Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bidadariku

9 Mei 2014   06:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam 02.14 malam ketika kunyalakan kembali sebatang rokok untuk kesekian kalinya. Udara yang mulai membeku tiba-tiba pecah saat sesosok bayangan wanita perlahan mendekatiku membelah temaram sorot lampu taman. Setiap kali bertemu kau selalu tampak beda, makin cantik dan terus terlihat cantik. Blus pendek ketat berwarna biru kau percaya untuk menunjukkan setiap sudut lekuk tubuhmu pada setiap laki-laki yang akan kau temui. Mungkinkah mereka juga melakukan hal sama seperti diriku, blingsatan dan menelan ludah sendiri saat sembulan belahan dadamu begitu menantang didepanku.  Rambut hitam sebahu model blow yang kau biarkan terurai menari mengikuti irama hembusan angin malam, seakan sengaja menggodaku agar aku terus memainkan bola mata naik turun sampai ujung jempol kakimu. Aku memohon dengan sangat kepadamu untuk memaafkan keliaran mataku dan janganlah kau masukkan aku dalam daftar jenis laki-laki bajingan yang selama ini benci, ataukah memang sudah begitu kau menganggapku.

"Maaf, menunggu lama. Biasa pejabat, mentang-mentang punya duit lebih minta nambah terus...", katamu sambil memesan secangkir wedang ronde. "Paling juga duit hasil korupsi tapi lumayanlah, bisa menambah buat modal warung kelontongku nanti di kampung. Hehehe....".

Geram sekali hatiku mendengar ceritamu. Ada perasaan cemburu, tidak rela, setiap kali otakku membayangkan laki-laki bajingan tersebut bersamamu. Menghisap sari madumu dalam seringai tawa kemunafikan, bersarung peci bak malaikat di depan keluarga dan masyarakat namun diam-diam membakarmu dalam kobaran api atas nama kuasa dan uang. Sampai kapan kau akan umpankan dirimu menjadi kayu bakar demi nyala api jahanam tersebut ?

"Nanti kalau aku sudah bisa membuka warung kelontong di kampung. Apalagi adikku paling kecil tinggal setahun lagi lulus SMA...".

Dengan apa yang telah kau lakukan kini, kau bisa menyekolahkan adik-adikmu. Kau sudah bisa memperbaiki rumah yang sebenarnya lebih tepat disebut gubug, sehingga kini pantas untuk dihuni. Kau mampu membayar semua hutang-hutang ibumu pada Haji Saiful yang digunakan untuk biaya rumah sakit almarhum bapakmu. Bahkan ketika ibumu yang entah mengapa tidak bisa masuk daftar Jamkesmas harus operasi orthopedi, kau sanggup membayar semua biayanya. Kau sungguh menganggumkan bagiku sebab dibalik kemolekan tubuh mulusmu aku melihat kerangka baja didalamnya.

"Oiya, Ndi. Kamu besok ada acara nggak ? Anterin aku pesen tiket kereta ya, tapi nanti pulangnya mampir belanja dulu terus sekalian ke salon juga. Bisa nggak...?", pintamu padaku. "Eh, enggak-enggak. Aku ke salonnya sendiri aja, kasihan kamu kalau nanti harus nungguin lama. Cowok kan paling gensi kalau harus duduk bengong di salon, takut dibilang kambing congek ma temen-temennya...".

Permintaanmu terlalu mudah bagiku. Ingin sekali aku katakan padamu kalau dari dulu aku sudah menunggumu. Menunggu kau buka pintu hatimu dan memberiku kesempatan menggandeng tanganmu untuk menunjukkan jalan pulang ke rumah kita. Rumah kita adalah waktu lampau di kampung saat kita ke mushola bersama, belajar ngaji bersama, bahkan mencari rumput untuk kambing-kambing kita pun  bersama. Kita mungkin hanya orang kampung yang tidak terlahir kaya namun aku punya mimpi kecil yang ingin kubagi denganmu. Surga sederhana yang aku bangun dari cinta dan rasa saling menerima.

"Minggu depan acara seribu harian bapak. Aku ingin pulang. Aku ingin nyekar ke makam bapak. Aku bukan anak yang baik, di sana bapak pasti sangat kecewa bahkan mungkin tak sudi menganggapku anak lagi...", suaramu berat dan tercekik. Tak bisa kau tahan lagi, kini semua sudah tumpah membasahi pipimu. Ketegaran yang selama ini kau tunjukkan seakan lenyap, hanyut terbawa banjir bandang air matamu.

Kurangkulkan tanganku pada pundaknya untuk memberikan bahuku buat sandaran kepalamu. Tiba-tiba aku rasakan tubuhnya menggigil kedinginan, kesedihan yang kini kau rasakan telah membuatmu ragamu rapuh. Aku lepaskan jaketku dan kututupkan pada punggungnya. Kenapa sih, kau selalu keras kepala dan tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Bawa jaket...! Bawa jaket...! Siapa yang akan mengurusmu kalau nanti kau sakit ? Betapa khawatirnya ibu dan adik-adikmu di kampung bila mendengar keadaanmu !

"Ndi, seandainya nanti semua orang merasa jijik dan menjauhiku, kamu masih mau berteman denganku kan...?".

Aih, kenapa mendadak kau menjadi sentimentil begini ? Tidak kutemukan alasan untukku meninggalkan dirimu dalam kesendirian. Kau adalah bidadari yang selama ini hanya aku dengar dari dongeng. Kaulah malaikat itu, kaulah ibu peri yang bertabur gemerlap kasih sayang. Kau mungkin bukan wanita baik-baik tapi kau adalah wanita baik. Terlalu kejam bayangan yang kau ciptakan, sekejam apa yang mereka lakukan padamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun