meminta kedua pusaka pemberian ayahnya. Tanpa menanyakan alasannya dengan ikhlas Karna menyerahkan kedua pusaka tersebut, "Jika Bapa Guru menginginkannya, akan hamba berikan. Tetapi hamba tidak mempunyai kekuatan untuk melepaskannya karena hanya dewa saja yang mampu mengambil pusaka ini dari tubuh hamba".

Dewa Indra begitu terharu dengan keikhlasan Karna.Dilepaskannya kedua pusaka tersebut dari tubuh Karna sambil berkata, "Karna, engkau sungguh berbudi luhur.Pengorbananmu sungguh tiada terkira, kelak tidaklah ada yang mengingatmu sebagai pembela angkara murka".

---------

(Ref: Ensiklopedia Wayang)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun