Mohon tunggu...
W. Efect
W. Efect Mohon Tunggu... Penulis - Berusaha untuk menjadi penulis profesional

if you want to know what you want, you have to know what you think

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ancaman

8 April 2020   19:24 Diperbarui: 8 April 2020   19:38 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku heran, sudah tiga hari ini, dik Lastri tidak masuk sekolah, padahal nggak musim liburan. Melihat kondisi tubuhnya sih sehat-sehat saja, tapi mengapa tidak memberi alasan jelas sewaktu kutanya. Ibu sendiri hanya dibilang kalau SMP-nya sedang pesiar ke Bali selama seminggu. 

Alasan seperti itu tidaklah tepat kiranya sebab aku sendiri mendengar dari teman sekelasnya yang tinggal di kampung sebelah, dia kata tidak sedang piknik sekolahnya.

Wah... ini pasti telah terjadi sesuatu, apakah soal SPP yang belum bayar selama tiga bulan sehingga di skores. Ah itu mustahil sekolahnya berbuat sewenang-wenang begitu, atau barangkali menyalahi sesuatu.

Aku berusaha untuk mencari jawab supaya dia mau jujur mengungkapkan apa yang sebenarnya bergalau dalam dirinya, kalau tidak ? bisa gawat, bisa menyebabkan ketidaknyamanan dalam pikirannya, dan bisa berbuat sesuatu diluar nalarnya. Toh beberapa kasus bisa juga begitu, seperti yang terjadi di Borobudur beberapa tahub lalu. Cewek lagi plus wajah tidak begitu jelek.

Hujan yang menguyur tanah ini membuat aku berteduh pada sebuah rumah, disana sudah ada beberapa orang yang ngeyup. Yah ... aku harus ke sekolahnya, setidak-tidaknya bapak atau ibu guru sedikit paham permasalahan.

Jam delapan sudah nyampai disana, rencanaku menemui langsung pada bapak kepsek, namun beliau baru bertugas di Kanwil. Dari pada menunggu terlalu lama aku meminta kepada guru jaga supaya dapat menemui guru BK.

Akupun diajak keruang BK. Suasana di kelas-kelas nampak tenang, Cuma ruang kelas dekat ruang BK agak ramai. Aku berusaha untuk menengok kedalam ternyata belum ada guru yang ngisi dikelas itu.

Pak Hariman selaku guru BK tidak habis mengerti kenapa dik Lastri enggan ke sekolah. Jawaban yang aku dapatkan juga tidak jauh berbeda dengan beberapa teman dik Lastri yang pernah aku hubungi sebelumnya. Baru setelah pak hariman memanggil salah satu teman akrab dik Lastri ada sedikit kejelasan walau masih tetap menjadi pertanyaan besar kenapa?

Dik Tini mengatakan kalau dik Lastri ada sedikit pertentangan dengan seorng temannya. Temannya yang dimaksudkan adalah seorang siswa SMA yang menurut pengakuannya setelah mengenali betnya memastikan pertengkaran tersebut dengan seorang cowok SMA Bopkri.

Penjelasan dari dik Tini itu memberikan sedikit gambaran, aku pun segera memotret beberapa persahabatan dik Lastri dengan teman-teman di kampung yang sebaya dengan dik Lastri. Aku juga berusaha menanyakan pada dik Tini apakah ia mengenal cowok tersebut, yang dijawab gelengan kepala.

Yah.... Hanya sedikit informasi saja dapat aku ketahui, tapi dari yang sedikit itu dapat memberikan gambaran arah, memperjelas pada inti persoalan adikku, hal ini juga supaya dik Lastri mau jujur utuk mengungkapkan supaya persoalannya dapat cepat diatasi.

***

Walaupun sudah hampir seminggu dik Lastri tidak masuk sekolah, rupanya belum ada tanda-tanda ngikutin pelajaran kembali. Banyak waktu terbuang percuma hanya di habiskan untuk tiduran. Minat untuk membantu pekerjaan dapur juga semakin tidak ajek hingga aku merasa kasihan pada ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.

Ah... jika bapak masih sugeng tentu bisa memberikan arahan-arahan bagaimana sebaiknya yang harus kami kerjakan. Ibu sendiri selama ini lebih banyak bersifat masa bodoh dan nampaknya menerima begitu saja hidup dalam keluarga yang terasa lamban perubahan. 

Pernah kusebut hasil analisa seseorang tentang bagaimana menambah income keluarga, tapi tak mau mengomentari. Yah... dasar udah narimo ing pandum begitu kata hatiku.

Aku melangkah ke kamar bapak, kamar itu terletak di sebelah barat sentong tengah. Ibu tidak memperbolehkan kamar itu dibersihkan, katanya sih buat kenangan semasa masih bersama dengan bapak.

Sebuah potret ditaburi debu terpajang diatas meja. Sejenak debu itu aku tiup, kaca dan piguranya segera kubersihkan. Aku pandangi wajah bapak yang gagah. 

Sebagai pejabat, banyak di segani oleh masyarakat, ia termasuk orang yang luwes dalam pergaulan. Ia pernah mengatakan kepadaku bahwa didunia ini tanpa adanya hubungan dengan orang lain akan sulitlah bagi manusia untuk memecahkan persoalan.

Yah..... orang lain, di rumah ini juga ada orang lain, ada dik Lastri dan ada juga ibu, ibu sendiri lebih banyak pasrah tanpa harus berusaha untuk menuju hal yang lebih baik. "aku harus bisa menjawab pertanyaan bapak itu terutama masalahnya dik Lastri." Begitu kata hatiku.

Masalahnya dik Lastri adalah masalahku juga termasuk ibu. Usaha apa untuk memecahkan persoalannya. Aku memang harus menemukan orang lain. Dik Lastrilah orang lain yang mampu menjawab tantangan hidupnya.

Aku sendiri lalu meninggalkan kamar bapak, kulihat kamar dik Lastri masih tertutup terkunci. Aku berusaha untuk memanggilnya, namun tidak ada jawab dari dalam kamarnya, ku ulangi sampai beberapa kali, bahkan untuk yang terakhir sedikit aku keraskan volume suaraku. Samar-samar kudengar kursi mulai digeser, tak berapa lama pintu dibuka.

"Kamu baik-baik saja khan." Begitu kata yang aku pakai untuk membuka pertanyaan berikutnya. Ia menganggukan kepala. Wajahnya nampak murung, bahkan ada rasa takut. Dan ini yang aku kawatirkan kalau hal itu berlangsung terus akan bisa terjadi hal yang tidak diinginkan.

Ada sedikit keanehan. Kenapa? Aku berusaha berpikir keras supaya mau mengatakan apa yang bergalau dalam pikirannya. Apakah pertengkaran tempo hari seperti yang dikatakan di Tini. Mungkinkah ada kaitanya dengan bercinta?

"ada apa mas." Kata dik Lastri ketika melihatku gelengkan kepala, sambil memandangi pohon ketela terhampar didepan.

"Aku ingat sesuatu dimasa lalu."

"Tentang apa mas?"

"Yah tentang suatu persitiwa yang pernah menimpa keluarga kita. Waktu itu...." Begitu aku memulai cerita tentang lik Wakidi yang kalap, ia berusaha untuk membunuh bapak dengan menggunakan parang. Kamu tahu sendiri khan, aku terluka kena sabitannya hingga harus dirawat di rumah sakit beberapa hari. Tapi aku sendiri juga tak habis pikir mengapa lik Wakidi berbuat begitu.

"Mas udin juga pernah bertengkar dengan lik Wakidi setelah sembuh."

"Benar begitu. Dengan adanya pertengkaran, walau aku masih tetap menjaga diri jangan sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita bersama. Untung saja pak kadus segera datang, entah siapa yang memberitahukan."

"Kelanjutannya bagaimana mas." Sejenak kupandangi wajah dik Lastri yang mulai interest berkata-kata. Aku berusaha untuk menjelaskan apa motivasi lik Wakidi, kenapa sering bertengkar dengan bapak, ia berusaha untuk menguasai harta warisan tinggalan kakek. 

Karena emosi yang tidak terbendung bisa kalap, bahkan kalau memang tidak bisa dikendalikan dan terus menahan pikiran yang berkecamuk itu boleh jadi bisa menjadi gila.

Dik Lastri menanyakan kenapa bisa begitu, akupun berusaha untuk mnjelaskan, sebenarnya hal itu juga tergantung berat ringannya persoalan yang tengah dipikirkan. 

Kalau terlalu berat memikirkan bisa ngomyang. Pernah juga hal itu terjadi dialami oleh salah seorang temanku. Begitu dik lastri suntuk mendengarkan apa yang aku sampaikan.

Nama temanku itu, Tarno dia tengah menyelesaikan akhir studinya, membuat skripsi, dosennya yang sulit ditemui apalagi termasuk juag dosen yang forgetfull. Misalnya gini, hari ini sudah diacc waktu mengajukan ke bab berikutnya masih menanyakan bab sebelumnya, akhirnya cukup lama juga selesainya, lebih dari setahun hanya untuk konsultasi.

Ia kemudian banyak menyendiri, sering kancing kamar, jika ada seorang temannya hendak menemui di bilang sibuk. Waktu ku perhatikan di kamus, dia tuh..sering senyum-senyum sendirian waktu melangkah.

"Oh..." aku melihat dik Lastri mendesah sambil menundukkan kepala. Kelihatan sekali wajahnya diliputi rasa takut

"Ada apa?" tanyaku yang tidak segera dijawab, bahkan tunduknya semakin menunduk. Sekali ku Tanya adapa?

Ia nampak terkejut dan bilang, "Nggak apa-apa mas."

Dik Lastri belum mau menjawab bahkan ia menatapku dengan tatapan sendu. Aku diam saja menunggu reaksi yang akan dikatakan oleh dik Lastri. Sekalipun agak terbata, akhirnya ia mau mengatakan juga, bahkan ia sempat mengatakan kalai berbohong kepadaku.

Dikatakan kalau ada seseorang yang menjelek-jelekkan ibu. Ia merasa mau berkumpul dengan teman-temannya. Hal yang tidak diketahui olehnya kalau yang menjelek-jelekkan itu tidak diketahui nama. 

Dan itu merupakan persoalan tersendiri kenapa seseorng menjelek-jelekkan ibu tanpa diketahui siapa orangnya, Cuma dikata kalau betnya tertulis SMA Bopkri sama seperti yang dikatakan dik Tini.

Bahkan dia memakai ancaman bila apa yang ia katakana dibertitahukan pada yang lainnya. Aku termenung memikirkan hal itu. Yah... semuanya masih ngambang, tapi aku juga sadar jika dik Lastri nggak mau masuk juga. Repot jadinya, ku kira ancaman itu yang membuat ia enggan bersekolah.

Dia kuminta untuk mau masuk kembali ke sekolah, tapi masih pada pendiriannya. Rasa takutnya telah menjadikan dirinya semakin terkurung dan selalu was-was jika bicara kepada orang lain selain anggota keluarga.

Aku tetap mendesaknya untuk mau masuk sekolah. Akhirnya ia mau juga dan aku harus meluangkan waktu untuk mengantarkan. Tak apalah, demi cinta-cita adikku,

We 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun