Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Mana Peran Negara untuk Rumah Rakyat?

13 Juni 2020   20:45 Diperbarui: 13 Juni 2020   21:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

1.  Latar Belakang

Masalah pemenuhan perumahan oleh negara  kepada rakyat tercantum dalam   Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 28 H ayat 1.  Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal yang sama juga terdapat dalam  The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005. Keduanya menekankan tentang adanya kewajiban Pemerintah untuk pemenuhan tempat tinggal bagi rakyatnya.

Untuk memenuhi ketentuan dalam Pembukaan UUD dan Pasal UUD 45 serta konvensi internasional tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabunan Perumahan Rakyat (Tapera), dan UU tersebut   disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 Maret 2016.  Kemudian, tanggal 20 Mei 2020 lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

Dalam pasal  5 PP No.25 Tahun 2020 dijelaskan  bahwa mereka yang berpenghasilan paling sedikit sebesar UMR wajib menjadi peserta, dan peserta yang wajib membayar iuran Tapera adalah mereka yang telah berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah saat mendaftar

Dalam Pasal 7 di PP 25 Tahun 2020 itu juga memuat ketentuan bahwa Pemerintah bakal memotong gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri, pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), dan Pegawai Swasta. Namun demikian, khusus untuk ASN, aturan ini berlaku mulai Januari 2021. Di tahap kedua, pekerja BUMN dan TNI-Polri wajib membayar iuran. Tahap ketiga, pekerja swasta, mandiri, hingga pekerja sektor informal akan menjadi sasaran.

Kepesertaan di   Tapera akan berakhir setelah pekerja pensiun  dan setelah itu dana simpanan dapat dicairkan. Besaran simpanan ditetapkan sebesar 3 (tiga) persen dari gaji atau upah peserta. Bagi peserta pekerja, maka iuran ditanggung bersama pemberi kerja atau perusahaan sebesar 0,5 persen. Sehingga, pekerja akan membayar 2,5 persen yang diperoleh dari pemotongan gaji.

Iuran Tapera akan dimanfaatkan dalam tiga hal, yakni pemupukan, pemanfaatan, dan dana cadangan. Untuk pemupukan, Badan Penyelenggara Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) akan menginvestasikan dana iuran ke sejumlah instrumen dengan skema kontrak investasi kolektif (KIK). Dana Tapera akan dikelola   dengan model kontrak investasi. Simpanan peserta akan diinvestasikan di pasar modal maupun pasar uang dengan pola kontrak investasi. 

2. Analisis dan Kritik 

Kebijakan pemeritah soal Tapera terutama sejak lahirnya PP No. 25 Tahun 2020, mendapat protes keras dari kalangan pengusaha dan masyarakat, karena kebijakan ini dianggap semakin menambah beban pengeluaran jaminan sosial  oleh para pengusaha terlebih saat terjadi pandemik Covid-19 saat ini.

Hal   lain yang juga wajib dibayarkan bekaitan dengan jaminan sosial pekerja diantaranya BPJS Ketenagakerjaan; BPJS Kesehatan, dan lain-lain, yang menurut Kamar Dagang dan Industri Nasional (KADIN) yang dikutip oleh Harian Kontan, 6 Juni 2020, besarannya mencapai 10 - 12 persen dari gaji pekerja.  Bahkan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) dan Indonesia Property Watch (IPW) menolak kebijakan ini dan menegaskan bahwa Pemerintah tidak sepenuhnya mendengar aspirasi pengusaha dan pihak yang terkait  lainnya.

            Berikut ini  data kewajiban pengeluaran yang harus dipenuhi  oleh pengusaha dan pekerja, sebagai berikut :

Tabel 1 :  Prosentasi Kewajiban Pemberi Kerja Terhadap Tenaga Kerja

Jenis Iuran

Pengelola

Porsi Pekerja

Porsi Pemberi Kerja 

Komponen atau Manfaat yang diperoleh pekerja

Jaminan kesehatan

BPJS Kesehatan

1%

4%

Pertanggungan biaya kesehatan

Jaminan hari tua

BPJS Ketenagakerjaan/ BP Jamsostek

2%

3,7%

 Uang tunai yang dibayarkan secara  sekaligus bila pesera mencapai usia 56 tahun, meninggal atau cacat total tetap.

Jaminan Pensiun

BPJS/

Ketenagakerjaan/ BP. Jamsostek

1%

2%

Uang tunai yang dibayarkan secara  sekaligus bila pesera mencapai usia pension

Jaminan Perumahan*

BP Tapera

2,5%

0,5%

Memfasilitasi peserta untuk memperoleh rumah

Jaminan kehilangan pekerjaan**

BPJS Ketenagakerjaan

Masih dikaji

Masih dikaji

Melindungi pekerja korban PHK agar tetap punya pendapatan

Keterangan :    * dari upah bulanan      ** belum kerjalan

Sumber        :    Kontan 6 Juni 2020

 

            Meski ada sikap keberatan dari para pengusaha dan sebagian pekerja karena kelahoran PP 25 Tahun 2020 dianggap momentumnya kurang tepat, Pemerintah tetap menargetkan  sebanyak 13 juta peserta Tapera pada tahun 2024. Untuk tahap awal, peserta Tapera merupakan  eks-Badan Pertimbangan  Tabungan Perumahan PNS (Bapertarum-PNS) hingga 2021. Sekitar 4,2 juta PNS akan menjadi peserta pertama program Tapera ini. Kemudian kepesertaan akan diperluas dengan kelompok pegawai BUMN, BUMD dan BUMDes, dan TNI/Polri hingga tahun 2023.

Gambar 2 : Data Kebutuhan Rumah (Backlog) untuk ASN

Gol

Jumlah ASN

(ribuan)

Belum Memiliki Rumah (Unit)

Backlog ASN

(%)

I

53,6

17,8

33,2

II

885,0

288

32,6

III

2.365

750

31,6

IV

919

21,4

2,3

Total

4,2 juta

1,1 juta

25,5%

Sumber : Badan Kepegawaian Negara, Tahun 2019 

Berdasarkan data tersebut,  masih terdapat 25,5% ASN yang belum memiliki rumah dan ASN jugalah yang akan menjadi kelompok pertama yang menjadi peserta Tapera. ASN adalah kelompok pertama yang  paling mudah untuk dilakukan penarikan iuran karena sumber keuangan ASN berasal dari APBN yang dengan mudah untuk ditarik atau dijadikan sebagai peserta Tapera meski pada akhirnya ASN belum tentu memiliki rumah dari program ini karena berbagai hal.

 Dalam konstitusi, rumah adalah hak rakyat dan oleh karena itu harus dipenuhi oleh negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28h ayat (1) UUD 45, yang  menyatakan bahwa, kewajiban memberikan pemenuhan kepada setiap orang atas hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Nah, dengan Tapera maka  hak rakyat  berubah menjadi kewajiban rakyat, karena  rakyat  yang meng-iur sendiri. Jika rakyat  tidak meng-iur maka rakyat tidak lagi berhak atas perumahan. Kedua, soal pungutan 2,5%, yang tentu menjadi beban buruh yang sangat besar dan mengurangi daya beli buruh terutama dengan  semakin tingginya biaya hidup dan  rendahnya kenaikan upah buruh saat ini.   

Selain itu, masih dalam kaitan dengan   UUD 45, maka substansi UU No. 4 Tahun 2016 tentang  Tapera, Pemerintah memang nyaris tidak bertanggung jawab terhadap penyediaan  dan perumahan bagi rakyat terutama yang berpenghasilan rendah. Karena dalam UU Tapera, ini penyediaan rumah ditanggung oleh  pekerja dan pemberi kerja (perusahan).

Tentu saja dengan kondisi yang demikian, UU Tapera ini  juga bertentangan dangan dengan UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman,  dimana aturan tersebut mengungkapkan bahwa  negara wajib mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).  Sementara, PP Tapera dan UU Tapera tidak menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab bagi penyediaan dana perumahan bagi masyarakat berpengahasilan rendah (MBR).

Sebagai dana yang berasal dari pekerja dan pemberi kerja, tentunya dana Tapera merupakan amanat dari  masyarakat luas. Namun dalam prosesnya kedua pihak (pekerja dan pemberi kerja/perusahaan) tidak dilibatkan dalam berbagai perencanaan. Hal ini  terlihat dengan tidak adanya  perwakilan di Badan Pengelola (BP) Tapera maupun Komite Tapera.

Selain itu,  sebagai badan yang mengelola keuangan masyarakat,  status hukum badan inipun tidak jelas karena tidak ada satu pasalpun yang  menjelaskan  status Badan Pengelola (BP) Tapera.  Namun bila merujuk pada Pasal 50, maka BP Tapera dapat dikatagorikan sebagai badan publik yang menyatakan bahwa BP Tapera dapat dibubarkan dengan UU.

Selain itu, kewenangan BP Tapera tidak dirinci  dalam penyediaan rumah atau sekadar menghimpun dan mengelola dana masyarakat. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa  program ini juga tidak menjamin peserta memiliki rumah, meskipun peserta membayarkan iuran karena tidak ada point atau mekanisme yang bisa memastikan pemanfaatan tabungan perumahan termasuk kepemilikan tanah.

Misalnya, apakah  saat pensiun nanti dapat akumulasi dari pemotongan (iuran) ini yang kemudian diberikan rumah, sementara yang kita tahu harga rumah  makin lama makin mahal. Oleh karena itu harus ada jaminan  dan kejelasan bagi individu  yang mengikuti Tapera ini untuk punya rumah.

 Tapera juga belum bisa dibuat sebagai solusi karena antara kebijakan upah dan kenaikan harga properti yang selama ini tidak imbang, dimana harga kenaikan upah per tahun rata-rata hanya 8% sedangkan kanaikan properti sampai mencapai 20%, terlebih lagi pada saat ini jumlah backlog (kekurangan jumlah perumahan) masih sangat besar (+ 7 juta lebih). Di saat pandemik seperti sekarang ini, nampaknya momentum ini bukan urgensi untuk kepemilikan rumah, karena yang terpenting saat ini adalah bagaimana orang untuk bertahan hidup terlebih dahulu, misalnya untuk ketersedian kesehatan dan makanan. Itu dua kebutuhan pokok yang saat ini  lebih penting daripada perumahan bahkan sampai 7 (tujuh) tahun ke depan.

Dana  Tapera yang terkumpul akan dikelola oleh manajer investasi, yang salah satu  opsi penempatannya  di Surat Berharga Negara. Dengan disimpan dalam bentuk surat berharga, maka akan ada keuntungan yang akan dinikmati oleh  Pemerintah. Jadi ini semacam pull dana dari masyarakat dan pengusaha, dan sebanyak 3% itu nanti masuk ke dalam manajer investasi dan dimasukan lagi untuk menambal defisit APBN. Jadi ini seperti skema BPJS Ketenagakerjaan, dan  maka dari itu hal  ini menjadi aneh karena pekerja sudah dipotong iuran BPJS Ketenagakerjaan kemudian pekerja yang sudah punya rumah juga tetap harus membayar iuran Tapera, sehingga pemotongannya menjadi dua kali lipat (double).  Dan bahkan BPJS Ketenagakerjaan juga menyediakan program perumahan yang sama persis dengan Tapera.  

Inilah yang  kontradiktif yang terjadi di Indonsia saat ini, dimana ditengah krisis pandemik dan krisis kesehatan, Pemerintah ingin memungut  iuran dari upah untuk dimasukan ke dalam Tapera. Namun jika kita mengacu sebagaimana yang terjadi di   Australia, dimana mereka (Australia) baru saja mengeluarkan stimulus US$4.44 juta dollar dan Rp.280 juta rupiah diberikan kepada orang yang mau memiliki rumah. Berkaca pada hal tersebut, maka bagi  Indonesia seharusnya ini waktunya untuk menstimulus  dan bukan untuk melakukan pemungutan.

Kekahwatiran lain dari masyarakat adalah jika berkaca pada pengalaman buruk tentang pengelolaan dana publik, dimana beberapa waktu lalu tepatnya pada bulan Mei 2020, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS dan salah satu dasar alasan pembatalannya adalah  karena adanya kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan BPJS. Dengan adanya  badan yang mengelola dana Tapera ini dikhawatirkan juga akan terjadi seperti kasus BPJS, juga kasus-kasus lainnya seperti kasus Jiwasraya dan kasus Asabri.  

Dalam PP Tapera juga ada pasal yang menyatakan bahwa peserta termasuk juga  warga negara asing. Sementara,  Tapera adalah  perumahan rakyat atau perumahan-perumahan kelas menengah ke bawah (perumahan type 21 – 30), maka yang menjadi pertanyaan adalah, warga negara asing mana yang diperbolehkan memiliki rumah dengan program Tapera ini.

Dilihat dari pasal tersebut, nampaknya Pemerintah sedang  mempersiapkan bahwa unskill workers (buruh kasar) asing bisa masuk  ke Indonesia. Hal ini bisa terjadi bila kita juga menghubungkan  dengan peristiwa satu setengah tahun lalu dengan lahirnya Perpres No. 20 tahun 2018 dan  merebaknya isu tenaga kerja asing (TKA) unskill   yang  berasal dari China yang jumlahnya sangat  banyak di Indonesia, yang menurut KSPI  sudah mencapai 157.000 terlebih. 

Perpres Nomor 20 Tahun 2018 oleh banyak kalangan dianggap  bukan untuk membela kepentingan tenaga kerja Indonesia. Padahal, bila kita   kembali  ke UUD 45, maka siapakah yang menurut amanah UUD 1945 seharusnya membela hajat hidup orang banyak warga negara Indonesia? Karena dalam UUD 1945 jelas memberi amanat kepada Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga negara atas lapangan kerja dan penghidupan yang layak sebagaimana  bunyi Pasal 27 ayat (2), bahwa "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Artinya, Perpres No. 20 Tahun 2018 jelas mencederai amanat UUD 1945 tersebut.

3. Penutup

Kesimpulannya, ada  4  (empat) hal yang menjadi masalah dalam pengelolaan Tapera ini, pertama masalah disharmoni antara peraturan perundang-undangan yang menaungi lahirnya PP Tapera, Kedua adalah  hak warga negara  yang harus nya mendapatkan perumahan. Ketiga adalah beban yan sudah besar dari masyarakat dan upah yang sangat kecil pada saat ini. Dan keempat  adalah Badan Penyelenggara  Tapera  yang masih perlu dipertanyakan, karena kita punya pengalaman buruk terhadap pengelolaan BPJS, Jiwasraya dan Asabri.

Badan Pengelola Tapera adalah badan penting dan sterategis, karena disitulah tersimpan uang iuran mayarakat. Oleh karena iti, Badan Pengelola Tapera harus diawasi oleh banyak pihak, juga diaudit oleh OJK dan  juga diawasi oleh peserta.

Perlunya kemitraan dan kolaborasi antara Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, dan yang harus diperhatikan oleh Pemeritah adalah bagaimana tata kelola yang baik, misalnya tranparansi, akuntabilitas, responsibility, independen (tidak ada intervensi seperti yang terjadi di Jiwasraya dan Asabri), dan terakhir adalah fairness. Jadi yang harus lebih ditekankan adalah pada masalah keterbukaan dan keadilan karena kita mamang harus berpihak kepada masyarakat. Sehingga kalau semua dapat berjalan dengan baik, maka hal ini akan menjadi solusi untuk penciptaan lapangan perkerjaan bagi rakyat dan akan mampu menurunkan biaya perumahan sehigga akan  mendapatkan doble inpact, antara lain kenaikan asset yang dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan juga turunnya biaya pembangunan rumah. (FY/13/6/2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun