Hi Kompasianer!
Bayangkan sebuah pasar di sudut kota Bali, riuh rendah suara manusia yang seolah menjadi detak jantung tempat itu. Di sana, ada pedagang yang menawarkan harga terbaiknya, pembeli yang menawar dengan gigih, dan di antara semuanya, ada kita yang berjalan di tengah keramaian, mencari sesuatu yang mungkin tak pernah jelas apa bentuknya. Itulah wajah politik identitas di Indonesia: bukan sekadar arena persaingan, melainkan panggung besar di mana setiap orang ingin bersuara, meraih pengakuan yang sepertinya selalu sulit diraih.
Hanya saja kini, panggung itu sudah tidak hanya berdiri di dunia nyata. Era digital menyulap ruang-ruang tak kasat mata menjadi pasar yang lebih besar lagi, memuat suara-suara yang tak terbatas, berdesakan di dalam jagat media sosial. Di sana, identitas bukan lagi sebuah nama, melainkan simbol siapa yang kau bela, bagaimana kau berbicara, apa yang kau tunjukkan di linimasa. Baudrillard pernah berkata, ini adalah “hiperrealitas” tempat di mana batas antara nyata dan maya kian kabur, di mana orang-orang memperdebatkan hal yang bahkan kadang tak mereka yakini sendiri.
Lantas, di mana kita berdiri di antara hiruk-pikuk ini? Apakah identitas kita semakin jelas atau justru semakin samar di balik layar-layar yang setiap hari kita pandangi? Apakah era digital membawa kita menuju pemahaman yang lebih tulus, atau malah menambah jarak dalam lapisan-lapisan ilusi yang terus bertambah?
Di antara percakapan dan keheningan yang tak pernah betul-betul hening, mari kita telaah bersama politik identitas ini, antara yang maya dan yang nyata, antara eksistensi dan penampilan, antara pengakuan yang selalu kita cari di tengah suara-suara yang tak pernah diam.
Politik Identitas & Pengakuan
Politik identitas bukanlah fenomena baru. Sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles telah membahas pentingnya identitas dalam kehidupan politik. Namun, di abad ke-21, politik identitas mengalami transformasi yang signifikan. Globalisasi, migrasi, dan kemajuan teknologi telah menciptakan dunia yang semakin terhubung, namun juga semakin terfragmentasi. Identitas, yang dulu dianggap stabil dan given, kini menjadi cair dan diperdebatkan.
Stuart Hall, seorang tokoh studi budaya, menawarkan konsep "identitas sebagai proses menjadi". Menurutnya, identitas bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan sebuah konstruksi sosial yang terus berubah seiring waktu dan interaksi sosial. Identitas dibentuk oleh berbagai faktor, termasuk sejarah, budaya, kelas sosial, gender, dan orientasi seksual.
Di Indonesia, politik identitas sering dikaitkan dengan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Menariknya, politik identitas lebih luas dari itu. Ia mencakup semua bentuk politik yang berbasis pada identitas kelompok, baik itu identitas etnis, agama, gender, kelas, atau bahkan hobi. Yang membedakan politik identitas dari bentuk politik lain adalah penekanannya pada pengakuan dan representasi.
Dari Thymos ke Megalothymia
Fukuyama, dalam bukunya "Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment", menjelaskan bahwa politik identitas didorong oleh kebutuhan manusia akan pengakuan. Ia menggunakan istilah thymos dari Plato untuk menggambarkan bagian dari jiwa manusia yang mendambakan penghargaan dan martabat.
Sayangnya, thymos dapat berubah menjadi megalothymia, yaitu hasrat untuk mendapatkan pengakuan yang lebih tinggi dari yang lain. Megalothymia adalah akar dari berbagai konflik dan kekerasan berbasis identitas. Dalam politik identitas, megalothymia termanifestasi dalam bentuk persaingan antar kelompok untuk mendominasi narasi dan mendapatkan pengakuan yang paling besar.
Di era digital, megalothymia diperkuat oleh algoritma media sosial yang cenderung mempromosikan konten yang provokatif dan memecah belah. Algoritma ini "memberi makan" thymos kita dengan memberikan validasi dalam bentuk "like", "share", dan "komentar". Semakin banyak interaksi yang kita dapatkan, semakin besar pula rasa pengakuan yang kita rasakan.
Semakin Banyak Tuntutan, Semakin Sedikit Ruang untuk Dialog
Ironisnya, semakin banyak orang yang menuntut pengakuan, semakin sulit untuk mencapainya. Inilah paradoks pengakuan. Ketika setiap kelompok berteriak menuntut haknya, suara-suara yang moderat dan menyerukan dialog justru tenggelam dalam kebisingan.
Nancy Fraser, seorang filsuf politik feminis, menjelaskan bahwa ada tiga dimensi pengakuan: pengakuan atas kebutuhan material, pengakuan atas hak dan kewajiban, dan pengakuan atas identitas budaya. Ketiga dimensi ini saling berkaitan dan harus dipenuhi secara seimbang untuk mencapai keadilan sosial.
Hanya saja dalam politik identitas yang didominasi oleh megalothymia, pengakuan atas identitas budaya sering kali diprioritaskan di atas dua dimensi lainnya. Akibatnya, isu-isu ekonomi dan sosial yang mendasar terabaikan, sementara perdebatan tentang identitas semakin memanas.
Dampak Negatif Politik Identitas
Polarisasi adalah salah satu dampak negatif politik identitas. Data dari Pew Research Center (2024) menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, mayoritas warga melihat lawan politik mereka sebagai ancaman eksistensial. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, di mana ketegangan politik semakin meningkat di era media sosial.
Konflik berbasis identitas juga semakin marak di berbagai belahan dunia. Data dari Global Peace Index (2024) menunjukkan bahwa perdamaian global telah menurun selama 15 tahun berturut-turut. Konflik etnis, agama, dan politik menjadi penyebab utama kekerasan dan ketidakstabilan di banyak negara.
Isothymia di Tengah Riuh
Tahun 2024 adalah panggung bagi kegelisahan. Suara-suara besar, menggema, berlomba mendominasi udara sebuah parade megalothymia yang terus bertumbuh, liar, menyebar. Masing-masing mengklaim ruangnya, tak ada yang mau mengalah. Ketika polarisasi sosial kian menancapkan kukunya, kita terjebak dalam lingkaran ego kelompok, seperti cermin retak yang tak lagi memantulkan bayangan utuh. Setiap sisi memecah-mecah, memisahkan yang satu dari yang lain. Di sinilah harapan itu tersembunyi, mungkin samar, tapi ia ada: isothymia.
Isothymia bukanlah suara yang keras. Ia tidak menyelinap masuk dalam balutan gemuruh massa yang beringas. Ia lebih mirip bisikan—halus, mengendap dalam relung hati yang tertutup amarah dan prasangka. Sederhana, tapi dalam; isothymia adalah keinginan untuk diakui sebagai setara, bukan lebih, bukan kurang, sekadar manusia dengan manusia lain.
Tetapi pertanyaanya apakah ada tempat bagi isothymia di dunia yang terbelah? Pada tahun 2024 ini, isothymia adalah utopia yang tersembunyi di balik kabut realitas. Polarisasi tak hanya menjadi gejala sosial ia telah menjadi bahasa kehidupan sehari-hari. Di Amerika, di Eropa, di Asia terutama di Indonesia setiap belahan dunia merasakan renggutan identitas yang kian kencang. Diskursus politik memanas, suara-suara yang menuntut superioritas menggulung siapa saja yang dianggap berbeda. Di bawah langit yang sama, kita hidup dalam dunia yang penuh dengan tembok—tembok fisik, tembok psikologis, tembok digital.
Meski tampak kecil, isothymia adalah kekuatan yang bisa meruntuhkan tembok polarisasi. Ia menawarkan visi baru tentang bagaimana kita bisa hidup bersama dalam harmoni tanpa menghilangkan perbedaan. Ia adalah benih yang, meski sering luput dari perhatian, perlahan tumbuh di bawah tanah yang kering. Di antara segala kebisingan dan konflik, isothymia adalah harapan yang terus hidup, menunggu saatnya untuk tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi semua orang di bawahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H