Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Identitas Sosial dan Kita yang (Selalu) Ingin Menjadi Bagian

18 November 2024   09:24 Diperbarui: 18 November 2024   12:57 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inspirasi dari Finlandia, di Finlandia, kurikulum pendidikan menekankan kerja sama antar kelompok. Siswa diajak untuk memahami budaya lain melalui simulasi dan proyek lintas kelompok. Indonesia dapat mengambil inspirasi dari pendekatan ini.

2. Kebijakan Publik yang Inklusif

Kebijakan publik harus dirancang untuk memperkuat dialog lintas kelompok. Misalnya:

  • Pertukaran Pelajar Lintas Daerah: Program ini dapat memperkuat rasa kebangsaan di antara siswa dari latar belakang yang berbeda.
  • Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB): FKUB dapat diperkuat untuk menjadi ruang dialog antar kelompok agama.

3. Regulasi Media Sosial

Media sosial adalah arena baru untuk membentuk identitas sosial. Pemerintah dapat bekerja sama dengan platform digital untuk mengurangi bias algoritma dan mempromosikan konten edukatif dengan wawasan kebangsaan.

Refleksi Filosofis, Identitas Sebagai Tembikar Retak

Identitas sosial, seperti tembikar tua, penuh retakan tetapi tetap memiliki nilai estetika. Retakan itu adalah bagian dari sejarahnya, tetapi ia tidak harus menjadi alasan untuk hancur dan runtuh. Henri Tajfel mengingatkan kita bahwa identitas sosial adalah proses, sesuatu yang bisa kita bentuk dan dikelola dengan baik.

Erich Fromm menambahkan perspektif yang relevan: "Manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu sering kali membuatnya takut sehingga ia kembali mencari perlindungan dalam kelompok." Identitas sosial adalah perlindungan itu, tetapi kita harus memastikan bahwa ia tidak menjadi penjara.

Membangun Jembatan, Bukan Dinding

Pada akhirnya, identitas sosial adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ia memberikan makna, rasa aman, dan tujuan. Tetapi ia juga membawa risiko berupa prasangka, konflik, dan polarisasi.

Dunia modern memberikan kita pilihan, apakah kita akan terus mempertajam garis antara "kami" dan "mereka," ataukah kita mulai menghapus garis itu, menciptakan ruang yang inklusif untuk semua? Seperti tembikar yang diperbaiki dengan emas dalam tradisi Jepang kintsugi, kita dapat menjadikan retakan dalam identitas kita sebagai sumber keindahan dan kekuatan.

Pilihan ada di tangan kita. Dan seperti kata Tajfel, "The future of social harmony depends on how we understand and manage our shared identities."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun