Lahirnya UU Omnibus Law
Sejak dua hari lalu kita masyarakat Indonesia dipertontonkan peristiwa "pemberontakan" kaum buruh, mahasiswa, pelajar, masyarakat dan kaum intelektual dalam memperjuangkan untuk dibatalkannya RUU Omnibus Law  yang telah disahkan oleh DPR untuk  menjadi undang-undang  dalam Rapat Paripurna hari Senin tanggal 5 Oktober 2020.  UU ini disebut sebagai UU sapu jagad yang terdiri dari  15 bab, 186 pasal yang termaktub dalam 905 halaman, demi mengatur berbagai aspek yang digabungkan  menjadi satu perundang-undangan.
UU ini setidaknya memuat 11 aspek atau substansi, seperti penyederhanaan  perizinan, persyaratan  investasi, pemberdayaan  dan perlindungan UMKM, ketenagakerjaan, daerah, kawasan ekonomi khusus, kemudahan berusaha, pengadaan lahan, investasi dan proyek  pemerintah, administrasi  pemerintahan hingga perpajakan. UU ini juga mengatur 76 UU dan lebih dari 1500 pasal.
Niat mulia tersebut tidak melulu dapat diterima dengan baik, dan setelah beberapa saat disahkan DPR sudah mendapat penolakan keras dari masyarakat akademisi, buruh dan sejumlah elemen masyarakat lainnya. Beberapa catatan penting yang disampaikan  antara lain berkaitan dengan masalah prosedur perencanaan dan pembentukan yang tidak sejalan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.
Kemudian adanya  peraturan pelaksanaan yang berjumlah 500-an lebih yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan eksekutif yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan. Selain itu, UU ini juga dianggap sebgai UU superior yang  dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum. Belum lagi masalah pemenuhan hak atas pekerjaan  dan penghidupan  yang layak bagi  setiap masyarakat, pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan ketimpangan akses serta kepemilikan sumber daya alam.
Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan tidak saja melalui media  tapi juga dengan turun langsung ke jalan dengan aksi demonstrasi.  Aksi ini mendesak DPR  dan Pemerintah untuk membatalkan RUU Omnibus Law yang sudah disetujui DPR. Karena dalam ketatanegaraan Indonesia, sebuah RUU yang sudah disetujui DPR ada jangka waktu satu bulan untuk selanjutnya disahkan oleh  Presiden. Sedangkan pihak yang menyetujui UU Omnibus Law berdasarkan berita-berita dari media lebih banyak berasal dari kalangan pemerintah  dan pengusaha.
Bagi  masyarakat yang pro pemerintah dan pengusaha, menganggap aspirasi jalanan berupa demonstrasi yang dilakukan oleh buruh, mahasiswa dan pelajar  seringkali dipandang rendah dan murahan. Sebagai contoh dapat kita lihat pada liputan media televisi beberapa kali  terdapat tayangan dari pernyataan politisi pendukung pemerintah yang pernyataan-pernyataannya terkesan merendahkan aksi demontrasi di jalanan.
Dalam kesempatan ini perlu kita analisa mengapa rakyat melakukan demonstrasi di jalan untuk menentang UU Omnbus Law dan mengapa pejabat yang sudah nyaman pada jabatannya kemudian menetangnya.
2. Ketidaksetaraan Politik
Aksi-aksi demontrasi  di jalan dalam menentang kebijakan pemerintah atau penguasa memang sering kali  dianggap tak seilmiah aspirasi yang disampaikan di kampus-kampus, tak sejernih aspirasi yang muncul di media, dan tak seelegan aspirasi yang diungkapkan di ruang-ruang rapat atau pertemuan dengan pejabat. Pandangan inilah yang mengisi kepala banyak pejabat pemerintah saat ini. Hal ini terbukti dengan banyaknya pernyataan menteri  dan pejabat pemerintah lainnya yang  mengimbau agar buruh, mahasiswa dan pelajar  untuk tidak turun ke jalan dalam menyikapi  masalah UU Omnibus Law.
Pandangan-pandangan minor tentang demontrasi di jalan tersebut bisa dijustifikasi dengan beberapa alasan. Misalnya, bahwa aspirasi jalanan mengganggu ketertiban, seringkali membuat kerusakan, dan tak jarang juga berakhir dengan baku hantam yang memakan korban, dan  juga para demonstran yang mengalami luka akibat penyiksaan. Namun, apa pun alasannya, pandangan merendahkan terhadap aspirasi jalanan itu sejatinya menyembunyikan satu kecenderungan ideologis, yaitu menciptakan ketidaksetaraan.
Ketika pintu aspirasi hanya dibuka di kampus, di media, dan di pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dengan para pejabat, misalnya, atau bahkan  memang ditutupnya ruang diskusi ditempat tersebut karena soal waktu dan lain sebagainya, maka pada saat itulah terjadi proses penciptaan ketidaksetaraan secara struktural. Sebab tidak semua orang punya kesempatan masuk kampus; tak semua orang bisa menulis atau tampil di media; juga tak semua orang bisa hadir di acara pertemuan atau rapat-rapat dengan para pejabat. Satu-satunya ruang yang memungkinkan semua orang, secara sama dan setara, untuk menyampaikan aspirasinya adalah demonstrasi di jalanan.
Dalam demonstrasi di jalanan, orang  tidak menemukan  hierarki antara individu dengan indvidu lainnya. Bahkan antara mahasiswa dan pelajar SMA dan STM-pun  punya posisi sama. Demikian juga dengan para aktivis yang sudah tua yang juga hadir dalam  demonstrasi jalanan tersebut. Jika pun ada beberapa orang yang tampil di atas truk atau pangung untuk berorasi, itu hanya soal pembagian peran, bukan penegasan sebuah hierarki. Bahkan, dalam demonstrasi dan penyampaian aspirasi juga dapat disampaikan dengan beragam cara, tanpa harus terbebani oleh norma kelembagaan yang kadang memaksa kita untuk berpura-pura.
Begitu berkesannya demontrasi di jalanan, sehingga membuat seorang filsuf, Henri Lefebvre  menuliskan kalimat tegas  bahwa "peristiwa-peristiwa revolusioner biasanya terjadi di jalanan". Pernyataan tersebut memang terbukti, bahwa  dengan  peristiwa yang terjadi di tahun 1966 yang menggulingkan Orde Lama dan peristiwa Tahun 1998 dengan Gerakan Reformasi-nya. Kedua peristiwa ini jelas telah  merubah tatanan kenegaraan di Indonesia. Dengan peristiwa-peristiwa ini sehingga pantaslah kita menyebut bahwa  demontrasi di jalanan merupakan tempat untuk terjadinya kegiatan politik.
3. Demokrasi Jalanan
Seorang filsuf yang berasal dari Perancis, Jacques Rancire, memberikan penjelasan, bahwa  trajektori  utama filsafat Rancire bermula dari pembedaan antara politik dengan apa yang biasa kita sebut 'politik' yang secara pejoratif oleh Jacques Rancire disebut dengan istilah 'tatanan' (police) atau 'penataan' (policing). Jika yang pertama memungkinkan demokrasi yang sebenarnya, yang oleh  Todd May  disebut  sebagai 'politik demokratik',  maka yang kedua hanyalah sebuah prosedur untuk memperoleh persetujuan banyak orang, untuk mengatur kekuasaan, dan untuk membagi-bagikan jabatan serta peran. Dengan kata lain, 'politik' sebagai tatanan atau penataan tak lebih dari sekadar demokrasi prosedural.
Dalam 'politik' sebagai tatanan, kita selalu menemukan sebuah hierarki, dan politik dalam pengertian Rancire tidak ada di sana. Bahkan Rancire sendiri menyatakan bahwa "politik tidak selalu terjadi, dan ia benar-benar sangat jarang terjadi". Politik itu terjadi hanya ketika sebuah tatanan yang menciptakan hierarki diinterupsi oleh sebuah  kesetaraan. Dengan kata lain, kehadiran politik sebagai  kesetaraan merupakan gangguan bagi tatanan, bagi mekanisme penataan yang membagi-bagi peran dan jabatan secara hierarkis.
Di sinilah antagonisme dimulai  antara politik sebagai kesetaraan (la politique) dengan politik sebagai tatanan (la police). Oleh Rancire, dikatakan bahwa politik sebagai mekanisme penataan selalu menyisakan orang-orang yang tak dihitung, dan yang tak dianggap penting, di dalam tatanan. Rancire, menyebut mereka sebagai orang yang "tidak punya bagian di dalam apa pun". Mereka inilah demos, rakyat kebanyakan, yang sebenarnya merupakan bagian dari tatanan sosial, tapi karena efek penataan, mereka kehilangan bagiannya di dalam tatanan dan perannya tak diperhitungkan. Karenanya, mereka juga disebut sebagai "bagian yang tidak punya bagian" (le part sans-part) atau "yang-keliru" (le tort) dalam arti: yang-keliru-diperhitungkan.
Kita semua, sebagai warga negara, pada dasarnya memiliki hak yang sama dan setara untuk memilih ataupun dipilih menjadi pemerintah. Namun, karena kesetaraan itu dilembagakan, maka kita seringkali terbentur pada aturan-aturan kelembagaan untuk memanfaatkan hak-hak kita yang setara. Hanya orang-orang yang punya privilese tertentu yang dapat bertemu penguasa-penguasa negara untuk menyampaikan langsung aspirasinya, yang dapat masuk kampus dan berdialog dengan pemerintah, atau yang dapat tampil di media dan memberikan kritik pada penguasa.
Rakyat kebanyakan, yaitu para  buruh, pedagang kecil, petani kecil, tuna wisma dan seluruh kelas bawah lainnya, tidak punya privilese itu. Meskipun secara tertulis mereka dianggap setara dengan warga negara lainnya, tapi secara politik mereka adalah bagian yang tidak punya bagian, pihak yang disalahperhitungkan, di dalam tatanan. Mereka tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan undang-undang.
Di dalam bentuk pemerintahan demokrasi liberal, dan Indonesia bisa dijadikan sebagai contoh, maka jalanan adalah satu-satunya media yang dapat memungkinkan politik Rancireian diwujudkan, politik yang dapat mengganggu dan menginterupsi tatanan yang melestarikan ketidaksetaraan. Di jalanan, kesetaraan hadir dalam bentuknya yang radikal: "kesetaraan setiap orang dengan semua orang". Setiap orang dapat mengekspresikan kesetaraannya dengan orang lain melalui caranya masing-masing, misalnya dengan mengucap dan membentangkan poster secara bebas dan dengan bahasanya masing-masing.
Kasus  yang terjadi berkaitan dengan lahirnya UU Omnubus Law seakan membenarkan apa yang  dikatakan oleh Jacques Rancire, bahwa rakyat kecil tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam pembuatan kebijakan yang  dibuat  oleh penguasa karena memang aksesnya yang tidak mereka miliki. Jadi jangan disalahkan dan jangan dilarang jika rakyat, buruh, petani dan pedagang kecil melakukan demonstrasi di jalan guna mencari keadilan. Jangan pula mengatas namakan Pancasila kemudian melarang orang untuk melakukan demonstrasi di jalan sebagaimana yang pernah diucapkan seorang pejabat saat ramainya aksi demo menjelang pengumuman hasil Pemilu 2019 oleh KPU.
Rakyat kecil selalu menjadi obyek  dalam setiap kebijakan, dan oleh karena itu sangat tidak bijak apabila banyak pernyataan-pernyataan dari para pejabat pemerintah atau  penguasa  yang 'menuduh' bahwa para demonstran melakukan aksinya karena belum membaca UU yang disahkan DPR tersebut. Pernyataan ini seakan menjustifikasi bahwa rakyat kecil memang orang bodoh dan tidak paham maksud dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan. Namun sebagai penulis, mungkin bisa bertanya, kalau rakyatnya bodoh apakah pemimpinnya dapat dikatakan pintar jika tidak mampu   untuk mengajarkan rakyatnya menjadi pintar. (FY/09/10/2020)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI