***
Walaupun sudah hampir seminggu dik Lastri tidak masuk sekolah, rupanya belum ada tanda-tanda ngikutin pelajaran kembali. Banyak waktu terbuang percuma hanya di habiskan untuk tiduran. Minat untuk membantu pekerjaan dapur juga semakin tidak ajek hingga aku merasa kasihan pada ibu yang mengerjakan pekerjaan rumah sendirian.
Ah... jika bapak masih sugeng tentu bisa memberikan arahan-arahan bagaimana sebaiknya yang harus kami kerjakan. Ibu sendiri selama ini lebih banyak bersifat masa bodoh dan nampaknya menerima begitu saja hidup dalam keluarga yang terasa lamban perubahan.Â
Pernah kusebut hasil analisa seseorang tentang bagaimana menambah income keluarga, tapi tak mau mengomentari. Yah... dasar udah narimo ing pandum begitu kata hatiku.
Aku melangkah ke kamar bapak, kamar itu terletak di sebelah barat sentong tengah. Ibu tidak memperbolehkan kamar itu dibersihkan, katanya sih buat kenangan semasa masih bersama dengan bapak.
Sebuah potret ditaburi debu terpajang diatas meja. Sejenak debu itu aku tiup, kaca dan piguranya segera kubersihkan. Aku pandangi wajah bapak yang gagah.Â
Sebagai pejabat, banyak di segani oleh masyarakat, ia termasuk orang yang luwes dalam pergaulan. Ia pernah mengatakan kepadaku bahwa didunia ini tanpa adanya hubungan dengan orang lain akan sulitlah bagi manusia untuk memecahkan persoalan.
Yah..... orang lain, di rumah ini juga ada orang lain, ada dik Lastri dan ada juga ibu, ibu sendiri lebih banyak pasrah tanpa harus berusaha untuk menuju hal yang lebih baik. "aku harus bisa menjawab pertanyaan bapak itu terutama masalahnya dik Lastri." Begitu kata hatiku.
Masalahnya dik Lastri adalah masalahku juga termasuk ibu. Usaha apa untuk memecahkan persoalannya. Aku memang harus menemukan orang lain. Dik Lastrilah orang lain yang mampu menjawab tantangan hidupnya.
Aku sendiri lalu meninggalkan kamar bapak, kulihat kamar dik Lastri masih tertutup terkunci. Aku berusaha untuk memanggilnya, namun tidak ada jawab dari dalam kamarnya, ku ulangi sampai beberapa kali, bahkan untuk yang terakhir sedikit aku keraskan volume suaraku. Samar-samar kudengar kursi mulai digeser, tak berapa lama pintu dibuka.
"Kamu baik-baik saja khan." Begitu kata yang aku pakai untuk membuka pertanyaan berikutnya. Ia menganggukan kepala. Wajahnya nampak murung, bahkan ada rasa takut. Dan ini yang aku kawatirkan kalau hal itu berlangsung terus akan bisa terjadi hal yang tidak diinginkan.