Sudah beberapa hari ini aku datang di kantor redaksi dimana Airin bekerja. Nampaknya dia termasuk orang yang sibuk sehingga beberapa kali tidak dapat menemuinya. Jawaban sekretaris Redaksi sendiri cukup membosankan, dia bilang Airin sedang pesiar mencari data-data.Â
Yahh.. akhirnya hanya sekedar keluar masuk kantor kayak orang penting, padahal sih hanya pengin bertemu dengan seseorang saja. Mending kalau karya pas dimuat hingga ada alasan untuk mengambil honornya.
Pernah suatu hari sempat berpapasan dengan Airin, dia agak gagap bicaranya sewaktu aku sapa, bahkan dengan ringannya bilang belum besedia bicara.
"Aku masih sibuk, tolonglah sedikit pengertianmu." Haya begitulah Airin sering bicara dengan kesibukan sebagai alasannya.
Aku sendiri masih cukup bersabar, terasa semakin aku belajar kesabaran, batin ini terasa bergolak. Ada sesuatu yang membuat untuk segera menemuinya, walau jika disadari, Airin sekedar teman biasa.Â
Tutur katanya yang lembut plus kejujurannya, apalagi perhatiannya kepadaku masih terasa melintas-lintas dalam pikiran, ini bukan karena GR-lo, tapi sungguh agak lain perhatiannya, kenapa Airin memiliki perhatian khusus kepadaku, kalau bukan karena Airin niscaya tak mengerti tabiat Dian yang seneng nyebar issue. Yah... mengapa demikian besar perhatian Airin kepadaku?
Tidak hanya itu saja, masih banyak perhatian yang selalu ditujukan kepadaku. Hal-hal yang begituanlah yang membuat tingkat kesabaranku ini menjadikan suatu hal yang ambisius hanya untuk mengethai who is Airin? Apa yang menjadikan latar belakang Airin begitu besar memperhatikanku.
Dengan agak malas aku berjalan perlahan meninggalkan kantor redaksi, di luar, berusaha untuk mengedarkan pandangan jauh-jauh, ku hela napas panjang, di kejauhan selarik awan agak hitam tengah dipermainkan angin. Mataharipun kadang bersembunyi dibalik awan.
Hari itu aku tidak ke Kampus, motor segera aku larikan ke Shoping, aku berharap disana ada yang menarik perhatianku, disamping bias bolak-balik Koran bias juga mencari buku-buku referensi dengan harga murah.
***
Barangkali Airin memang enggan bicara, sebab ketika kucoba sekali lagi menemui di kantornya, kerut wajah mbak Ratih mencerminkan kekesalan, bahkan seorang lelaki yang menurut perkiraanku seorang wartawan ikut-ikutan jengkel dia berusaha lebur dalam pembicaraan kami.Â
Dia justru mengatakan agar aku jangan mengganggu Airin karena Airin memang sangat repot dengan waktunya. Tanpa banyak bicara aku segera meninggalkan kantor Airin.
Kata-kata lelaki itu terasa merupakan cambuk sekaligus upaya menarik minatku untuk bicara empat mata dengan Airin. Yah... aku harus bias menyadari, memang tidak sepantasnya membicarakan tentang Airin. Soal masa lalu biarlah tetap menjadikan sebuah kenangan yang tidak harus berulang kembali.
Akupun berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berkecamuk ini soal Airin secara total. Meski agak sussah juga namun aku tetap berusaha melupakannya, aku berusaha untuk mengadakan perjalanan di daerah pegunungan.
Udara segar di Kaliurang cukup memberikan kenikmatan tersendiri. Tak jarang hari yang berganti aku habiskan waktu disana. Suatu hari, aku dikagetkan oleh tiga motor yang diparkirkan di rumah, deru motorku yang mulai masuk halaman rumah membuat beberapa diantara mereka berusaha menengok, aku memang tidak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan, samar-samar ku dengar, suara Efi dan Putri.
Aku tidak segera masuk ruang tamu. Dari depan kamar belajar ibu berjalan perlahan kearahku, ia mengatakan kalau sudah seminggu aku tidak masuk kuliah. Aku hanya diam saja, sudah pasti teman-temenku yang sudah laporan sama ibu. Sekalipun ibu ngomel, aku biarkan saja. Malu bila kedengaran temen-temen.
Kamipun saling bersalaman dan saling member kabar. Walau aku sedang dalam keadaan tidak baik, tetap aku jawab kabar baik, supaya teman-teman tidak curiga tentang keadaanku.Â
Rupanya Putri ingin mengetahui sejelas-jelasnya apa yang aku lakukan kenapa tidak masuk Kuiah selama seminggu. Aku sendiri hanya bilang lagi ada acara mendadak. Itupun tidak menjadikan jawab menghiyakan Putri, namun akupun tidak lagi menanggapi maunya Putri. Kami segera lebur dengan pembicaraan-pembicaraan seputar perkuliahan.
Putri rupanya masih penasaran denganku, Nampak sekali sewaktu bertemu di Kampus ia berusaha untuk mencari tahu lebh jauh kenapa tidak masuk Kuliah. Aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ke lain persoalan, meski begitu putrid hanya nampak berkerut dan terasa tidak mau menerima jawab yang aku berikan kepadanya.
Dikampus aku lebih banyak berdiam diri, rasanya susah ngomong seperti biasanya. Keadaan seperti itu tidaklah berlangsung lama sebab akhirnya aku bias menghilangkan pikiran-pikiran tentang Airin. Soal perkuliahan sudah mulai stabil lagi.
Memang ada benarnya jika dunia ini banyak peristiwa-peristiwa yang terkadang sulit ditembus oleh mata hati. Bagaimana tidak, sewaktu kehidupan mulai berjalan pada kewajaran tiba-tiba dating sepucuk surat untukku.Â
Dalam sampul surat berwarna merah jingga itu ditulis juga alamat dan nama pengirim. Isi syurat itu cukup siangkat "Aku memperhatikanmu terdorong rasa kasihan, diaamping kepadamu namun juga semacam mandate dari seseorang temanmu untuk memperhatikanmu. Jika kamu memang berniat untuk berbicara soal ini datanglah dua hari lagi, pagi jam Sembilan sebagaimana sudah aku tulis alamatnya dalam surat ini. Dariku Airin."
Mengapa harus airin lagi ya, kiranya aku sudah mulai melupakannya, namun kenapa harus muncul surat ini, aku jadi tidak mengerti, pada saat aku pengin bertemu, rasanya susah sekali, pada saat aku sudah dapat melupakan, justru ia pengin ketemu, namun ada yang lebih menarik lagi siapa yang menyuruhnya untuk memperhatikanku itu, demikian besar perhatian Airin pada salah satu temanku itu.
Sulit kiranya menjawab segera, sebab hari dimana airin menentukan waktu. Bersamaan dengan acara diskusi panel, Rudi telah menunjukku sebagai pembicara tunggal.
Bagaimana ini? Semua permasalahan itu mengharuskan aku hadir. Airin sendiri termasuk orang yang sibuk tentu memilih hari sudah diperhitungkan masak-masak, sementara dalam diskusi pnel itu sudah direncanakan juga harinya.
Problem baru itu membuat pusing tuju keliling. Dipikir-pikir semakin membuat susah untuk mengambi keputusan. Bagaimanapun juga harus dapat kujawab permasalahan tersebut.Â
Aku harus kerumah Airin terlebih dahulu dan aku segera menyerahkan naskah kepada Rudi dan bilang kalau agak terlambat karena baru ada urusan yang tidak bias ditunda. Yah.. hanya itu yang bias aku sampaikan pada Rudi, semoga ia mau mengerti.
***
Sebenarnya aku sudah berusaha untuk datang ketempat dimana Airin menentukan, namun aku tidak menjumpai Airin disana, ia titip pesan pada seseorang, dlam secarik kertas ditulisnya kalau aku tidak tepat waktu dan ia masih memberikan waktunya pada hari yang sama namun jamnya setelah seiblan malam.
Hal yang tidak aku duga, ternyata Airin dating juga dalam diskusi panel di kampusku, ini cukup melegakan dan waktu yang berjalan perlahan namun pasti, diskusi berakhir. Ketika aku meminta Airin untuk tidak pulang terlebih dahulu ia menganggukkan kepala.
Setelah selesai diskusi panel memang masih terlihat beberapa mahasiswa yang menanyakan beberapa hal padaku namun akhirnya satu persatu meninggalkan balairung.
Airin duduk disebelahku, aku berusaha untuk menanyakan sebenarnya apa yang terjadi. Airin mengungkapkan tentang Tantri, dimana ada unsusr keterpaksaan nikahnya Tantri, "kamu akan pangling bila bertemu dengan Tanrtri.?" Begitu kata Airin setelah mengakhiri ceritanya.
"Mosok, apakah begitu banyak perubahannya?" Jawabku, Airin pun segera bercerita lagi tentang Tantri yang menurutnya ia bertubuh kurus, banyak mengeluh, dan menyesal telah mengambil keputusan untuk menikah.
"Tapi bukankah bukan waktunya untuk menyesal pada saat keputusan itu sudah terjadi." Aku menyela apa yang dikatakan oleh Airin
"Kenapa begitu." Tanya Airin.
"Anak... yah .. dia tentu akan memiliki tanggungan seorang anak, dia tentu akan berbahagia dengan anaknya. Dan itu yang seharusnya dipikirkan sekarang." Airin diam sesaat, lalu melanjutkan ceritanya tentang Tantri.
Bagaimanapun juga Tantri adalah masa laluku, memang aku tidak bisa berbuat apa-apa sewaktu ada keputusan menikah, walau ia sudah mengatakan padaku waktu itu kalau dijodohkan oleh orang tuanya dan ia hanyalah seorang wanita yang tidak bisa berbuat apa-apa sewaktu kedua orang tuanya meminta untuk segera menerima pinangan dari Andri.
Keterbukaan Airin kali ini memang ada benarnya, ia sebagai tangan kanan Tantri dan aku sebenarnya juga merasa kasihan pada Tantri namun juga tidak dapat berbuat apa-apa. Biarlah waktu yang akan menentukan.
WE 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H