Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Bidadariku

9 Mei 2014   06:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dia tidak perlu kaya atau tampan. Cukup bertanggungjawab, kerja berapapun hasilnya, sayang pada keluargaku, itu sudah lebih dari cukup bagiku...".

Kamu cantik, bahkan sangat cantik kalau menurutku. Tubuhmu seksi dan penampilanmu sangat menawan. Apapun model pakaian yang kamu kenakan, semua nampak pantas dan pas dengan lekukan badanmu, bahkan aku sangat yakin kalau takkan ada pria yang mampu menemukan cela untuk mengkritikmu.

"Aku punya banyak kekurangan, sangat tidak adil bila aku harus menuntut kesempurnaan pada calon suamiku. Bisa mendapatkan yang seperti itu saja, anugerah yang luar biasa bagiku..".

Banyak laki-laki yang mendekatimu. Silih berganti mereka datang mengajakmu dalam baris antrian, mulai dari pejabat, pengusaha, karyawan biasa, dan bahkan kuli bangunan. Hanya untuk bisa berlama-lama kau temani, tidak segan mereka menghabiskan semua isi dompetnya untuk menuruti semua permintaanmu. Masa iya tidak ada satupun dari mereka yang melamarmu ?

"Ada. Banyak malahan, tapi aku tolak semua...".

Kenapa...?!

"Karena aku tahu mana laki-laki baik dan laki-laki bajingan...!", lanjutmu sambil menghisap rokok. Ada yang meleleh dikelopak matamu. Tiba-tiba kau alihkan pandanganmu pada lampu trotoar diseberang jalan. Sorotan matamu begitu tajam namun entah mengapa aku merasakan kehampaan pada tatapannya. Putus asa akan sebuah harapan yang tidak kunjung kau temukan.

"Aku hanyalah sampah, dan selamanya tetap dianggap sampah...", katamu sambil beranjak dari bangku taman saat taksi yang tadi kau pesan sudah datang. Kau masih berdiri di depan pintu ketika ku ulurkan sebungkus Marlboro menthol. "Makasih ya udah ditemenin ngobrol, besok kau tunggu disini lagi kan...?.

Aku mengangguk. Jantungku selalu berdetak lebih kencang setiap kali mendengar permintaamu. Pasti, pasti dengan senang aku akan menemanimu menunggu taksi disini. Menghabiskan waktu dengan obrolan kaku sambil ditemani hangat wedang ronde dan Marlboro mentol kesukaanmu. Kau adalah bidadari. Kau tidak pernah marah atau mencoba mengalihkan pembicaraan bila kubertanya hal-hal terdalam tentang hidupmu. Lebih dari itu, aku bahkan tidak menemukan ekspresi jemu dari air mukanya kala mendengar semua celotehanku yang tidak lucu ataupun romantis.

Kau tersenyum ketika kututupkan pintu untukmu. Ada perasaan tidak rela saat suara mesin mulai terdengar menderu. Ingin sekali rasanya kubuka kembali dan kutarik kau keluar untuk terus duduk di bangku taman menemaniku. Tidak, aku tidak boleh melakukannya. Kutengok arlojiku, sudah dini hari, kamu tentu sangat capek dan ingin segera sampai ke kontrakan untuk beristirahat.

--- --- ---

Jam 02.14 malam ketika kunyalakan kembali sebatang rokok untuk kesekian kalinya. Udara yang mulai membeku tiba-tiba pecah saat sesosok bayangan wanita perlahan mendekatiku membelah temaram sorot lampu taman. Setiap kali bertemu kau selalu tampak beda, makin cantik dan terus terlihat cantik. Blus pendek ketat berwarna biru kau percaya untuk menunjukkan setiap sudut lekuk tubuhmu pada setiap laki-laki yang akan kau temui. Mungkinkah mereka juga melakukan hal sama seperti diriku, blingsatan dan menelan ludah sendiri saat sembulan belahan dadamu begitu menantang didepanku.  Rambut hitam sebahu model blow yang kau biarkan terurai menari mengikuti irama hembusan angin malam, seakan sengaja menggodaku agar aku terus memainkan bola mata naik turun sampai ujung jempol kakimu. Aku memohon dengan sangat kepadamu untuk memaafkan keliaran mataku dan janganlah kau masukkan aku dalam daftar jenis laki-laki bajingan yang selama ini benci, ataukah memang sudah begitu kau menganggapku.

"Maaf, menunggu lama. Biasa pejabat, mentang-mentang punya duit lebih minta nambah terus...", katamu sambil memesan secangkir wedang ronde. "Paling juga duit hasil korupsi tapi lumayanlah, bisa menambah buat modal warung kelontongku nanti di kampung. Hehehe....".

Geram sekali hatiku mendengar ceritamu. Ada perasaan cemburu, tidak rela, setiap kali otakku membayangkan laki-laki bajingan tersebut bersamamu. Menghisap sari madumu dalam seringai tawa kemunafikan, bersarung peci bak malaikat di depan keluarga dan masyarakat namun diam-diam membakarmu dalam kobaran api atas nama kuasa dan uang. Sampai kapan kau akan umpankan dirimu menjadi kayu bakar demi nyala api jahanam tersebut ?

"Nanti kalau aku sudah bisa membuka warung kelontong di kampung. Apalagi adikku paling kecil tinggal setahun lagi lulus SMA...".

Dengan apa yang telah kau lakukan kini, kau bisa menyekolahkan adik-adikmu. Kau sudah bisa memperbaiki rumah yang sebenarnya lebih tepat disebut gubug, sehingga kini pantas untuk dihuni. Kau mampu membayar semua hutang-hutang ibumu pada Haji Saiful yang digunakan untuk biaya rumah sakit almarhum bapakmu. Bahkan ketika ibumu yang entah mengapa tidak bisa masuk daftar Jamkesmas harus operasi orthopedi, kau sanggup membayar semua biayanya. Kau sungguh menganggumkan bagiku sebab dibalik kemolekan tubuh mulusmu aku melihat kerangka baja didalamnya.

"Oiya, Ndi. Kamu besok ada acara nggak ? Anterin aku pesen tiket kereta ya, tapi nanti pulangnya mampir belanja dulu terus sekalian ke salon juga. Bisa nggak...?", pintamu padaku. "Eh, enggak-enggak. Aku ke salonnya sendiri aja, kasihan kamu kalau nanti harus nungguin lama. Cowok kan paling gensi kalau harus duduk bengong di salon, takut dibilang kambing congek ma temen-temennya...".

Permintaanmu terlalu mudah bagiku. Ingin sekali aku katakan padamu kalau dari dulu aku sudah menunggumu. Menunggu kau buka pintu hatimu dan memberiku kesempatan menggandeng tanganmu untuk menunjukkan jalan pulang ke rumah kita. Rumah kita adalah waktu lampau di kampung saat kita ke mushola bersama, belajar ngaji bersama, bahkan mencari rumput untuk kambing-kambing kita pun  bersama. Kita mungkin hanya orang kampung yang tidak terlahir kaya namun aku punya mimpi kecil yang ingin kubagi denganmu. Surga sederhana yang aku bangun dari cinta dan rasa saling menerima.

"Minggu depan acara seribu harian bapak. Aku ingin pulang. Aku ingin nyekar ke makam bapak. Aku bukan anak yang baik, di sana bapak pasti sangat kecewa bahkan mungkin tak sudi menganggapku anak lagi...", suaramu berat dan tercekik. Tak bisa kau tahan lagi, kini semua sudah tumpah membasahi pipimu. Ketegaran yang selama ini kau tunjukkan seakan lenyap, hanyut terbawa banjir bandang air matamu.

Kurangkulkan tanganku pada pundaknya untuk memberikan bahuku buat sandaran kepalamu. Tiba-tiba aku rasakan tubuhnya menggigil kedinginan, kesedihan yang kini kau rasakan telah membuatmu ragamu rapuh. Aku lepaskan jaketku dan kututupkan pada punggungnya. Kenapa sih, kau selalu keras kepala dan tidak pernah mau mendengar kata-kataku. Bawa jaket...! Bawa jaket...! Siapa yang akan mengurusmu kalau nanti kau sakit ? Betapa khawatirnya ibu dan adik-adikmu di kampung bila mendengar keadaanmu !

"Ndi, seandainya nanti semua orang merasa jijik dan menjauhiku, kamu masih mau berteman denganku kan...?".

Aih, kenapa mendadak kau menjadi sentimentil begini ? Tidak kutemukan alasan untukku meninggalkan dirimu dalam kesendirian. Kau adalah bidadari yang selama ini hanya aku dengar dari dongeng. Kaulah malaikat itu, kaulah ibu peri yang bertabur gemerlap kasih sayang. Kau mungkin bukan wanita baik-baik tapi kau adalah wanita baik. Terlalu kejam bayangan yang kau ciptakan, sekejam apa yang mereka lakukan padamu.

Kau bukannya tidak berusaha. Aku tahu kau telah berusaha semampu jiwa dan tenagamu. Bukan jalan ini yang sebenarnya ingi kau tapaki. Namun aku juga tidak akan melupakan bagaimana mereka terus menabur kerikil tajam untuk setiap langkahmu. Mereka yang tidak pernah berhenti memblokade setiap jalan barumu. Masa lalu yang takkan mungkin kau hapus telah menjadi alasan kenapa kelompok ibu-ibu alim menolakmu bergabung dalam kegiatannya. Warga yang mencaci dan mengusirmu. Sungguh perlakuan yang tidak pantas diterima untuk bidadari sepertimu. Aku juga bisa merasakan sakit di hatimu saat kau dipecat dari pekerjaan yang baru dua bulan kau dapatkan hanya karena kau menolak rayuan binal manager kantormu. Bahkan sayatan perih bak teriris silet masih terasa perih di ujung nadiku kala wajah ayumu tegak menantang siraman ludah karena penolakanmu terhadap tawaran mesum kepala trantib untuk imbalan pembebasanmu.

--- --- ---

Ketika hidup menawarkan beragam pilhan, aku tahu bukan hidup seperti ini yang sebenarnya kau inginkan. Lalu di mana aku selama ini ? Aku sungguh laki-laki tak berguna yang hanya bisa menyesali keadaan karena tidak berdaya memutar kembali waktu yang telah melaju begitu cepat membawamu pergi dari sisiku.

Kuseka air mataku. Aku bukan laki-laki tegar dan tidak akan pernah berpura-pura menjadi tegar karena aku memang tidak sekuat dirimu menapaki naik turun jalan kehidupan. Sekarang kau pasti sedang menertawaiku karena masih terus saja menangis. Ya, inilah diriku. Laki-laki lemah yang tidak pernah punya kuasa dan kekuatan untuk menarikmu dari sudut gelap dunia dan karena ketidakberdayaan ini pula akhirnya kini kau pergi meninggalkanku untuk selamanya. Sampai detik dimana kau tidak mungkin kembali lagi, aku bahkan belum melamar dirimu jadi teman hidupku.

Tidak ada alasan untuk diriku menyesal, toh segala sesuatu telah jelas sekarang. Akulah sebenarnya laki-laki bajingan yang selama ini kau benci. Akulah laki-laki itu. Cinta tulus macam apa yang ada padaku untukmu kalau aku selama ini masih saja berkutat dalam lingkaran rasa pertimbangan ? Cinta putih macam apa ? Cinta sejati bagaimana yang hendak aku ceritakan kalau akhirnya hari ini dunia menyaksikan kegagalanku menjadi pelindung bagi bidadari cantikku ? Akulah sang pecundang yang terbelenggu dalam rantai kegagalan.

Ini adalah hari yang sangat kau nantikan. Para tetangga berkumpul di rumahmu, bukan untuk memperingati seribu hari meninggalnya bapakmu. Hari ini adalah hari pemakamanmu. Kericuhan semalam telah menghentikan jalinan cerita hidupmu. Tuhan, mengapa ini yang Kau lakukan padanya ? Di kala segelintir laki-laki menjauhi-Mu dan menjadi pemuja kecantikan bidadariku, mengapa Engkau begitu cepat merasa cemburu sampai harus memerintahkan para penjaga-Mu mengangkat pentungan dan membakarnya ? Berbatas apakah pesona kecantikan ciptaan-Mu hingga mereka takut Kau akan kalah bersaing dengannya ? Ah, mungkinkah dia bidadariku dan juga bidadari-Mu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun