Selain itu, masih dalam kaitan dengan  UUD 45, maka substansi UU No. 4 Tahun 2016 tentang  Tapera, Pemerintah memang nyaris tidak bertanggung jawab terhadap penyediaan  dan perumahan bagi rakyat terutama yang berpenghasilan rendah. Karena dalam UU Tapera, ini penyediaan rumah ditanggung oleh  pekerja dan pemberi kerja (perusahan).
Tentu saja dengan kondisi yang demikian, UU Tapera ini  juga bertentangan dangan dengan UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman,  dimana aturan tersebut mengungkapkan bahwa  negara wajib mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).  Sementara, PP Tapera dan UU Tapera tidak menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab bagi penyediaan dana perumahan bagi masyarakat berpengahasilan rendah (MBR).
Sebagai dana yang berasal dari pekerja dan pemberi kerja, tentunya dana Tapera merupakan amanat dari  masyarakat luas. Namun dalam prosesnya kedua pihak (pekerja dan pemberi kerja/perusahaan) tidak dilibatkan dalam berbagai perencanaan. Hal ini  terlihat dengan tidak adanya  perwakilan di Badan Pengelola (BP) Tapera maupun Komite Tapera.
Selain itu,  sebagai badan yang mengelola keuangan masyarakat,  status hukum badan inipun tidak jelas karena tidak ada satu pasalpun yang  menjelaskan  status Badan Pengelola (BP) Tapera.  Namun bila merujuk pada Pasal 50, maka BP Tapera dapat dikatagorikan sebagai badan publik yang menyatakan bahwa BP Tapera dapat dibubarkan dengan UU.
Selain itu, kewenangan BP Tapera tidak dirinci  dalam penyediaan rumah atau sekadar menghimpun dan mengelola dana masyarakat. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa  program ini juga tidak menjamin peserta memiliki rumah, meskipun peserta membayarkan iuran karena tidak ada point atau mekanisme yang bisa memastikan pemanfaatan tabungan perumahan termasuk kepemilikan tanah.
Misalnya, apakah  saat pensiun nanti dapat akumulasi dari pemotongan (iuran) ini yang kemudian diberikan rumah, sementara yang kita tahu harga rumah  makin lama makin mahal. Oleh karena itu harus ada jaminan  dan kejelasan bagi individu  yang mengikuti Tapera ini untuk punya rumah.
 Tapera juga belum bisa dibuat sebagai solusi karena antara kebijakan upah dan kenaikan harga properti yang selama ini tidak imbang, dimana harga kenaikan upah per tahun rata-rata hanya 8% sedangkan kanaikan properti sampai mencapai 20%, terlebih lagi pada saat ini jumlah backlog (kekurangan jumlah perumahan) masih sangat besar (+ 7 juta lebih). Di saat pandemik seperti sekarang ini, nampaknya momentum ini bukan urgensi untuk kepemilikan rumah, karena yang terpenting saat ini adalah bagaimana orang untuk bertahan hidup terlebih dahulu, misalnya untuk ketersedian kesehatan dan makanan. Itu dua kebutuhan pokok yang saat ini  lebih penting daripada perumahan bahkan sampai 7 (tujuh) tahun ke depan.
Dana  Tapera yang terkumpul akan dikelola oleh manajer investasi, yang salah satu  opsi penempatannya  di Surat Berharga Negara. Dengan disimpan dalam bentuk surat berharga, maka akan ada keuntungan yang akan dinikmati oleh  Pemerintah. Jadi ini semacam pull dana dari masyarakat dan pengusaha, dan sebanyak 3% itu nanti masuk ke dalam manajer investasi dan dimasukan lagi untuk menambal defisit APBN. Jadi ini seperti skema BPJS Ketenagakerjaan, dan  maka dari itu hal  ini menjadi aneh karena pekerja sudah dipotong iuran BPJS Ketenagakerjaan kemudian pekerja yang sudah punya rumah juga tetap harus membayar iuran Tapera, sehingga pemotongannya menjadi dua kali lipat (double).  Dan bahkan BPJS Ketenagakerjaan juga menyediakan program perumahan yang sama persis dengan Tapera. Â
Inilah yang  kontradiktif yang terjadi di Indonsia saat ini, dimana ditengah krisis pandemik dan krisis kesehatan, Pemerintah ingin memungut  iuran dari upah untuk dimasukan ke dalam Tapera. Namun jika kita mengacu sebagaimana yang terjadi di  Australia, dimana mereka (Australia) baru saja mengeluarkan stimulus US$4.44 juta dollar dan Rp.280 juta rupiah diberikan kepada orang yang mau memiliki rumah. Berkaca pada hal tersebut, maka bagi  Indonesia seharusnya ini waktunya untuk menstimulus  dan bukan untuk melakukan pemungutan.
Kekahwatiran lain dari masyarakat adalah jika berkaca pada pengalaman buruk tentang pengelolaan dana publik, dimana beberapa waktu lalu tepatnya pada bulan Mei 2020, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS dan salah satu dasar alasan pembatalannya adalah  karena adanya kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan BPJS. Dengan adanya  badan yang mengelola dana Tapera ini dikhawatirkan juga akan terjadi seperti kasus BPJS, juga kasus-kasus lainnya seperti kasus Jiwasraya dan kasus Asabri. Â
Dalam PP Tapera juga ada pasal yang menyatakan bahwa peserta termasuk juga  warga negara asing. Sementara,  Tapera adalah  perumahan rakyat atau perumahan-perumahan kelas menengah ke bawah (perumahan type 21 – 30), maka yang menjadi pertanyaan adalah, warga negara asing mana yang diperbolehkan memiliki rumah dengan program Tapera ini.