Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Identitas Sosial dan Kita yang (Selalu) Ingin Menjadi Bagian

18 November 2024   09:24 Diperbarui: 18 November 2024   12:57 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hi Kompasianer!

Sadarkah bahwa ternyata kita selalu ingin menjadi bagian. Baik baik dari keluarga, dari kampung halaman, juga dari kelompok bermain, atau bahkan dari ruang maya yang tidak pernah kita jamah secara fisik. Henri Tajfel, adalah seorang psikolog kelahiran Polandia, memberikan bingkai yang sederhana, tetapi juga kompleks untuk fenomena dalam kajian Teori Identitas Sosial. Dalam tumpukan buku teks akademik yang mungkin terlihat kaku, teori ini justru seperti benang merah dalam hidup kita yang sering berkelok-kelok.

Apa yang ditawarkan Tajfel? Bahwa manusia ternyata punya kecenderungan melebur dalam kelompok tertentu, membentuk identitas sosialnya di sana, lalu (sayangnya) manusia juga suka melirik kelompok lain dengan sudut pandang miring atau negatif. Tajfel, dalam eksperimen kecilnya yang sering disebut Minimal Group Paradigm, menemukan bahwa hanya dengan membagi manusia secara acak, misalnya, siapa yang suka manga Naruto atau One Piece saja mereka sudah mulai membela kelompoknya sendiri. Begitu sederhana, tetapi juga begitu rumit.

Sebaliknya, apa jadinya jika teori ini diterapkan dalam skala yang jauh lebih besar, seperti dalam politik, media sosial, atau hubungan antar etnis? Bagaimana teori ini dapat membantu kita memahami tantangan di masyarakat yang semakin terfragmentasi? Kita akan bahas di bawah ini.

(Sumber: Tafjel 1979)
(Sumber: Tafjel 1979)

Menggali Lebih Dalam, Tiga Pilar Identitas Sosial

Ketika Tajfel membagi teori ini ke dalam tiga pilar kategorisasi, identifikasi, dan perbandingan sosial, ia sebenarnya sedang menggambarkan inti dari perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Mari kita uraikan lebih lanjut.

1. Kategorisasi Sosial

Manusia menciptakan kategori untuk mempermudah memahami dunia. Ini adalah mekanisme alami yang membantu otak kita memproses informasi dengan cepat. Namun, mekanisme ini membawa risiko: kategorisasi sering kali mereduksi individu menjadi stereotip.

Contoh Aktual: Polarisasi Politik di IndonesiaDalam konteks politik, kategorisasi ini terlihat dalam pembagian kubu "cebong" dan "kampret" selama Pemilu 2019. Identitas politik direduksi menjadi dua kubu yang saling bertentangan, menghapus kompleksitas individu. Padahal, banyak orang mungkin memiliki pandangan politik yang tidak sepenuhnya sesuai dengan salah satu kelompok tersebut.

Kutipan dari Erich Fromm memperkaya refleksi ini: "Manusia memiliki kebutuhan untuk masuk ke dalam kerangka sosial tertentu, meskipun kerangka itu dapat mempersempit kebebasannya." Kategorisasi menciptakan kenyamanan, tapi juga belenggu.

2. Identifikasi Sosial

Identifikasi adalah proses di mana kita mulai merasa bahwa kelompok tertentu mencerminkan diri kita. Kita melebur dalam kelompok itu dan mengadopsi nilai-nilainya. Dalam hal ini, identitas menjadi pedang bermata dua: ia dapat memberikan rasa aman, tetapi juga dapat memperkuat prasangka-prasangka.

Fenomena "Bubble Effect" di Media Sosial era digital, identifikasi sosial semakin diperkuat oleh media sosial. Algoritma mempelajari preferensi kita dan memberikan konten yang sesuai dengan kelompok kita. Hal ini memperkuat "bubble effect," di mana kita hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan identitas kita.

Studi oleh Journal of Digital Society (2024) menemukan bahwa 78% pengguna media sosial di Indonesia lebih sering berbagi berita dari kelompok yang sama, terlepas dari validitasnya. Fenomena ini menciptakan ruang gema (echo chambers), memperkuat bias kelompok, dan mempersulit dialog lintas identitas.

3. Perbandingan Sosial

Langkah terakhir adalah perbandingan sosial, di mana kita mulai menilai kelompok kita lebih baik dari pada kelompok lain. Dalam eksperimen Minimal Group Paradigm, hasilnya terlihat dari bagaimana peserta ternyata memberikan lebih banyak hadiah kepada kelompok mereka sendiri.

Terdapat banyak model ancaman identitas dalam konflik sosial dalam kehidupan nyata, salah satunya ialah biasanya terjadi akibat perbandingan sosial dapat menjadi pemicu konflik. Ketika satu kelompok merasa identitasnya terancam, mereka sering merespons dengan sikap defensif atau agresif. Contoh klasik adalah konflik Ambon dan Poso, di mana adanya perasaan terpinggirkan oleh kelompok lain memicu kekerasan dan pertikaian.


Identitas Sosial di Era Digital, Refleksi dan Tantangan Baru

Simbolisme Identitas di Dunia Maya

Di dunia maya, identitas sosial muncul dalam berbagai bentuk simbolis: seperti tagar, emoji, atau bahkan penggunaan istilah tertentu. Simbol ini menjadi cara untuk mengekspresikan keanggotaan dalam kelompok, tetapi juga dapat memperkuat polarisasi.

Misalnya, tagar seperti #KamiBersamaUlama atau #SayaPancasila menciptakan kesan bahwa ada dua kubu yang saling berseberangan. Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai katalisator untuk memperkuat identitas kelompok, tetapi juga memperlebar jurang perbedaan.

Filter Bubble dan Polarisasi

Filter bubble adalah fenomena di mana algoritma media sosial hanya menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi kita. Ini menciptakan ilusi bahwa semua orang di sekitar kita memiliki pandangan yang sama, sementara pandangan alternatif hampir tidak terlihat sama sekali.

Solusi yang dapat diambil ialah meregulasi algoritma, ternyata ini adalah langkah penting untuk mencegah polarisasi. Misalnya, platform media sosial dapat didesain untuk menampilkan konten yang mendorong dialog lintas kelompok. Inisiatif ini telah diuji di negara-negara Skandinavia dengan hasil yang menjanjikan.

Kritik, Mengapa Tajfel Perlu Ditinjau Ulang?

Meskipun teori Tajfel memberikan wawasan yang sangat relevan, ia juga memiliki keterbatasan.

1. Fokus pada Konflik, Bukan Kerja Sama

Tajfel terlalu fokus pada kompetisi antar kelompok dan mengabaikan potensi kerja sama. Padahal, dalam masyarakat seperti Indonesia, tradisi seperti gotong royong menunjukkan bagaimana identitas sosial dapat menjadi alat penyatuan.

2. Kekakuan Eksperimen

Eksperimen Minimal Group Paradigm dianggap terlalu sederhana untuk merefleksikan kompleksitas dunia nyata. Dalam kenyataan, hubungan antar kelompok dipengaruhi oleh sejarah, kekuasaan, dan ketidaksetaraan ekonomi, yang tidak tercermin dalam eksperimen Tajfel.

3. Identitas yang Cair di Era Globalisasi

Globalisasi menciptakan identitas yang lebih cair. Generasi muda Indonesia lebih sering mengidentifikasi diri sebagai "warga dunia" dari pada bagian dari kelompok lokal. Ini menunjukkan bahwa identitas sosial tidak selalu statis atau berbasis lokalistik saja.

Menuju Solusi, Pelajaran dari Tajfel

1. Pendidikan Multikultural

Pendidikan adalah alat paling ampuh untuk membangun kesadaran lintas kelompok. Kurikulum yang menanamkan nilai keberagaman dapat membantu siswa memahami bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan ancaman.

Inspirasi dari Finlandia, di Finlandia, kurikulum pendidikan menekankan kerja sama antar kelompok. Siswa diajak untuk memahami budaya lain melalui simulasi dan proyek lintas kelompok. Indonesia dapat mengambil inspirasi dari pendekatan ini.

2. Kebijakan Publik yang Inklusif

Kebijakan publik harus dirancang untuk memperkuat dialog lintas kelompok. Misalnya:

  • Pertukaran Pelajar Lintas Daerah: Program ini dapat memperkuat rasa kebangsaan di antara siswa dari latar belakang yang berbeda.
  • Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB): FKUB dapat diperkuat untuk menjadi ruang dialog antar kelompok agama.

3. Regulasi Media Sosial

Media sosial adalah arena baru untuk membentuk identitas sosial. Pemerintah dapat bekerja sama dengan platform digital untuk mengurangi bias algoritma dan mempromosikan konten edukatif dengan wawasan kebangsaan.

Refleksi Filosofis, Identitas Sebagai Tembikar Retak

Identitas sosial, seperti tembikar tua, penuh retakan tetapi tetap memiliki nilai estetika. Retakan itu adalah bagian dari sejarahnya, tetapi ia tidak harus menjadi alasan untuk hancur dan runtuh. Henri Tajfel mengingatkan kita bahwa identitas sosial adalah proses, sesuatu yang bisa kita bentuk dan dikelola dengan baik.

Erich Fromm menambahkan perspektif yang relevan: "Manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu sering kali membuatnya takut sehingga ia kembali mencari perlindungan dalam kelompok." Identitas sosial adalah perlindungan itu, tetapi kita harus memastikan bahwa ia tidak menjadi penjara.

Membangun Jembatan, Bukan Dinding

Pada akhirnya, identitas sosial adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia memberikan makna, rasa aman, dan tujuan. Tetapi ia juga membawa risiko berupa prasangka, konflik, dan polarisasi.

Dunia modern memberikan kita pilihan, apakah kita akan terus mempertajam garis antara "kami" dan "mereka," ataukah kita mulai menghapus garis itu, menciptakan ruang yang inklusif untuk semua? Seperti tembikar yang diperbaiki dengan emas dalam tradisi Jepang kintsugi, kita dapat menjadikan retakan dalam identitas kita sebagai sumber keindahan dan kekuatan.

Pilihan ada di tangan kita. Dan seperti kata Tajfel, "The future of social harmony depends on how we understand and manage our shared identities."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun