Mohon tunggu...
Yulius Efendi
Yulius Efendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sedang Menjalankan Studi

Laki-laki

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Merdeka Belajar", Filosofi Kualitas Pendidikan

3 Agustus 2020   00:21 Diperbarui: 3 Agustus 2020   00:45 1693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masalah pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Jika kualitas pendidikan di Indonesia rendah, apakah berdampak pada rendahnya kualitas kehidupan manusianya. Saat ini salah satu masalah yang dihadapi sistem pendidikan kita adalah masalah kualitas. Apakah kualitas pendidikan dapat diatasi melalui konsep "merdeka belajar?". 

Apakah konsep "merdeka belajar" sejalan dengan adagium Saneca (filsuf), "Non Scolae Vita Discimus" (belajar untuk hidup). Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada, perlu dijawab dalam kajian filosofis makna pendidikan yang berkualitas

Analisis filosofis rendahnya kualitas pendidikan 

Budaya mutu di sekolah merupakan nilai-nilai, aktivitas-aktivitas dan simbol-simbol yang menjadi komitmen semua elemen sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Secara kontekstual melalui tulisan in ditemukan bahwa budaya mutu sekolah meliputi mutu layanan sekolah, mutu guru dan staf sekolah, dan mutu sarana/prasarana sekolah. 

Sehingga perhatian dan upaya kepala sekolah untuk meningkatkan mutu tercermin pada peningkatan mutu layanan, guru dan staf, dan mutu sarana/prasarana sekolah. 

Dalam dunia industri manufaktur mutu telah dikenal lama semenjak tahun 60-an. Pada dekade ini upaya-upaya untuk meningkatkan mutu produksi sangat terikat dengan lingkungan internal organisasi. Hal ini dipengaruhi oleh masih kuatnya pendekatan ilmiah dan birokratik terhadap organisasi, sehingga mutu menjadi milik organisasi itu sendiri.

Pemahaman dasar tentang budaya mutu sekolah merupakan terobosan baru dalam meningkatkan layanan jasa pendidikan secara terorganisir dan profesional. 

Di tengah tuntutan stakeholder terhadap mutu pendidikan yang semakin tinggi dan bervariasi, maka sekolah harus mampu membangun tradisi mutu yang berkesinambungan dan terus-menerus. 

Sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan lebih dipengaruhi oleh kinerja individu dan organisasi itu sendiri yang mencakup nilai-nilai (values), keyakinan (beliefs), budaya, dan norma perilaku yang disebut sebagai the human side of organization. Iklim atau atmosphere sekolah, seperti hubungan interpersonal, lingkungan belajar yang kondusif, lingkungan yang menyenangkan, moral dan spirit sekolah berkorelasi secara positif dan signifikan dengan kepribadian dan pres-tasi akademik lulusan.

Dengan demikian, budaya sekolah dapat dikatakan bermutu jika memungkinkan bertumbuhkembangnya sekolah dalam mencapai keberhasilan pendidikan. 

Budaya mutu sekolah adalah keseluruhan latar fisik, lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim sekolah secara produktif yang mampu memberikan pengalaman dan bertumbuhkembangnya sekolah untuk mencapai keberhasilan pendidikan berdasarkan spirit dan nilai-nilai yang dianut oleh sekolah. Dalam hal ini, perlu merumuskan beberapa elemen budaya mutu sekolah sebagai berikut:

  • informasi kualitas untuk perbaikan, bukan untuk mengontrol,

(2) kewenangan harus sebatas tanggungjawab,

(3) hasil diikuti rewards atau punishment,

(4) ko1aborasi, sinergi, bukan persaingan sebagai dasar kerjasama,

(5) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya,

(6) atmosfir keadilan,

(7) imbal jasa sepadan dengan nilai pekerjaan, dan

(8) warga seko1ah merasa memiliki sekolah.

Pemahaman terhadap kebijakan pendidikan, diperlukannya suatu model pembelajaran alternatif yang berbasis nilai melalui proses berfikir secara menyeluruh, sistematis, dan logis. 

Pemikiran secara menyeluruh dan mendalam dalam konteks demikian disebut dengan berfilsafat. Filsafat merupakan model cara berpikir reflektif, dan seperangkat teori dan sistem berpikir. 

Sementara Kattsoff (1963) dalam bukunya "The Elements of Philosophy melengkapi pemahaman tentang filsafat adalah berpikir secara kritis, dalam bentuk sistematis, menghasilkan sesuatu yang runtut, berpikir secara rasional dan bersifat komprehensif. 

Filsafat merupakan pengetahuan untuk melihat sesuatu dalam perspektif bagaimana yang seharusnya (das sollen) yang berbeda dengan ilmu yang melihat segala sesuatu secara objektif dalam perspektif sebagaimana adanya (das sein). 

Pembahasan dalam filsafat mencakup segala permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupan, termasuk dalam masalah pendidikan yang disebut dengan filsafat pendidikan. 

Dalam konteks filsafat pendidikan, kedudukan filsafat berfungsi memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sebaliknya praktek pendidikan berfungsi memberikan bahan bagi pertimbangan secara filosofis. Hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan menurut pendapat Brubacker (1950:19) ada empat hal yakni :

(a) Philosophy is primary and basic to an educational philosophy, 

(b) Philosophy is the flower not root of education,

(c) Educational philosophy is an independent discipline which might benefit from contact with general philosophy, but this contact is not essential, 

(d) Philosophy and the theory of education is one.

Keterkaitan antara filsafat dengan filsafat pendidikan dicermati dari pendekatan yang dilakukan menurut KneJler (1971:1), yaitu pendekatan spekulatif, preskriptif dan analitik. 

Pendekatan spekulatif merupakan pemikiran secara sistematis tentang segala sesuatu yang ada berdasarkan dorongan daya manusia untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan. 

Pendekatan preskriptif merupakan pendekatan dalam rangka upaya menyusun standar ukuran tingkah laku, nilai dan lainnya termasuk dalam ukuran baik, burak, benar, dan salah. 

Sedangkan pendekatan analitik merupakan pendekatan yang berusaha mengenali makna dari sesuatu dengan mengadakan analisis bahasanya (Bamadib, 1988:8-9). Selain pendapat tersebut Kneller (1971:1) menyebutkan tentang filsafat pendidikan dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan dalam ungkapan "educational philosophy seeks to comprehend education in its entirety, interpreting it by means of general concepts that will guide our choice of educational ends and policies". 

Ketiga pendekatan filsafat yang dikemukakan di atas, apabila ditinjau dalam konteks filsafat pendidikan, maka pendidikan dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kepribadian manusia, yang di dalamnya dibahas tentang nilai, etika manusia serta sikap manusia terhadap suatu kebenaran. 

Pendidikan dipandang sebagai suatu hak dalam upaya pengembangan pengetahuan bagi manusia. Manfaat filsafat pendidikan sebagaimana yang dikatakan Nasution (1982) bahwa, a) filsafat pendidikan dapat menentukan arah kemana anak-anak harus dibawa. 

Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan masyarakat untuk mendidik anak-anak ke arah yang dicita-citakan masyarakat; b) dengan adanya tujuan pendidikan (yang diwarnai oleh filsafat yang dianut), kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai, individu yang bagaimanakah yang harus kita hasilkan dengan usaha pendidikan; c) filsafat dan tujuan pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu; d) filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan; e) tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, sampai di manakah tujuan itu tercapai; f) tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Kita lebih giat mengajar dan mendidik anak kalau kita jelas melihat tujuannya Dalam perspektif filsafat pendidikan, pandangan tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi teori pendidikan. 

Orientasi pendidikan yang dikemukakan tersebut setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok teori, yakni (1) menekankan pada sumber daya manusia, (2) menekankan pada revitalisasi budaya dan (3) teori yang menekankan pada rekonstruksionisme (Bamadib, 1988). Progressivisme termasuk pada kelompok teori sumber daya manusia, essensialisme dan perennialisme termasuk pada teori revitalisasi budaya, sedangkan yang termasuk dalam rekonstruksionisme adalah teori yang menekankan pada sekolah sebagai bagian dari masyarakat.

Arah pendidikan dalam perspektif lain, dilihat dari filsafat pendidikan dapat dikelompokkan menjadi empat aliran atau teori yang dikenal, yakni (a) pendidikan klasik, (b) pendidikan pribadi, (c) pendidikan teknologis, dan (d) pendidikan interaksionis. (Sukmadinata, 1988:8-14). Teori pendidikan klasik menurut Ornstein dan Levine (1985:193-198) memandang bahwa seluruh pengetahuan, ide atau nilai-nilai telah ada dan ditemukan sebelumnya, sehingga pendidikan berfungsi memelihara, melestarikan dan meneruskan semua warisan budaya kepada generasi selanjutnya Isi dari pendidikan merupakan aspek yang menjadi perhatian utama dibandingkan dengan proses bagaimana mengajarkan isi pendidikan tersebut. Isi pendidikan bersumber dari ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya sebagai suatu disiplin sehingga telah tersusun secara logis dan sistematis.

Dengan demikian pada teori pendidikan klasik menekankan pada perkembangan segi intelektual daripada segi emosional dan psikomotor. Terdapat setidaknya dua model teori dari aliran ini, antara lain: perrenialisme dan essensialisme. Perrenialisme dan essensialisme mendasarkan pada pandangan bahwa masyarakat bersifat statis, sehingga penetapan bidang studi dan mata pelajaran ditentukan bukan oleh kebutuhan masyarakat melainkan oleh kelompok ahli dan diarahkan pada perkembangan kemampuan berfikir. Perrenialisme mulai berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokrasi agraris yang berorientasi ke masa lampau dan kurang mementingkan tuntutan masyarakat yang berkembang dinamis. Perrenialisme lebih menekankan pada aspek kemanusiaan, pembentukan pribadi dan sifat-sifat mental, sehingga berimplikasi pada penekanan isi pengajaran yang bersifat pendidikan umum (PU) General Education atau liberal art. Akibatnya model pengajaran eksp simulasi menjadi lebih dominan. Aliran perrenialisme merupakan paham filsafat pendidikan yang" menempatkan nilai pada supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber dari Tuhan.

Karakteristik atau cara berpikirnya berakar dari filsafat realisme yang meletakan keseimbangan antara moral dan intelektual dalam konteks kesadaran spiritual. Dengan menempatkan kebenaran supranatural sebagai sumber tertingi, maka nilai dalam pandangan aliran perrenialisme selalu bersifat theosentris. Harga nilai telah ditetapkan oleh Tuhan dan upaya manusia harus selalu diarahkan pada tujuan pencapaian nilai yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam mencapai kebaikan dan kebenaran, manusia perlu berikhtiar. Ikhtiar manusia dipandang sebagai usaha praktis yang berada dalam suasana hidup yang rasional namun tetap terikat oleh kekuasaan pertama, yaitu Tuhan. Untuk itu suatu kemestian yang perlu dialami manusia adalah mencoba memilih dan menentukan nilai secara seimbang antara kebutuhan dirinya dengan apa yang diperintahkan Tuhan. Ketika manusia mampu mencapai nilai-nilai teologis yang dirujukkan pada kekuasaan Tuhan, maka ia akan sampai pada nilai universal. Nilai universal bersifat tetap dan kebenarannya diakui oleh semua manusia, di manapun dan kapanpun. Karena itu menurut aliran perrenialisme, penyadaran nilai dalam pendidikan harus didasarkan pada nilai kebaikan dan nilai kebenaran yang bersumber pada wahyu dan hal itu dilakukan melalui proses penanaman nilai pada peserta didik.

Pendidikan menurut aliran perrenialisme bahwa kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial, tujuan pendidikan memastikan bahwa para peserta didik memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah, prinsip pendidikan perrenialisme secara umum yakni, tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yakni untuk mencapai kebijakan dan kebajikan. Pendidikan juga harus sama bagi semua orang, dimanapun dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia, Hut chin; Kneller (1971) "A fan may very from society to society, ...but thefuction of man, is the same in every age and every society, since it results from his nature as a man. The aims of educational system can exist: it is to improve man as man " Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya. Bila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan, atau pada rangkaian peristiwa psikologis yang tidak menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gagasan tersebut, dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan. Robert (1971) merangkum tugas pendidikan adalah bahwa dalam pendidikan mengandung mengajar, dalam mengajar mengandung pengetahuan, dalam pengetahuan mengandung kebenaran, dalam kebenaran di manapun tetap sama, maka pendidikan di manapun seharusnya sama. Tugas pendidikan menurut filasafat perennialisme adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Peserta didik tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampaknya penting suatu saat
saja.

Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran "general education yang meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 R's (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari genaral ducation. Seperti halnya Phnix (1956) mengungkapkan enam makna esensial dalam general ducation, yakni 1) Empirik (ilmu pengetahuan tentang dunia fisik, benda hidup) 2) Estetik ( seni musik, visual, gerak dan sastra); 3) Etik (moral-etika); 4) Sinoptik (sgama, filfafat, sejarah); 5) Sinoetik (pengetahuan pribadi, kepribadian, hubungan Aku-Tuhan); 6) Simbolik (Bahasa asli,matematika, bahasa simbol). Pendidikan perrenialisme bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan nyata. Sekolah bagi peserta didik merupakan peraturan- peraturan yang artifisial, dimana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya. Peserta didik diajak mempelajari karya-karya besar dalam literatur, yang menyangkut sejarah, filsafat dan seni, begitu pula dalam literature yang berhubungan dengan kehidupan sosial, terutama politik dan ekonomi.

Ide pokok pemikiran perrenialisme adalah dalam menghadapi krisis kebudayaan modern, seperti diuangkapkan Brameld (1955:34): The one central belief upon which agreement among perrenialists is universal is that, if our sick culture and our still sicker education are to be restored to health, we shall need first to restore to their positions of prestige and guidance the greatenst "doctors" of all time. With their help, far more than with that of any others, we can hope to diagnose accurately our deep troubles and to construct a curative program that will prevent the chaos and death now threatening to devastate the earth. 

Satu asas pusat kepercayaan yang disepakati penganut perennialisme secara universal ialah, jika kebudayaan dan pendidikan kita sekarang diumpamakan orang sakit, dan kita ingin mengembalikannya kepada bimbingan "dokter" yang terbesar sepanjang sejarah. Dengan pertolongannya, kita akan dapat berharap adanya diagnose yang tepat daripada gangguan-gangguan yang telah sedemikian mendalam (parah) dan dapat membina rencana penyembuhan yang mampu mencegah kematian yang sekarang mengancam untuk membinasakan bumi (kebudayaan yang ada). Penganut perennialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir mental yang disiplin adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena belajar ini tidak saja secara psikologis berpangkal pada kepercayaan tentang daya jiwa, potensi-potens  jiwa faculty-psychology, tetapi juga secara filosofis bersumber pada asas hylomorphisme (potensialitas menuju aktualitas). Pendidikan dalam pandangan essensialisme lebih menekankan pada pengembangan ilmu (science), sehingga bersifat lebih pragmatis.

Gerakan pendidikan essensialisme yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progressivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Menurut essensialisme nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Dalam perspektif di atas, pendidikan diarahkan untuk mempersiapkan generasi muda terjun ke dunia kerja dalam kehidupan sosial dengan orientasi masa kini dan masa depan. Tujuan pendidikan menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang bertahan sepanjang waktu dan berharga untuk diketahui semua orang. Pengetahuan diikuti oleh keterampilan, sikap dan nilai yang tepat, membentuk unsur inti (esensi) dari sebuah pendidikan, dan pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan. Dengan demikian akan berimplikasi pada bentuk pengajaran yang lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan. Maka tujuan utama pendidikan yang baik dalam pandangan essensialisme adalah untuk (a) memperoleh pekerjaan yang lebih baik, (b) dapat bekerja sama dengan orang lain dengan baik, dan (c) memperoleh penghasilan  yang memadai. Pendidikan dipandang sebagai langkah meraih kesuksesan secara ekonomis. Pada awalnya model pendidikan progressivisme dibawa oleh Francis Parker dari Eropa ke Amerika Serikat dan berkembang pesat melalui usaha John Dewey yang menerapkan prinsip belajar learning by doing. 

Dalam pendidikan progresivisme, peserta didik ditempatkan sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang memandang sama pentingnya antara perkembangan emosi dan sosial dengan perkembangan intelektual, sehingga bentuk pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhannya. Progressivisme suatu gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berpusat pada anak "child centere" sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru "teacher centered" atau bahan pelajaran "subject centered," Tujuan pendidikan secara keseluruhan adalah untuk melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai pekerjaan, dan bekerja dengan otak dan hati. Pendidikan berpusat pada anak, maka anak adalah unik karena memiliki harkat dan martabat dalam pendidikan. Dewey (1915) berpendapat bahwa 'perubahan' dan 'ketidaktepatan' merupakan esensi dari realitas, dalam arti pendidikan selalu dalam proses pengembangan, penekanannya adalah perkembangan individu, masyarakat dan kebudayaan.

Pendidikan harus siap memperbaharui metode, kebijaksanaannya, berhubungan dengan perkembangan sains dan teknologi, serta perubahan lingkungan. Kemudian kaum progresif sepakat dengan pandangan Dewey bahwa untuk menekankan pengalaman indera, belajar sambil bekekja, dan mengembangkan intelegensi, sehingga anak dapat menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Esensi yang terkandung dalam filsafat progressisme menurut Brubacher (1962:312) "Progress is naturalistic; it implies change. Change implies novelty. And novelty lay's claim to being genuine rather than the rvolution of an anlecedently complt reality". Progesif (berkembang maju) adalah sifat alamiah, kodrati dan itu berarti perubahan. Dan perubahan berarti suatu yang baru. Sesuatu yang baru sungguh-sungguh merupakan keadaan yang nyata dan bukan sekedar pengertian atas realita yang sebelumnya memang sudah demikian. Model pendidikan romantik berasal dari pemikiran Jean Jacques Rousseau, yang memandang bahwa pendidikan sebagai suatu proses alamiah dan individual berupa usaha pengembangan kemampuan peserta didik melalui intensitas interaksi dengan lingkungan. Dalam pandangan model pendidikan ini, pengalaman peserta didik dianggap sebagai guru terbaik, sehingga menempatkan peserta didik untuk giat belajar mandiri dan bebas mengembangkan keingintahuannya. Teori teknologi pendidikan dalam perspektif pendidikan dipandang berperan bagi proses transmisi informasi dalam bentuk informasi teknologi dan pengetahuan. Arah pendidikan lebih menekankan pada masa kini dan masa depan, sehingga implikasinya menempatkan pengalaman sebagai hal yang selalu berubah selaras dengan perkembangan dan waktu. Dengan demikian, teori ini lebih mengutamakan proses empiris yang senantiasa mendasarkan pada kepastian dan efisiensi. Akibatnya, yang dikembangkan dalam proses pendidikan adalah keterampilan yang mengarah kepada kompetensi vokasional peserta didik.

Dalam perspektif teori pendidikan interaksional, pendidikan dipandang sebagai suatu interaksi dua pihak antara peserta didik dengan pendidik secara timbal balik, interaksi dengan bahan ajar, lingkungan dan dengan lainnya secara dialogis. Rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia harus menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi, apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru (Brameld, 1965:28). Demikian pula kedudukan filsafat, pendidikan dan kurikulum diarahkan pada sekolah sebagai agen perubahan sosial (Counts: 1956), sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan dan kesukuan (rasialisme). Pendidikan dapat menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial.

Dalam pandangan rekonstruksionisme tentang pendidikan dan kurikulum terdapat upaya untuk 'shaping the future' dan bukan hanya 'adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community\ seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19): Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum shoul help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change. Manusia, pendidikan dan pengetahuan menurut pandangan ahli pendidikan bahwa rekonstruksionisme adalah: Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made. (Zahorik, 1995; Nurhadi, 2004: 45). Ilmu/Pengetahuan dibangun oleh manusia, Ilmu/pengetahuan bukan serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang menunggu untuk ditemukan. Bukan sesuatu yang langsung ada oleh si penemu. Manusialah yang menciptakan dan membangun ilmu/pengetahuan sebagaimana mereka ujicobakan menjadi bermakna melalui pengalaman meraka. Sesuatu yang mereka ketahui, dibuat oleh mereka. Ilmu/pengetahuan dibangun, dimaknai dan digunakan dari manusia, oleh manusia, untuk manusia, manusia yang memegang peranan utama dalam ilmu/pengatahuan itu sendiri. Pendapat di atas berkaitan dengan teori pendidikan pribadi (personalized education) memandang bahwa yang menjadi perhatian utama dalam pendidikan adalah peserta didik.

Proses pendidikan dalam pandangan ini mendasarkan pada asumsi bahwa setiap anak telah memiliki potensi untuk belajar berbuat dan memecahkan suatu masalah serta berkembang secara alamiah sejak dilahirkan. Dengan demikian, fungsi pendidikan yang utama adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebutuhan belajar peserta didik menuju ke arah yang lebih baik. Aliran pendidikan ini adalah progressivisme dan romantik. Pandangan Dewey berkaitan dengan model teori pendidikan yang dibangun memerlukan land asan filosofi pendidikan untuk memperkuat proses pendidikan, yakni (1) untuk membangun 'intellegent reflective thinking' yaitu progressivisme (dan romantik), (2) untuk mempribadikan pengalaman kebudayaan yaitu essensialisme, (3) untuk menentukan tujuan pendidikan berdasarkan tatanan nilai yaitu perrensialisme dan (4) untuk membangun ketiga landasan filsafat tersebut diperlukan rekonstruksionisme dalam membangun kebermaknaan pendidikan pada peserta didik dan proses pendidikan. Pendapat yang sama dikatakan Brameld (1965:25) The terms that are frequently applied to these major views are (I) essensialism, which is the educational philosophy concerned chiefly with the consevation of culture; (2) perrenialism, which centers its attention in the kind of educational guidence provided by the classical thought of ancient Greece and medieval Europe; (3) progressivism, which is the philosophy of liberal, experimental education; and (4) recontructionism, which believes that the contemporary crisis can be effectively attacked only by a radical educational policy and program ofaction. Dasar filosofis rekonstruksionisme bersumber dari pragmatisme dan dasar pemikiran kaum Neo-positivisme. Senada pendapat Dewey (1958:267-269) bahwa Pragmatisme yang menganggap kenyataan sebagai dunia pengalaman, yang diperoleh melalui pendnaan, yang kebenarannya terkandung pada kegunaannya dalam masyarakat; Neo-positivisme adalah humanisme ilmiah, yang menghargai harkat dan martabat manusia, dan mempunyai keyakinan teguh bahwa ilmu dapat dipergunakan untuk membangun masyarakat masa depan.

Sintesa filsafat pendidikan progressivisme, essensialisme, perennialisme menghasilkan filsafat rekonstruksionisme atau "A Restructured Philosophy of Education" landasan filosofi pendidikan yang diperlukan dalam membangun paradigma pendidikan pada umumnya, dan khususnya paradigma model PKn berbasis nilai ini. Hal ini memiliki beberapa alasan, yakni 1) mengambil kebaikan dari berbagai filsafat pendidikan dari manapun asalnya; 2) menempatkan kebudayaan nasional yang dilandasi keimanan (sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3); 3) menjadi ide sentral pembangunan pendidikan; 4) menjadi suatu nilai filsafat "A Philosophy ofValue"; 5) dapat menjadi CiA Philosophy of emis". Brameld (1965:28) mengungkapkan pendapatnya tentang keunggulan kedudukan filosofi rekonstruksionisme berkaitan dengan "A Philosophy ofValue" atau suatu nilai dalam filsafat dan "A Philosophy of Crisis" atau suatu kiris dalam filsafat melalui rangkaian kesatuan budaya dalam gambar sebagai berikut:

---Reconstruc------Progress--- ->~ ---Essential----^---

Gambar ini menjelaskan bahwa filosofi essensialisme dan perrenialisme merupakan perpindahan yang utama dalam kontinum budaya menuju filosofi progressivisme dan rekonstruksionisme merupakan inovator, rekonstruksionisme merupakan filosofi yang membangun masa depan pendidikan melalui keunggulan filosofi perrenialisme, essensialisme dan progressivisme. Power (1982:171) mengemukakan aliran filsafat rekonstruksionisme implikasi pendidikannya sebagai berikut: 1) Tema: pendidikan merupakan usaha sosial, misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial; 2) Tujuan pendidikan: bertanggungjawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk; 3) kurikulum: tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum; 4) kedudukan siswa: nilainilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga.

Keluhuran dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa hormat diterima semua latar belakang budaya; 5) Metode: sebagai kelanjutan dari pendidikan progresif, metode aktivitas dibenarkan (learning by doing), 6) Peranan guru: harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat. Paradigma rekonstruksionisme yang dipelopori oleh John Dewey, memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan sosial di masyarakat. Perkembangan lebih lanjut dari 'rekonstruksionalisme radikal', yang memandang pendidikan sebagai alat untuk membangun masyarakat masa depan, melalui pembelajaran hal ini sesuai dengan kepentingan pembangunan bangsa dan negara serta sesuai dengan kehendak dan cita-cita bangsa. Berkaitan dengan pendidikan sebagai alat untuk membangun masyarakatmasa depan serta kepentingan pembangunan bangsa dan negara, bagi bangsa Indonesia telah memiliki pandangan hidup yang dianut  sebagai filosofi bangsadan dinamika sistem nilai atau budaya 'Pancasila', yang menjadi falsafah kenegaraan, yaitu bagian dari falsafah politik, lebih luas lagi mengenai sifat hakiki, asal mula dan nilai dari negara Negara dan manusia di dalamnya dianggap sebagai bagian dari alam semesta Filosofi Pancasila sebagai soko guru kegiatan dasar manusia, merupakan dasar negara dalam sistem kenegaraan Indonesia Dasar falsafah negara yangpaling sesuai dengan kondisi dan berakar pada kehidupan bangsa Indonesia yang pada hakikatnya mengandung pa

 

SUMBER BACAAN

Brennen M., Annick.1999. Philosophy of Education. Jamaica: Northern Caribbean University

Gandhi, W., Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media

Jalaluddin & Idi Abdullah.  2013. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Ornstein, C., Allan dan Levine U. Daniel. 2008.  Foundations of Education. New York Houghton Mifflin Company

Pring, Richard. 2005. Philosophy of Education. New York: Continuum

Raley, Yvonne and Preyer, Gerhard. 2010. Philosophy of Education in the Era of Globalization. New York: Routledge 270 Madison Ave

Rosenberg, Alex.2005.  Philosophy of Science. New York: Routledge 270 Madison Ave

Salmon H., Merrilee, dkk., 1992. Introduction To The Philosophy Of Science. Cambridge: Prentice-Hall, Inc.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun