Ketika pintu aspirasi hanya dibuka di kampus, di media, dan di pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dengan para pejabat, misalnya, atau bahkan  memang ditutupnya ruang diskusi ditempat tersebut karena soal waktu dan lain sebagainya, maka pada saat itulah terjadi proses penciptaan ketidaksetaraan secara struktural. Sebab tidak semua orang punya kesempatan masuk kampus; tak semua orang bisa menulis atau tampil di media; juga tak semua orang bisa hadir di acara pertemuan atau rapat-rapat dengan para pejabat. Satu-satunya ruang yang memungkinkan semua orang, secara sama dan setara, untuk menyampaikan aspirasinya adalah demonstrasi di jalanan.
Dalam demonstrasi di jalanan, orang  tidak menemukan  hierarki antara individu dengan indvidu lainnya. Bahkan antara mahasiswa dan pelajar SMA dan STM-pun  punya posisi sama. Demikian juga dengan para aktivis yang sudah tua yang juga hadir dalam  demonstrasi jalanan tersebut. Jika pun ada beberapa orang yang tampil di atas truk atau pangung untuk berorasi, itu hanya soal pembagian peran, bukan penegasan sebuah hierarki. Bahkan, dalam demonstrasi dan penyampaian aspirasi juga dapat disampaikan dengan beragam cara, tanpa harus terbebani oleh norma kelembagaan yang kadang memaksa kita untuk berpura-pura.
Begitu berkesannya demontrasi di jalanan, sehingga membuat seorang filsuf, Henri Lefebvre  menuliskan kalimat tegas  bahwa "peristiwa-peristiwa revolusioner biasanya terjadi di jalanan". Pernyataan tersebut memang terbukti, bahwa  dengan  peristiwa yang terjadi di tahun 1966 yang menggulingkan Orde Lama dan peristiwa Tahun 1998 dengan Gerakan Reformasi-nya. Kedua peristiwa ini jelas telah  merubah tatanan kenegaraan di Indonesia. Dengan peristiwa-peristiwa ini sehingga pantaslah kita menyebut bahwa  demontrasi di jalanan merupakan tempat untuk terjadinya kegiatan politik.
3. Demokrasi Jalanan
Seorang filsuf yang berasal dari Perancis, Jacques Rancire, memberikan penjelasan, bahwa  trajektori  utama filsafat Rancire bermula dari pembedaan antara politik dengan apa yang biasa kita sebut 'politik' yang secara pejoratif oleh Jacques Rancire disebut dengan istilah 'tatanan' (police) atau 'penataan' (policing). Jika yang pertama memungkinkan demokrasi yang sebenarnya, yang oleh  Todd May  disebut  sebagai 'politik demokratik',  maka yang kedua hanyalah sebuah prosedur untuk memperoleh persetujuan banyak orang, untuk mengatur kekuasaan, dan untuk membagi-bagikan jabatan serta peran. Dengan kata lain, 'politik' sebagai tatanan atau penataan tak lebih dari sekadar demokrasi prosedural.
Dalam 'politik' sebagai tatanan, kita selalu menemukan sebuah hierarki, dan politik dalam pengertian Rancire tidak ada di sana. Bahkan Rancire sendiri menyatakan bahwa "politik tidak selalu terjadi, dan ia benar-benar sangat jarang terjadi". Politik itu terjadi hanya ketika sebuah tatanan yang menciptakan hierarki diinterupsi oleh sebuah  kesetaraan. Dengan kata lain, kehadiran politik sebagai  kesetaraan merupakan gangguan bagi tatanan, bagi mekanisme penataan yang membagi-bagi peran dan jabatan secara hierarkis.
Di sinilah antagonisme dimulai  antara politik sebagai kesetaraan (la politique) dengan politik sebagai tatanan (la police). Oleh Rancire, dikatakan bahwa politik sebagai mekanisme penataan selalu menyisakan orang-orang yang tak dihitung, dan yang tak dianggap penting, di dalam tatanan. Rancire, menyebut mereka sebagai orang yang "tidak punya bagian di dalam apa pun". Mereka inilah demos, rakyat kebanyakan, yang sebenarnya merupakan bagian dari tatanan sosial, tapi karena efek penataan, mereka kehilangan bagiannya di dalam tatanan dan perannya tak diperhitungkan. Karenanya, mereka juga disebut sebagai "bagian yang tidak punya bagian" (le part sans-part) atau "yang-keliru" (le tort) dalam arti: yang-keliru-diperhitungkan.
Kita semua, sebagai warga negara, pada dasarnya memiliki hak yang sama dan setara untuk memilih ataupun dipilih menjadi pemerintah. Namun, karena kesetaraan itu dilembagakan, maka kita seringkali terbentur pada aturan-aturan kelembagaan untuk memanfaatkan hak-hak kita yang setara. Hanya orang-orang yang punya privilese tertentu yang dapat bertemu penguasa-penguasa negara untuk menyampaikan langsung aspirasinya, yang dapat masuk kampus dan berdialog dengan pemerintah, atau yang dapat tampil di media dan memberikan kritik pada penguasa.
Rakyat kebanyakan, yaitu para  buruh, pedagang kecil, petani kecil, tuna wisma dan seluruh kelas bawah lainnya, tidak punya privilese itu. Meskipun secara tertulis mereka dianggap setara dengan warga negara lainnya, tapi secara politik mereka adalah bagian yang tidak punya bagian, pihak yang disalahperhitungkan, di dalam tatanan. Mereka tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan undang-undang.
Di dalam bentuk pemerintahan demokrasi liberal, dan Indonesia bisa dijadikan sebagai contoh, maka jalanan adalah satu-satunya media yang dapat memungkinkan politik Rancireian diwujudkan, politik yang dapat mengganggu dan menginterupsi tatanan yang melestarikan ketidaksetaraan. Di jalanan, kesetaraan hadir dalam bentuknya yang radikal: "kesetaraan setiap orang dengan semua orang". Setiap orang dapat mengekspresikan kesetaraannya dengan orang lain melalui caranya masing-masing, misalnya dengan mengucap dan membentangkan poster secara bebas dan dengan bahasanya masing-masing.
Kasus  yang terjadi berkaitan dengan lahirnya UU Omnubus Law seakan membenarkan apa yang  dikatakan oleh Jacques Rancire, bahwa rakyat kecil tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam pembuatan kebijakan yang  dibuat  oleh penguasa karena memang aksesnya yang tidak mereka miliki. Jadi jangan disalahkan dan jangan dilarang jika rakyat, buruh, petani dan pedagang kecil melakukan demonstrasi di jalan guna mencari keadilan. Jangan pula mengatas namakan Pancasila kemudian melarang orang untuk melakukan demonstrasi di jalan sebagaimana yang pernah diucapkan seorang pejabat saat ramainya aksi demo menjelang pengumuman hasil Pemilu 2019 oleh KPU.