Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dari Thymos ke Isothymia: Sebuah Kajian Politik Identitas Era Digital

7 Oktober 2024   01:01 Diperbarui: 31 Oktober 2024   11:24 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi Identitas/sumber istimewa)

Hi Kompasianer!

Bayangkan sebuah pasar di sudut kota Bali, riuh rendah suara manusia yang seolah menjadi detak jantung tempat itu. Di sana, ada pedagang yang menawarkan harga terbaiknya, pembeli yang menawar dengan gigih, dan di antara semuanya, ada kita yang berjalan di tengah keramaian, mencari sesuatu yang mungkin tak pernah jelas apa bentuknya. Itulah wajah politik identitas di Indonesia: bukan sekadar arena persaingan, melainkan panggung besar di mana setiap orang ingin bersuara, meraih pengakuan yang sepertinya selalu sulit diraih.

Hanya saja kini, panggung itu sudah tidak hanya berdiri di dunia nyata. Era digital menyulap ruang-ruang tak kasat mata menjadi pasar yang lebih besar lagi, memuat suara-suara yang tak terbatas, berdesakan di dalam jagat media sosial. Di sana, identitas bukan lagi sebuah nama, melainkan simbol siapa yang kau bela, bagaimana kau berbicara, apa yang kau tunjukkan di linimasa. Baudrillard pernah berkata, ini adalah “hiperrealitas” tempat di mana batas antara nyata dan maya kian kabur, di mana orang-orang memperdebatkan hal yang bahkan kadang tak mereka yakini sendiri.

Lantas, di mana kita berdiri di antara hiruk-pikuk ini? Apakah identitas kita semakin jelas atau justru semakin samar di balik layar-layar yang setiap hari kita pandangi? Apakah era digital membawa kita menuju pemahaman yang lebih tulus, atau malah menambah jarak dalam lapisan-lapisan ilusi yang terus bertambah?

Di antara percakapan dan keheningan yang tak pernah betul-betul hening, mari kita telaah bersama politik identitas ini, antara yang maya dan yang nyata, antara eksistensi dan penampilan, antara pengakuan yang selalu kita cari di tengah suara-suara yang tak pernah diam.

Politik Identitas & Pengakuan

Politik  identitas  bukanlah  fenomena  baru.   Sejak  zaman  Yunani  Kuno,  Aristoteles  telah  membahas  pentingnya  identitas  dalam kehidupan  politik.  Namun,  di  abad  ke-21,  politik  identitas  mengalami  transformasi  yang  signifikan.  Globalisasi,  migrasi,  dan kemajuan  teknologi  telah  menciptakan  dunia  yang  semakin  terhubung,  namun  juga  semakin  terfragmentasi.  Identitas,  yang  dulu dianggap  stabil  dan  given,  kini  menjadi  cair  dan  diperdebatkan.

Stuart  Hall,  seorang  tokoh  studi  budaya,  menawarkan  konsep  "identitas  sebagai  proses  menjadi".  Menurutnya,  identitas bukanlah  sesuatu  yang  tetap,  melainkan  sebuah  konstruksi  sosial  yang  terus  berubah  seiring  waktu  dan  interaksi  sosial. Identitas  dibentuk  oleh  berbagai  faktor,  termasuk  sejarah,  budaya,  kelas  sosial,  gender,  dan  orientasi  seksual.

Di  Indonesia,  politik  identitas  sering  dikaitkan  dengan  isu-isu  SARA  (Suku,  Agama,  Ras,  dan  Antargolongan).  Menariknya,  politik identitas  lebih  luas  dari  itu.  Ia  mencakup  semua  bentuk  politik  yang  berbasis  pada  identitas  kelompok,  baik  itu  identitas  etnis, agama,  gender,  kelas,  atau  bahkan  hobi.  Yang  membedakan  politik  identitas  dari  bentuk  politik  lain  adalah  penekanannya  pada pengakuan  dan  representasi.

Dari Thymos  ke Megalothymia

Fukuyama,  dalam  bukunya  "Identity:  The  Demand  for  Dignity  and  the  Politics  of  Resentment",  menjelaskan  bahwa  politik  identitas  didorong  oleh  kebutuhan  manusia  akan  pengakuan.  Ia  menggunakan  istilah  thymos  dari  Plato  untuk  menggambarkan  bagian  dari  jiwa  manusia  yang  mendambakan  penghargaan  dan  martabat.

Sayangnya,  thymos  dapat  berubah  menjadi  megalothymia,  yaitu  hasrat  untuk  mendapatkan  pengakuan  yang  lebih  tinggi  dari yang lain.  Megalothymia  adalah  akar  dari  berbagai  konflik  dan  kekerasan  berbasis  identitas.  Dalam  politik  identitas,  megalothymia termanifestasi  dalam  bentuk  persaingan  antar  kelompok  untuk  mendominasi  narasi  dan  mendapatkan  pengakuan  yang  paling besar.

Di  era  digital,  megalothymia  diperkuat  oleh  algoritma  media  sosial  yang  cenderung  mempromosikan  konten  yang  provokatif  dan memecah  belah.  Algoritma  ini  "memberi  makan"  thymos  kita  dengan  memberikan  validasi  dalam  bentuk  "like",  "share",  dan "komentar".  Semakin  banyak  interaksi  yang  kita  dapatkan,  semakin  besar  pula  rasa  pengakuan  yang  kita  rasakan.

Semakin  Banyak  Tuntutan,  Semakin  Sedikit  Ruang  untuk  Dialog

Ironisnya,  semakin  banyak  orang  yang  menuntut  pengakuan,  semakin  sulit  untuk  mencapainya.  Inilah  paradoks  pengakuan.  Ketika  setiap  kelompok  berteriak  menuntut  haknya,  suara-suara  yang  moderat  dan  menyerukan  dialog  justru  tenggelam  dalam  kebisingan.

Nancy  Fraser,  seorang  filsuf  politik  feminis,  menjelaskan  bahwa  ada  tiga  dimensi  pengakuan:  pengakuan  atas  kebutuhan material,  pengakuan  atas  hak  dan  kewajiban,  dan  pengakuan  atas  identitas  budaya.  Ketiga  dimensi  ini  saling  berkaitan  dan harus  dipenuhi  secara  seimbang  untuk  mencapai  keadilan  sosial.

Hanya saja dalam  politik  identitas  yang  didominasi  oleh  megalothymia,  pengakuan  atas  identitas  budaya  sering  kali  diprioritaskan di  atas  dua  dimensi  lainnya.  Akibatnya,  isu-isu  ekonomi  dan  sosial  yang  mendasar  terabaikan,  sementara  perdebatan  tentang identitas  semakin  memanas.

Dampak  Negatif  Politik  Identitas

Polarisasi  adalah  salah  satu  dampak  negatif  politik  identitas.  Data  dari  Pew  Research  Center  (2024)  menunjukkan  bahwa  di Amerika  Serikat,  mayoritas  warga  melihat  lawan  politik  mereka  sebagai  ancaman  eksistensial.  Hal  serupa  juga  terjadi  di Indonesia,  di  mana  ketegangan  politik  semakin  meningkat  di  era  media  sosial.

Konflik  berbasis  identitas  juga  semakin  marak  di  berbagai  belahan  dunia.  Data  dari  Global  Peace  Index  (2024)  menunjukkan bahwa  perdamaian  global  telah  menurun  selama  15  tahun  berturut-turut.  Konflik  etnis,  agama,  dan  politik  menjadi  penyebab utama  kekerasan  dan  ketidakstabilan  di  banyak  negara.


Isothymia di Tengah Riuh

Tahun 2024 adalah panggung bagi kegelisahan. Suara-suara besar, menggema, berlomba mendominasi udara sebuah parade megalothymia yang terus bertumbuh, liar, menyebar. Masing-masing mengklaim ruangnya, tak ada yang mau mengalah. Ketika polarisasi sosial kian menancapkan kukunya, kita terjebak dalam lingkaran ego kelompok, seperti cermin retak yang tak lagi memantulkan bayangan utuh. Setiap sisi memecah-mecah, memisahkan yang satu dari yang lain. Di sinilah harapan itu tersembunyi, mungkin samar, tapi ia ada: isothymia.

Isothymia bukanlah suara yang keras. Ia tidak menyelinap masuk dalam balutan gemuruh massa yang beringas. Ia lebih mirip bisikan—halus, mengendap dalam relung hati yang tertutup amarah dan prasangka. Sederhana, tapi dalam; isothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai setara, bukan lebih, bukan kurang, sekadar manusia dengan manusia lain.

Tetapi pertanyaanya apakah ada tempat bagi isothymia di dunia yang terbelah? Pada tahun 2024 ini, isothymia adalah utopia yang tersembunyi di balik kabut realitas. Polarisasi tak hanya menjadi gejala sosial ia telah menjadi bahasa kehidupan sehari-hari. Di Amerika, di Eropa, di Asia terutama di Indonesia setiap belahan dunia merasakan renggutan identitas yang kian kencang. Diskursus politik memanas, suara-suara yang menuntut superioritas menggulung siapa saja yang dianggap berbeda. Di bawah langit yang sama, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan tembok—tembok fisik, tembok psikologis, tembok digital.

Meski tampak kecil, isothymia adalah kekuatan yang bisa meruntuhkan tembok polarisasi. Ia menawarkan visi baru tentang bagaimana kita bisa hidup bersama dalam harmoni tanpa menghilangkan perbedaan. Ia adalah benih yang, meski sering luput dari perhatian, perlahan tumbuh di bawah tanah yang kering. Di antara segala kebisingan dan konflik, isothymia adalah harapan yang terus hidup, menunggu saatnya untuk tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi semua orang di bawahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun