Mengapa pendidikan memerlukan landasan filsafat, dan bagaimana implikasi filsafat dalam praktik pendidikan?
1. Alasan pendidikan memerlukan landasan filsafat
a). Filsafat menentukan tujuan pendidikan
Filsafat pendidikan memberikan gagasan orisinil tentang semua aspek pendidikan khususnya tujuan pendidikan. Dikatakan bahwa filsafat pendidikan memberikan pandangan yang berbeda, namun situasi ini tidak berbahaya, melainkan membantu dalam memberikan pendidikan sesuai kebutuhan masyarakat. Perbedaan pandangan filsafat pendidikan mencerminkan keragaman dan keragaman kehidupan manusia. Filsafat pendidikan memandu proses pendidikan dengan menyarankan tujuan yang sesuai dari keragaman kehidupan dan memilih sarana yang sesuai.
b). Menyelaraskan tradisi lama dan baru di bidang pendidikan --
Dalam proses pembangunan sosial tradisi lama menjadi usang bagi masyarakat. Mereka digantikan oleh tradisi baru. Tapi proses penggantian ini tidak selalu mulus. Hal ini dihadapkan pada banyak oposisi dari bagian ortodoks tertentu dari masyarakat. Pada saat yang sama harus diingat bahwa setiap 'tua' tidak ketinggalan jaman dan setiap 'yang baru' tidak sempurna. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk mengkoordinasikan keduanya untuk menjaga keharmonisan antara keduanya. Fungsi ini bisa dilakukan dengan filosofi pendidikan.
c). Menyediakan perencana pendidikan, administrator dan pendidik dengan visi progresif untuk mencapai pengembangan pendidikan
Spencer dengan tepat menunjuk bahwa hanya seorang filsuf sejati yang bisa memberi bentuk praktis pada pendidikan. Filsafat pendidikan menyediakan perencana, administrator, dan pendidik pendidikan dengan visi yang tepat yang membimbing mereka untuk mencapai tujuan pendidikan secara efisien.
d). Mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan zaman modern
Abad ke-21 bergema dalam kancah persaingan, yang dalam runutan kerangka pikir kaum futurist, abad ini dinobatkan sebagai abad pencerahan pengetahuan. Pengetahuan menjadi senjata ampuh yang meng-eksistensi-kan manusia dalam lingkaran perubahan paradigmatis yang saling menggeser. Filsafat pendidikan adalah pembimbing, kemudi dan kekuatan pembebasan yang membantu kaum muda dan masyarakat luas untuk menghadapi tantangan zaman modern.
e). Pendidikan adalah embrio dari spekulasi atau tesis filsafat
Sebagai embrio, menurut Ruhela, & Vyas (1970), karena syogyanya pendidikan lahir dari spekulasi (bukan observasional) atau tesis filsafat terhadap hidup manusia yang mengalami berbagai permenungan dan analisis atau mengalami antitesis dan sintesis berulang-ulang, sehingga ia kemudian diterima sebagai kebenaran dan melahirkan suatu premis bahwa pendidikan penting bagi hidup manusia karena makna etisnya.
e). Filsafat pendidikan memberikan pandangan-pandangan filsafiahnya kepada teori pendidikan, khususnya pandangannya tentang manusia, peserta didik, tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya belajar.
f). Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata, artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat.
g). Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik
2. Implikasi Filsafat dalam praktik pendidikan
a). Filsafat pendidikan dapat hadir mempersiapkan falsafi sesuai dengan pandangan hidup bangsa terkait sebagai landasan konseptual bagi pelaksanaan sistem pendidikan yang akan dilakukan.Â
Di Indonesia, filsafat pendidikan didasarkan pada ideologi negara dan konstitusi negara. Oleh karena itu filsafat pendidikan di Indonesia disebut "filsafat pendidikan Pancasila". Artinya segala kebijaksanaan pendidikan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Hasil akhir pendidikan pun harus mampu mencerminkan perilaku yang senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan perbedaan filsafat pendidikan yang dianut, setiap negara tidak harus mengadopsi sistem pendidikan negara lain tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat negara tersebut. Oleh karena itu suatu negara harus bertindak bijaksana dalam menetapkan segala keputusan berkaitan dengan sistem pendidikan
b). Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan
- Filsafat pendidikan menjadi ruang inspirasi, khususnya bagi para pendidik dalam melaksanakan ide-ide tertentu dalam pendidikan seperti; ke mana pendidikan di arahkan, siapa saja yang patut menerima pendidikan, bagaimana cara mendidik, serta apa peran pendidik?
- peran analisis, yaitu memeriksa secara teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya.
- filsafat pendidikan memiliki makna perspektif atau memberi pengarahan kepada pendidik dalam soal apa dan mengapa pendidikan itu.
- Peran investigatif, memeriksa dan mengkaji kebenaran suatu teori pendidikan.
3. Cabang filsafat pendidikan apa saja yang diperlukan untuk menjawab masalah-masalah utama pendidikan?
1). Metafisika/Ontologi Filsafat Pendidikan adalah cabang filsafat yang menyelidiki prinsip-prinsip realitas yang melampaui sains tertentu. Hal ini berkaitan dengan menjelaskan sifat dasar keberadaan dan dunia. Metafisika adalah studi tentang sifat sesuatu. Metafisika menanyakan hal-hal apa saja yang ada, dan bagaimana keadaan sesuatu. Hal-hal seperti apakah orang memiliki kehendak bebas atau tidak, dalam arti apa benda abstrak dapat dikatakan eksis, dan bagaimana otak bisa menghasilkan pikiran.
Metafisika ontologi pendidikan berkaitan dengan persoalan-persoalan mendasar tentang hal hakikat ikhwal pendidikan dalam ruang filsafat. Oleh karena itu, di sini pendidikan dikritisi dan pertanyaan secara mendasar; Apa sesungguhnya pendidikan itu? Di wilayah ontologis inilah dihadapkan dengan problem-problem asumsi dasar atau laandasan-landasan etis; mengapa manusia harus diarahkan dan dibimbing untuk menjadi baik?Â
Benarkah untuk menjadi baik manusia mesti diarahkan? Adakah jika tidak diarahkan dan dibimbing, manausia tidak akan mampu "menjadi" baik atau belum baik atau telah selalu menjadi jahat? Ataukah karena sejak awal manusia terlahir sebagai diri yang jahat, kemudian butuh diarahkan dan dibimbing agar bisa menjadi baik? Jika memang benar bahwa pada dasarnya manusia itu terlahir jahat dan untuk menjadi baik, ia butuh diarahkan atau dididik, kualitas jahat seperti apakah itu, yang hendak dijinakkan oleh pendidikan?
Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat realita di atas, kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan menurut Callahan (1983) yaitu :
a. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk spritual. Yang ada adalah jiwa atau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasikan diri, pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik, dan beberapa kaum Realis.
b. Manusia adalah organisme materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksprementalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat  kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
Metafisika/ontologi dalam hal ini merupakan analisis tentang objek materi dari pendidikan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti dalam pendidikan. Metafisika merupakan kajian tentang realitas ultim, di mana konsep apa pun dari pendidikan yang dipraktikkan manusia harus disandarkan pada fakta dan realitas, agar terlepas dari beragam ilusi dan angan-angan kosong.Â
Sebuah keyakinan metafisis yang berbeda membawa pada pendekatan dan sistem yang berbeda terkait dengan pendidikan. Bahkan keyakinan-keyakinan metafisis sangat mempengaruhi secara langsung terhadap isu-isu pendidikan, misalnya: isi terpenting dari kurikulum, sistem pendidikan apa yang harus diupayakan bagi individu dan masyarakat, peran guru, relasi pendidik dan anak didik, dan lain sebagainya. Dasar metafisik/ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan yaitu bagian yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan metafisik/ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang mendasar dari fondasi pendidikan.
2). EpistemologiÂ
Secara umum epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber, watak/sifat dan ruang lingkup kebenaran pengetahuan dan biasa disebut sebagai "teori pengetahuan". Dengan kata lain epistemologi adalah studi tentang sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Studi ini berusaha untuk menjawab pertanyaan dasar seperti, apa yang benar? bagaimana mengetahui yang benar? Jadi epistemologi mencakup dua bidang: isi pikiran dan berpikir itu sendiri. Atau dalam istilah pendidikan, kurikulum dan instruksi atau konten dan metode. Studi tentang epistemologi berhubungan dengan isu-isu yang berkaitan dengan ketergantungan pengetahuan dan validitas sumber melalui mana kita mendapatkan informasi.
Skeptisisme secara khusus mengklaim bahwa orang tidak dapat memperoleh pengetahuan yang handal dan bahwa setiap pencarian kebenaran adalah sia-sia. Pikiran itu diungkapkan oleh Gorgias (483-376 SM) dalam (Ornstein dan Levine, 2008), yang menegaskan bahwa tidak ada yang eksis, dan jika itu terjadi, kita tidak bisa tahu itu. Kebanyakan orang mengklaim bahwa realitas dapat diketahui. Namun perlu pembuktian melalui apa sumber-sumber realitas dapat diketahui, dan harus memiliki argumentasi atas konsep tentang bagaimana untuk menilai validitas pengetahuan.Â
Masalah mendasar kedua epistemologi adalah apakah semua kebenaran adalah relatif, atau apakah ada kebenaran yang mutlak. Apakah semua kebenaran dapat berubah? Apakah mungkin bahwa apa yang benar hari ini mungkin palsu besok? Jika jawabannya adalah "Ya" untuk pertanyaan sebelumnya, berarti kebenaran tersebut relatif. Namun, jika ada kebenaran mutlak, kebenaran tersebut abadi dan universal terlepas dari waktu atau tempat. Jika kebenaran mutlak ada di alam semesta, maka pendidik ingin menemukan dan membuatnya menjadi inti dari kurikulum sekolah.
(Knight,2007) mengemukakan bahwa dalam teori pengetahuan, ada beberapa aspek yang dianggap sebagai sumber pengetahuan yakni: panca indera, wahyu, otoritas, akal budi, dan intuisi. Bagi Knight, tidak ada satu sumber pengetahuan pun yang mampu memberikan manusia semua pengetahuan. Beragam sumber pengetahuan tadi harus lebih dilihat dalam sebuah hubungan yang saling melengkapi daripada sebagai sebuah pertentangan.Â
Memang benar bahwa sebagian banyak pemikir memilih satu sumber sebagai dasar utama di atas sumber-sumber lainnya. Sumber yang paling utama ini kemudian digunakan sebagai pijakan dalam menilai sarana-sarana untuk memperoleh pengetahuan lainnya. Namun, karena kebenaran tersebut diperoleh manusia melalui akal dan pancaindra, maka berbagai metode digunakan untuk mencapai kebenaran tersebut, seperti; metode induktif, deduktif, positivisme, metode kontemplatis, dan metode dialektis.
Sedangkan terkait dengan validitas pengetahuan manusia, ada beberapa teori yakni antara lain korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Teori korespondensi ialah pandangan yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih jika suatu proposisi bersesuaian dengan
realitas yang menjadi obyek pengetahuan. Teori koherensi ialah pandangan bahwa suatu proposisi (pernyataan atau pengetahuan) diakui benar jika proposisi itu memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika. Teori pragmatis merupakan pandangan yang menegaskan bahwa pengetahuan itu dianggap sahih jika memiliki konsekwensi kegunaan atau bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan.
Demikian halnya Reley dan Player (2010) dalam buku Philosophy of Education inthe Era of Globalization menegaskan bahwa akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi akal dan pengalaman, serta intuisi merupakan juga sebagai sarana mencari pengetahuan, sehingga dikenal model-model epistemologi seperti; empirisme, rasionalisme, positivisme, intuisionisme.
a). Empirisme
Berasal dari kata yunani empeirikos yang berasal dari kata empiera, berarti pengalaman. Menurut aliran ini pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, garam asin karena ia men-cicipinya. John locke (1632-1704) (dalam Reley dan Player, 2010) mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan yang masih kosong, pengalamanya mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga memiliki pengetahuan.Â
Pengalaman indra merupakan sumber pengetahuan yang benar. Teori ini disebut sebagai teori tabula rusa (meja lilin). Menurut Pring (2005) kelemahan aliran ini, seperti; indera terbatas, indera menipu, objek yang menipu, dan indra dan objek sekaligus. Aliran lain yang mirip dengan empirisme adalah sensasionalisme yaitu rangsangan indera secara kasar
b). Rasionalisme
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada di atas pengalaman inderawi. Jelasnya aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran terletak pada ide kita, dan bukanya pada diri barang sesuatu. Rene Descartes (1596-1650) dalam (Pring, 2005) menyatakan bahwa akal budi dipahami sebagai jenis perantara khusus yang dengan perantara tersebut dapat dikenal kebenaran, dan juga teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan berbagai kebenaran.
c). Positivisme
Positivisme merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak empirisme, dan dipertajam dengan eksperimen, sehingga secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan. August Compte (1798-1857) berpendapat bahwa indra itu sangat penting dalam memperoleh pengetahuan, namun harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.
d). Intuisionisme
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, tetap dan unik. Henri Bergson (1859-1941) beranggapan bahwa tidak hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas.Â
Dengan memahami keterbatasan  indera dan akal, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha, sehingga dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unique. Intuisi dalam hal ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
3). Â Aksiologi
Aksiologi adalah studi filosofis tentang nilai dari sesuatu. Aksiologi mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa itu nilai? Darimana nilai-nilai berasal? Bagaimana kebenaran nilai itu? Bagaimana kita tahu apa yang berharga? Apa hubungan antara nilai-nilai dan pengetahuan? Apakah ada jenis nilai?Â
Apakah dapat dinyatakan bahwa satu nilai lebih baik dari yang lain? Siapa yang diuntungkan dari nilai-nilai?. Pertanyaan tentang nilai-nilai berkaitan dengan pengertian tentang tanggapan seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu baik atau lebih baik. Aksiologi, seperti metafisika dan epistemologi, berdiri di bagian paling dasar dari proses pendidikan (Ornstein dan Levine, 2008).
Aspek utama pendidikan adalah pengembangan nilai-nilai. Dalam ruang kelas penampilan aksiologis seorang guru dalam penghayatan moral tidak dapat disembunyikan. Aksiologi memiliki dua kajian utama yaitu etika dan estetika. Etika adalah studi tentang nilai-nilai moral dan tindakan moral. Teori etika memberikan nilai-nilai yang tepat sebagai dasar untuk tindakan yang tepat. Apa yang baik dan jahat, benar dan salah? Apakah dibenarkan  mengambil sesuatu yang bukan milik Anda? Dengan demikian, sekolah harus mengajarkan konsep-konsep etis untuk siswa.
Cabang utama kedua dari aksiologi adalah estetika. Estetika adalah ranah nilai keindahan dan seni. Â Pengalaman estetis terikat pada dunia kognitif intelektual, tetapi juga melampaui kognitif ke ranah afektif karena fokusnya pada perasaan dan emosi.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa, aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari pendidikan, menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika dan estetika. Dasar aksiologis pendidikan mengacu pada kemanfaatan teori pendidikan sebagai ilmu yang otonom dan juga diperlukan untuk memberikan dasar yang baik bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab.Â
Dikatakan demikian, karena era kontemporer kini merupakan era yang dililiti kebingungan besar yang terus bergejolak. Perang dan konflik terus berlangsung tanpa henti, terorisme, kehancuran, pembakaran, penculikan, pembunuhan, penyalahgunaan narkoba, alkohol, percabulan, keretakan keluarga, ketidakadilan, korupsi, penindasan, konspirasi, dan fitnah, yang terjadi di seluruh dunia.Â
Pada pusaran kekacauan ini, aset manusia yang paling berharga sekarang hampir dilenyapkan. Hal ini mengakibatkan hilangnya martabat manusia pribadi, hilangnya tradisi yang dihormati, hilangnya martabat kehidupan, hilangnya saling percaya antara orang-orang, hilangnya otoritas orang tua dan guru.
Dalam pendidikan, konteks ini memainkan peran penting untuk penanaman nilai, seperti; kebenaran, keindahan dan kebaikan. Inilah sebabnya mengapa aksiologi membutuhkan dimensi pendidikan yang merupakan komponen dari dimensi ini?
Pertama, aksiologi, yang memproyeksikan sistem nilai, mengusulkan tujuan pendidikan di bawah bentuk tujuan aksiologis dan cita-cita.
Kedua, aksiologi terdiri dari nilai-nilai kemanusiaan atau universal dan spesifik untuk masyarakat umum untuk membentuk kepribadiannya. Karena itu porsi pendidikan adalah mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai yang menjamin identitas budaya masyarakat manusia.
Ketiga, keberadaan nilai membutuhkan pengetahuan dan pengalaman, karena itu dalam proses pendidikan dibutuhkan penekanan yang kuat pada aspek kognitif dan emosional. Dengan demikian, aksiologi merupakan cakrawala dari manifestasi kreativitas manusia, sedangkan pendidikan mempunyai fungsi-fungsi fundamental yang menumbuhkan daya kreatif individu dan komunitas manusia.Â
Karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu sumber daya fundamental bagi pembangunan sosial di masa depan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tanpa pendidikan, aksiologi akan kehilangan kekuatan hidup, dan tanpa cahaya aksiologi, pendidikan akan meraba-raba dalam kegelapan untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kehidupan.
Kilpatrick dalam bukunya "Philosophy of Education", (dalam Ping, 1999) menjelaskan pbahwa berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha; berfilsafat adalah memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan, dalam kepribadian manusia.Â
Mendidik adalah mewujudkan nilai-nilai yang dapat disumbangkan oleh filsafat, dimulai dengan generasi muda; untuk membimbing rakyat membina nilai-nilai di dalam kepribadian mereka, dan dengan cara ini pula cita-cita tertinggi suatu filsafat dapat terwujud dan melembaga di dalam kehidupan mereka."
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafatlah yang menetapkan konsep, ide-ide dan idealisme atau ideologi yang dibutuhkan sebagai dasar/landasan dan tujuan pendidikan. Sedangkan pendidikan merupakan usaha sadar agar ide-ide tersebut menjadi kenyataan dalam bentuk tindakan membentuk tingkah laku/kepribadian.
4) Penalaran/Logika
Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan penadapatnya secara tepat. Proses pembentukan pengetahuan baru menggunakan kerangka dasar logika adalah sebagai berikut. Bertambahnya pengetahuan seiring dengan proses perkembangan pola pikir manusia diawali dengan rasa ingin tahu tentang benda-benda di sekelilingnya, bahkan rasa ingin tahutentang dirinya sendiri. Adanya pikiran manusia menyebabkan rasa ingin tahu selalu berkembang.Â
Pikiran dapat mendayagunakan pengetahuan yang terdahulu dan kemudian menggabungkan dengan pengetahuan yang diperoleh hingga menghasilkan pengetahuan yang baru. Jika suatu pengetahuan yang terdahulu ada kekeliruan, sudah pasti terdapat suatu kebenaran sesudahnya. Seiring dengan perkembangan pola pikir manusia yang haus akan rasa ingin tahu melalui kajian-kajian ilmu pengetahuan maka pada akhirnya melahirkan pengetahuan yang ilmiah.Â
Kerangka berpikir yang berintikan proses logico-hypotheticoverifikasi ini pada dasarnya membentuk pengetahuan ilmiah melalui langkah-langkah sebagai berikut: (a.) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya. (b). Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan bentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.Â
(c). Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan. (d). Pemilihan kerangka konseptual yang tepat pada sebagaian besar peneliti ditentukan oleh landasan pertama berpikir deduktif; analisis teori, konsep, prinsip, premis yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. (d). Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan faktafakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.Â
Hal ini sejalan dengan landasan kedua berpikir induktif, analisis penelusuran hasil penelitian orang lain yang mendahului, pengalaman, fakta yang terkait dengan masalah dan tujuan penelitian. (e). Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu di tolak atau diterima.Â
Seandainya dalam pengujian terdapat fakta-fakta yang cukup dan mendukung, maka hipotesis tersebut akan diterima dan sebaliknya jika tidak didukung fakta yang cukup maka hipotesis tersebut ditolak. Hipotesis yang diterima dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
SUMBER BACAAN
- Brennen M., Annick.1999. Philosophy of Education. Jamaica: Northern Caribbean University
- Gandhi, W., Teguh. 2011. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media
- Jalaluddin & Idi Abdullah. Â 2013. Filsafat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
- Ornstein, C., Allan dan Levine U. Daniel. 2008. Â Foundations of Education. New York Houghton Mifflin Company
- Pring, Richard. 2005. Philosophy of Education. New York: Continuum
- Raley, Yvonne, and Preyer, Gerhard. 2010. Philosophy of Education in the Era of Globalization. New York: Routledge 270 Madison Ave
- Rosenberg, Alex.2005. Â Philosophy of Science. New York: Routledge 270 Madison Ave
- Salmon H., Merrilee, dkk., 1992. Introduction To The Philosophy Of Science. Cambridge: Prentice-Hall, Inc.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H